Pengamatan Kecil yang Dimulai dari Tenggara Street Art Festival.
I. Perjalanan Sampai Rumah Tamera
Ketika menulis ini, ada semacam keraguan saya tidak akan cukup bisa merangkum pengalaman saya selama residensi di Solok, Sumatera Barat. Perasaan tersebut muncul sebab, ini jadi kali pertama saya berkunjung ke sana dimana pambacaan-pembacaan yang saya lakukan akan menjadi hal yang baru juga bagi saya sebagai seniman. Meski demikian, ada kekuatan dalam hati saya yang menganggap pengalaman dan petualangan adalah bagian-bagian penting dalam sebuah pembelajaran. Dan sesungguhnya residensi ini juga menjadi agenda penutup tahun yang luar biasa.
Semuanya dimulai ketika Albert Rahman Putra, selaku penanggung jawab komunitas Gubuak Kopi menghubungi lewat Whatsapp dan bertanya akan kesediaan saya mengikuti program Tenggara Street Art Festival 2020 yang berlangsung dari tanggal 18 – 28 November yang lalu. TSAF sendiri merupkan festival seni jalanan yang bermula dari kompetisi mural se-kota yang lantas digarap lebih jauh agar dapat menghubungkan seniman seni jalanan dan seniman mural dari berbagai kota untuk melakukan respon visual terhadap dinding-dinding kota Solok. Sedari awal dilaksanakan, terbukti juga bahwa acara ini cukup menjadi pemantik kekaryaan yang baik bagi anak-anak muda di sana. Terbukti dengan banyaknya peserta yang kemudian terlibat dalam festival.
Saya berangkat dari Yogyakarta berberkal segulung zine, sepatu ringan, koper kecil, serta jaket yang longgar. Sepanjang perjalanan saya tak henti mengamati bagaimana pandemi Covid-19 mengubah banyak kebiasaan masyarakat kini. Toko-toko ditutup dan berganti, orang-orang tak terlalu banyak bicara, petugas bandara akan memeriksa kita dengan cepat sedangkan antrian pagi itu juga tak begitu banyak. Masker saya kencangkan, dan hasil tes Rapid Antigen saya pastikan agar tak lolos dari tangan.
Total waktu yang saya tempuh untuk dapat sampai ke Solok adalah 12 jam. Perjalanan udara, waktu transit, lantas dilanjut naik mobil dari kota Padang.
Saya sampai di Bandar Udara Internasional Minangkabau dijemput oleh Volta Joneva dan Biki Wabihamdika. Keduanya adalah anggota komunitas Gubuak Kopi. Perjalanan darat itu cukup padat dan ketika mobil mulai memasuki jalur Sitinjau Lauik, Volta mewanti-wanti saya agar bersiap kalau-kalau akan merasa mual di jalan. Saya jadi ingat, perjalanan residensi saya yang sebelumnya di Bengkulu pada tahun 2018. Program yang berbeda dengan perasaan yang sama. Kami naik mobil dari Bandar Udara Fatmawati Soekarno menuju Yayasan Sekolah Tenera di kawasan Bengkulu Utara yang memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan.
Sebagai informasi dalam residensi di Bengkulu ini, saya akan membuat lokakarya zine untuk anak-anak di Yayasan Tenera dan melakukan mural bersama di sekolah. Mobil kami berkelok setiap 5 menit sembari pak supir terlihat tetap tenang membawa saya, serta kawan saya Bekti yang merupakan pengurus perpustakaan Tenera. Bekti adalah perempuan berperawakan ceria lagi rajin, yang membuat orang-orang di dekatnya merasakan keriangan yang sama. Pak supir kami yang membawa mobil tersebut lantas berceletuk dalam salah satu waktu di perjalanan itu, “Mbak, tahu nggak kalau salah lahan sawit yang kita lihat selama satu jam terakhir ini dimiliki oleh orang yang sama?” Saya antara kaget, lantas tertegun mencoba menjawab dengan tetap biasa, “Ah, betulkah pak!?” Sayang saya tak ingat ia menjawab apa. Pria berusia 50 tahunan itu lantas tertawa kecil dan tak lama kemudian membawa kami memasuki kawasan sekolah Tenera.
