Pertunjukan kolaborasi Siska Aprisia dan Utari Irenza menjadi presentasi publik terkahir dalam rangkaian Lapuak-lapuak (LLD) #3. Sebuah perhelatan dari studi nilai-nilai tradisi yang digagas oleh Gubuak Kopi melalui proyek seni berbasis media. Proyek ini dikuratori oleh Albert Rahman Putra dengan tema kuratorial “Merayakan Silaturahmi di Normal Baru”.
Selain Siska dan Utari, seniman lainnya yang telah mempresentasikan karyanya adalah Theo Nugraha, seniman sound dan seni perfromans asal Samarinda; Taufiqurrahman, yang biasa disapa Kifu, designer dan seniman visual asal Palu; Siska Aprisia, penari, koregrafer, dan pegiat budaya yang kini berdomisili di Yogyakarta; Avant Garde Dewa Gugat, komposer dan sound artist asal Padangpanjang; dan Robby Ocktavian, video performance artist asal Samarinda.
Dalam LLD #3 ini, sebelumnya para partisipan mengikuti rangkaian kegiatan yang terdiri dari workshop, diskusi terarah, riset dan residensi daring, kolaborasi, dan presentasi publik. Dalam rangkaian residensi LLD #3, Siska Aprisia berkolaborasi dengan Utari Irenza mengembangkan dua gerak silek (silat) yakni: gelek dan pitunggua. Dua gerak dasar yang hadir hampir di setiap seni tari tradisi Minangkabau.
Dalam studi ini, Siska dan Utari mencoba meraba kembali kehadiran dan proses pengembangan sebuah gerak dasar menjadi sebuah kontruksi gerak baru atau kemudian menjadi tarian. Gerak-gerak tersebut berkembang melalui pengulangan-pengulangan yang intens dan transisi yang halus.
Selama berproses di dua kota yang berbeda Siska (Yogyakarta) dan Utari (Agam) memanfaatkan teknologi komunikasi virtual, seperti meting room dan video call. Proses ini juga menginspirasi mereka untuk mempersiapkan presentasi karya ini dalam panggung daring. Menyadari kehadiran mereka sebagai realitas “data” yang merepresentasikan realitas ruang nyata di lokasi berbeda. Kemampuan teknologi virtual dan permainan terhadap perangkat proyeksi, ditata mendukung dramaturgi tari, menghadirkan layer-layer yang konstan, mendukung instesitas gerakan reptitif, dan dipreteli untuk menghadirkan ilusi-ilusi tertentu.
Pada saat presentasi publik, dalam layar proyeksi yang disiarkan melalui gubuakkopi.id/barulang terlihat representasi Siska –yang melakukan pertunjukkan dari rumahnya di Yogyakarta dan Utari melakukannya di Solok, menjadi berlapis-lapis. “Kelemahan” jaringan juga menghadirkan representasi mereka sebagai ilusi, yang bergerak secara kanon. Ilusi ini menurut Albert Rahman Putra, selaku kurator project, cukup efektif mendukung instensitas pengulangan-pengulangan gerak yang dicapai Siska dan Utari. Ilusi tersebut dengan sendirinya mendukung dramaturgi karya yang tidak melibatkan musik dan aksi-aksi teaterikal, seperti yang umum dalam karya tari Kontemporer di Sumatera Barat.
Selain itu, presentasi Siska dan Utari, dapat menjadi alternatif model presentasi pertunjukan di era Normal Baru. Penggunaan perangkat teknologi dalam karya ini tidak hanya semata-mata pada fungsi teknologinya untuk penyiaran atau dokumentasi. Sebaliknya, kesadaran teknologi yang digarap dalam presentasi ini, menjadikan teknologi tersebut sebagi perangkat potensial untuk mendukung kebutuhan artistik presentasinya sendiri, yakni: presentasi daring.
Pendayagunaan teknologi ini memang bukan hal baru, dalam prosesnya Siska dan Utari juga terinspirasi dari beberapa karya, seperti: “Eyes Contacting My Self” dan “Transmission“, dua karya video performance Abi Rama yang pernah dipresentasikan di tahun 2016; selain itu juga ada “Oh Parmithu”, karya Otty Widasari, yang pernah dipresentasikan di Korea Selatan tahun 2018. Tiga karya tersebut, mengajak kita untuk sadar akan kemampuan setiap medium, seperti teknologi, dalam mendukung capaian-capaian artistik dalam sebuah karya.
Sementara untuk studi gerak sendiri, Siska dan Utari terinspirasi dari metode-metode yang dikembangkan Anne Teresa De Keersmaeker dan juga tradisi silek itu sendiri. Aksi yang dilakukan mereka cukup berakar, dan menarik untuk ditindaklanjuti pada proyek-proyek seni lintas media berikutnya.* (rel)
Portofolio dan kuratorial project: Lapuak-lapuak Dikajangi #3