Rabu, 22 Mei 2019, setelah diskusi pada beberapa malam ini, seperti biasa paginya saya pergi kuliah, lalu sebelum ashar kembali ke Surau Tuo AMR. Saya sengaja kembali lebih cepat karena sejak dua hari yang lalu kami di Surau mengadakan agenda ‘silaturahmi’ antara Gubuak Kopi dan Surau Tuo. Sesampai di Surau, saya istirahat sebentar menjelang shalat ashar. Hari ini, masih dalam rangka ‘silaturahmi’ rencananya akan ada jalan-jalan sore di wilayah sekitaran komplek Surau Tuo, dalam rangka menjalin silahturahmi ke masyarakat dan mengenali lingkungan sekitar.
Lokasi Surau Tuo saat ini, yakni di Jalan Rawang, Kelurahan Alai Parak Kopi, Padang Utara, baru ditempati semenjak sehari sebelum bulan ramadhan, atau 18 hari lalu. Niat kami untuk jalan-jalan sore tertunda, karena sore tadi hujan yang sangat deras disertai kilat dan petir yang tak kunjung reda. Tetapi supaya waktu kami tidak terbuang begitu saja, Volta sang juru masak dari Gubuak Kopi mengajak masak di dapur Surau Tuo untuk menyiapkan menu berbuka puasa.
Seperti biasa dengan berbuka ala anak kos-kosan, dilanjutkan dengan mengopi sambil menunggu Robby Kurniawan. Ia merupakan warga dari Surau Tuo Institute Yogyakarta yang sedang meneliti di Sumatera Barat untuk keperluan tesisnya.
Diskusi kita mulai pukul 20.00 WIB, kali ini dimoderatori oleh Inyiak Fajri dengan tema “Fenomena Keagamaan di Indonesia”. Setelah dibuka moderator, Robby Kurniawan memulainya dengan mengulas beberapa peristiwa penting semenjak tahun 1970-an. Salah satunya, Robby mengutip Nurcholis Madjid ‘Islam Yes, Partai Islam No’. Hal ini kebetulan berkaitan dengan keadaan negara kita saat ini, yang lagi diheboh-hebohkan soal people power yang bertepatan pada hari ini, tanggal 22 Mei 2019, dan situasi-situasi keagaman di Indonesia beberapa tahun terakhir.
Kembali pada kaitannya dengan peristiwa 1970-an, ketika itu menurut Robby umat Islam seakan dipertanyakan lagi soal beragama itu harusnya bagaimana. Apakah kita dituntut beragama secara tekstual saja, sebatas halal dan haram, lalu melupakan cara-cara hidup dalam bermasyarakat yang beragam, dan apakah hanya sebatas di mimbar saja kita menyiarkan agama.
Ada banyak hal yang kita bahas malam itu. Terutama bagaimana kita memahami gerakan berbasis agama yang marak saat ini. Intinya, Robby mengajak kita memahami terlebih dahulu intisari dari hal-hal yang ‘tekstual’ tersebut, dan kemudian menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman ini dan semangat keberagaman. Situasi saat diskusi sangat hangat walau pun dingin dan di luar masih gerimis. Para peserta diskusi sangat antusias terhadap tema diskusi malam ini, termasuk Caam, Badril, Zulvikar, Volta, Jambi, Albert dan saya sendiri.
Ada beberapa poin-poin yang saya dapatkan dari diskusi kali ini seperti mewujudkan nilai-nilai ‘keislaman’ kita bisa mengembangkan sebuah program literasi (melek) media seperti yang dilakukan oleh Gubuak Kopi. Mengajak warga mengenal cara kerja media, mengelola media sendiri, dan kritis terhadap media. Saya juga setuju dengan ini, karena untuk menyiarkan nilai-nilai keagamaan, kita perlu beberapa metode yang lebih baru dan yang lebih efektif untuk zaman sekarang, seperti dengan seni, media, literasi, dan banyak lagi.
Albert menambahkan, tidak hanya sebagai metode, belum lagi kita yang gagal memahami wacana yang dibungkus media untuk kepentingan kelompok tertenu. Misalnya, ada yang melihat saudara kita yang datang ke sebuah gerakan ‘people power‘ mengatas-namakan semangat keagamaan, tapi tidak tertutup kemungkinan semangat itu muncul juga “by design”. Siapa yang mendesain? barangkali sekelompok ‘elit’, memanfaatkan pengaruh ketokohan tertentu, dan suaranya diperbesar dengan media.
Setelah itu, Inyiak Fajri sebagai moderator menyimpulkan bahwa untuk menyebarkan nilai-nilai keaagaman tidak hanya di atas mimbar, melainkan juga bisa kita lakukan dengan cara-cara yang kreatif.