Saya ingat malam itu hujan deras dan tanah yang saya pijak dipenuhi batuan-batuan kali yang halus seukuran telapak tangan. Di perkebunan sekolah, terlihat sapi-sapi Bali yang sengaja didatangkan untuk merumput di sana. Saya kemudian bertemu dengan pimpinan yayasan, mbak Agriani Novita yang lantas saya akrab panggil dengan sebutan mbak Opi. Mbak Opi berperawakan manis lagi hangat. Ia menyambut dengan ramah dan memastikan saya beristirahat dengan baik untuk mengikuti kegiatan lokakarya zine di sekolah keesokan harinya dengan anak-anak Yayasan Tenera dari yang masih kecil (SD), hingga remaja (SMP/SMA).
Ingatan perjalanan residensi di Bengkulu dua tahun yang lalu itu muncul lagi ketika mobil bang Aulia (kakak kandung Albert) yang membawa saya, Volta, dan Biki mulai berjalan menanjak usai mengakhiri waktu singgah kami di rumah makan kecil yang bernama “Mintuo”. Ah ya, di belakang rumah makan Mintuo ini terdapat gugusan pohon pinus yang megah dimana tak jauh dari tempat kami berdiri, suara gemericik air dengan di sekelilingnya dihiasai ragam vegetasi yang belum pernah saya temui di tanah Jawa, mengisi ruang pendengaran saya dengan merdunya. Memisahkan saya beberapa saat dari bisingnya derum truk berbeban berat dan mobil-mobil yang melaju cepat.
Saya ingat cuaca di luar mobil cukup dingin ketika saya mulai mengancingkan jaket sampai leher. Volta tertawa kecil, ia menyalakan rokok dan tak lama kemudian kami memasuki mobil kembali. Tanjakan Sitinjau Lauik yang tajam baru merupakan pertengahan perjalanan saya menuju Solok. Kira-kira dua jam kemudian, mendekati waktu Magrib dataran di depan mata saya merendah dan seolah membuka pemandangan rumah-rumah kecil dengan lampu berwarna bercampur kabut-kabut yang separuhnya menutup barisan bukit. Langit berubah ungu dan merah muda. Saya terpana. Kelelahan, namun merasa ada sesuatu yang hangat memenuhi hati saya. Kata Volta, “Sebentar lagi kita sampai Solok, Nisa!”
Kami tiba di Rumah Tamera kira-kira pukul 20.00 malam. Saya disambut oleh Albert, Biahlil Badri, dan Veronika Kirana. Kami duduk bersama di ruang tamu kantor Tamera yang terdiri dari sebuah sofa pendek berwarna anggur, sebuah meja panjang, dan dua buah kursi berwana senada. Ruangan tersebut separuhnya terisi oleh buku-buku koleksi Gubuak Kopi. Saya mengeluarkan buku Jingga Jenaka dari tas dan memberikannya ke Albert sebagai hadiah. Kami berbincang-bincang sebentar, kata Albert saya adalah peserta residensi yang pertama datang. Akan menyusul, teman-teman seniman lainnya dari berbagai kota yaitu, Padang, Medan, dan Jakarta. Malam itu juga, saya tak sengaja berkenalan dengan kucing belang penjaga rumah Tamera yang dipanggil “Ayang Pus” oleh anak-anak di sana. Malamnya, Vero mengantar saya ke rumah kontrakan yang telah disiapkan untuk partisipan festival ini. Rumah tersebut terletak hanya beberapa puluh meter dari rumah Tamera. Temboknya hijau terang dan di depan rumah kontrakan tumbuh pohon rambutan yang melindungi rumah dari hujan. Kadang, saya dapati beberapa anjing kecil ikut berteduh di situ sembari tertidur, dan satu, dua, anak kecil akan meletakkan sisa bakwan sebagai cemilan mereka.
II. Karya Mural
Dalam festival ini, saya membuat dua buah karya mural yang berjudul “Siasat Baru Anak-Anak Lauik” di GOR Tanjungpaku sebagai rangkaian karya TSAF dan “Starbabynico & Ayang Pus” yang sifatnya lebih spontan guna merespon kegiatan pembacaan studi seni dan media di rumah Tamera.
Sebagai tambahan, untuk alasan yang tidak saya mengerti, saya menyukai sekali kata ini – Lauik, yang berarti lautan. Impresi visual yang saya tangkap mulai ketika melintasi Sitinjau, sampai kemudian beberapa hari setelahnya saya dan teman-teman mampir untuk membuat sketsa di salah satu kawasan rekreasi yang juga perbukitan tak jauh dari Rumah Tamera, bernama Angin Berembus. Solok seperti titik tengah yang mempertemukan barisan bukit-bukit, perairan yang besar, sawah-sawah, dan langit yang lapang. Ketika sore hari tiba, anak-anak rumah Tamera akan bergiliran membeli makan malam maupun sekadar membawa pulang kopi dari kafe “Mamanda”. Tak lain dan tak bukan —- adalah agar turut bisa menikmati awan cerah sejauh mata memandang. Baliho-baliho iklan nampak jarang, anjing-anjing liar akan keluar beriringan sepanjang aspal kosong di jalan baru. Muda-mudi naik motor bergantian senyum, dan salah satu anggota Gubuak Kopi entah Volta, Badri, maupun Badik (Dika Adrian) — akan menginisiasi menu makan malam untuk seluruh orang yang datang. Kami suka minum teh bersama. Layo (Riski) lantas akan mengambil gitar dan berkelakar. Anggra (Aaanggreni Dwi Widhiasih) dan Bodana akan duduk bersebelahan di bangku kayu berbarengan dengan Teko (Teguh) yang baru saja datang. Sedang saya sendiri akan mencermati semua hal itu sambil merekamnya dalam hati.
Kegiatan kami sebetulnya cukup padat. Singkat kata mural pertama saya telah usai. Saya harus bercerita pada kalian bagaimana prosesnya. Siang itu di minggu-minggu mengerjakan mural cukup panas. Badri membawa saya berkeliling kota Solok menggunakan motor untuk memilih spot yang akan digambar sebelum kami akhirnya menemukan tembok kosong yang besar sekali di GOR Tanjung Paku dimana di sebelahnya nanti, akan terpasang karya dari Bujanganurban yang legendaris itu! Volta sebagai penanggung jawab art handling bersama tim Gubuak Kopi mulai menyusun lantai pertama scafolding untuk dinding saya dari total 4 lantai agar bisa sampai ke ujung dinding setinggi 9 meter tersebut. Sebagai bocoran, saya selalu takut ketinggian. Sungguh hati saya ini mudah sekali mencelos ketika melihat objek yang tinggi. Namun, ada satu perasaan yang kuat sekali juga yaitu rasa penasaran akan bagaimana kalau dinding ini ternyata bisa kami taklukkan?!
Hujan dan panasnya matahari siang membuat rencana mural yang harusnya selesai dalam 4 hari memanjang jadi 8 hari. Beruntungnya, anak-anak sangat suportif sehingga saya merasa tidak terlalu sendirian mengerjakan mural ini. Saya ingat juga setiap sore untuk menghibur hati, anak-anak akan membawakan kami semua tuak (minuman fermentasi nira) dan air sirsak dingin untuk menghalau lelah dan cuaca malam yang tak tentu. Usai istirahat, kami akan akan senyum-senyum sambil bergantian membuat garis di sini dan di situ. Tahu-tahu, gambar itu selesai persis sebelum penutupan acara. Senang sekali rasanya!
Kami mengikuti camping bersama di taman Pramuka dan mural jamming selama 3 hari sebelum seluruh rangkaian acara selesai. Saya sangat menikmati waktu-waktu ini, sampai-sampai pipi saya tak henti tersenyum rekah setiap bertemu siapa saja yang datang. Teman-teman bersusulan dari Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang, Bengkulu, membawa keriangan yang berbeda. Langit berbintang di atas pohon-pohon cemara taman Pramuka merekam memori yang gempita ini. Sembari saya tak henti bercanda, “Gue lagi dimana sih?!” Atau, “Sero banaaaa.” Saya ingat kawan-kawan akan menirukan kelakar itu sambil tertawa terbahak-bahak.
III. Bagaimana Kolektif-Kolektif di Sini Terhubung
Saya melanjutkan pengamatan kekaryaan teman-teman di Sumatera Barat paska acara TSAF sampai di kota Padang dan berkunjung ke salah satu rumah kolektif yang telah cukup lama berdiri yaitu Komunitas Seni Belanak. Di sana saya bertemu Ben (salah satu anggota kolektif Belanak), ditemani Layo, Zekal (Zekallver Muharam – Gubuak Kopi), dan Reynaldi Andrean (Ruang Bangkit). Ben menunjukkan pada saya koleksi zine yang mereka punya di ruang kecil yang juga merupakan kedai rumah kolektif yang mereka beri nama Zalero. Kami duduk-duduk berempat sambil minum es kopi yang enak sekali buatan bang Bel atau air lemon soda yang menghibur hati kala angin pantai sedang gerah-gerahnya.
Saya mendengar banyak cerita dari Ben bagaimana rumah kolektif ini kemudian mengantarkan berbagai individunya memiliki bermacam karir namun tak pernah putus dari rumah berkesenian mereka. “Alumni-alumni” rumah Belanak lantas menjadi guru, dosen, peneliti, dan ada yang tetap menjadi seniman yang kemudian besar seiring waktu dan pengalaman, sembari rumah kolektif tersebut tetap melahirkan generasi-generasi baru seperti Ben dan kawan-kawan yang kelak meneruskan narasi besar seni dan kekolektifan di Sumatera Barat. Remaja ini juga bercerita bagaimana kawan-kawan dari berbagai daerah di Sumatera Barat terhubung lantas menjadi bagian dari rumah-rumah kolektif di sini. Agar lebih mudah dipahami begini caranya. Pertama, kalau Layo dan Zekal yang merupakan anggota Gubuak Kopi datang ke rumah Belanak dengan keinginan mereka sendiri, dan terlibat program yang diadakan di sana atas kemauan mereka sendiri, maka secara tak langsung Layo dan Zekal sudah menjadi anggota komunitas Belanak! Begitu pula kalau Ben pergi ke Gubuak Kopi dan terlibat aktivitas di sana atas kemauan Ben sendiri, maka Ben adalah juga anggota kolektif Gubuak Kopi!
Dan adalah hal yang lumrah untuk menempuh 3 hingga 5 jam perjalanan untuk sampai dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Uniknya lagi , kolektif-kolektif yang saya temui cukup beragam, selain Gubuak Kopi dan komunitas seni Belanak, ada pula Rumah Ada Seni (Padang), Ladang Rupa (Bukittinggi), Menace Space (Padang), yang juga berkontribusi besar dalam perkembangan seni kontemporer di Sumatera Barat. Lanjut Ben lagi, “Nah sekarang Nico sudah ke sini sendirian kan? Maka kamu juga adalah bagian dari kita semua di sini.” — Senyum mengembang di pipi saya. Ah, menarik sekali semua pengalaman ini! Di akhir diskusi, saya dan Ben bersepakat bahwa tentu kesenian yang kita kenal sekarang memiliki banyak cara dan banyak jalan untuk menunjukkan eksistensinya, namun di luar hiruk pikuk pencarian “kedudukan” ini, sejatinya ada yang lebih besar dari itu semua yaitu persahabatan dan keterhubungan kami. Bagaimana pengetahuan dapat dibagi secara adil dan berarti, bagaimana kita duduk untuk makan dari piring yang sama, dan tentunya bagaimana kita bisa memelihara tawa, yang kaya.
Sayang sekali, perjalanan saya ternyata tak cukup lama untuk dapat mampir ke rumah-rumah kolektif yang lain. Tiket terburu dibeli setelah bersusah payah menemukan jadwal pulang yang tepat ke Yogyakarta. Pada hari terakhir saya di Solok, Albert dan Badri mengantar saya sampai ke Minangkabau International Airport dimana pesawat dan waktu transit akan menanti saya selama 10 jam kedepan.
Saya ingat melihat kota Yogyakarta yang manis dari jendela pesawat sebelum mendarat. Perasaan pulang itu mengalir di sekujur tubuh saya dengan teratur. Pipi saya menghangat, buku-buku hadiah memenuhi ransel saya yang kecil. Sandal saya yang ringan berawarna kuning menyala menandakan tlah bergantinya petualangan. Saya menghubungi orang-orang dekat dan tertidur di mobil yang mengantar saya sampai tujuan terakhir di Condong Catur, Sleman.
Ah, terima kasih, semuanya. Tunggu saya kembali ya!