Seusai shalat Jumat (19 Oktober 2018) kami kembali lagi ke Kinari, setelah sehari sebelumnya para partisipan dan beberapa orang dari rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi dan seniman partisipan Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #2 juga ke sini mencari sejumlah informasi terkait dengan tradisi silek.
Perjalan menuju Kinari dari Sangar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok memakan waktu tempuh sekitar 20 menit. Kinari merupakan salah satu nagari yang hari ini tergabung di pemerintahan Kabupaten Solok. Tujuan pertamanya ke rumah Angku Suardi. Angku Suardi merupakan salah seorang pandeka (panggilan untuk seorang pesilat di Minangkabau) atau guru silek yang masi ada di Kinari. dalam perjalanan ke sana mobil yang ditumpangi para partisipan dan beberapa orang rekan-rekan dari Gubuak Kopi terlewat dari rumah angku Suardi dan sampai ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kubang Duo dan kami yang berangkat dengan motor sempat juga terguyur hujan lokal.
Dalam perencanaan hari ini, menyambung obrlan sebelumnya, beberapa orang dari partisipan berencana ingin belajar banyak sedikitnya bagaimana basilek bersama Angku Suardi. “Angku” merupakan panggilan untuk orang yang lebih tua dari ibu kita di Minangkabau, atau juga bisa di panggilan untuk kakek di beberapa daerah di Minangkabau.
Sesampai di rumah Angku Suardi, kami disambut hangat oleh keluarga beliau, ada istri, anak, dan cucu beliau yang berumur 4 tahun. Cerita pun dimulai. Angku Suardi merupakan salah seorang pandeka (Pesilat) yang diperhitungkan di Kinari dan aktif terlibat di setiap festival silat di dalam dan luar Sumatera Barat, sampai tahun 1983. Mulai dari festival pencak silat, tari, dan musik tradisional Minangkabau. Kata beliau festival terakhirnya adalah festival Batagak Rumah Gadang (Mendirikan Rumah Gadang/rumah adat Minangkabau) di Taman Budaya Kota Padang. “Mulai dari masuak karimbo, manabang kayu, maelo kayu” (mulai dari masuk hutan, menebang kayu, dan membawa kayu atau dia arak-arak bersama).
Kinari dahulu merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak Rumah Gadang, tapi kini Rumah Gadang di Kinari sudah banyak yang rusak karena tidak ada penghuninya lagi. Menurut orang Minangkabau, apabila Rumah Gadang tidak ada penghuninya, maka dia akan rusak atau rapuh dengan sendirinya, karena Rumah Gadang itu dibuat dari kayu. Sembari bercerita Volta turun tangan membuat kopi.
“lai samo kopi nyo, Vol?” (apakah kopinya sama, Vol?) tanya Teguh.
“asa lai itan, kopi jo nyo” (asalkan warnanya hitam pasti sama saja) selorohnya.
“asa jan kopi di baliak pariuak se lah” (asalkan jangan kopi dibalik periuk saja) tambah Angku Suardi sambil tertawa. Partisipan bingung dan beberapa yang mengerti ikut tertawa juga mendengar candaan beliau.
Palmer Keen, salah seorang partisipan LLD #2, melempar pertanyaan pada Angku Suardi, “bapak sudah umur berapa?”
“Sudah 74 tahun” kata beliau.
Bapak Suardi juga menjelaskan arti namany, Suardi baginya adalah sebuah akronim: “Sudah Ada Republik Indonesia”. Beliau lahir tiga hari setelah Indonesia dinyatakan merdeka, tepatnya 20 Agustus 1945.
Panjang lebar bercerita kami sampaikan juga niat awal ke tempat beliau, diwakili oleh Albert Rahman Putra, selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi,
“jadi giko ngku, kawan kawan ko kamari iyo nak baraja basilek jo angku mah” (jadi begini ngku, kawan kawan ini mau belajar silat sama angku).
Akan tetapi karena beberapa persaratan seperti ayam belum ada, akhirnya latihan ditunda sampai hari minggu. “badabiah ayam” (memotong ayam) merupakan sarat utama untuk latihan silek di Minangkabau. Bermacam-macam cara para guru memkanainya, ada yang menyebut itu sebagai adab untuk menjadi keluarga baru, ada yang melihat ini sebagai pengorbanan dan tanda keseriusan seorang murid, dan ada juga guru yang meyakini bahwa ketika memotong ayam ini sudah bisa terlihat bagaimana personal seorang yang akan belajar silek, seperti Angku Suardi. Ketika ayam itu disembelih, akan terlihat apakah si murid hanya ikut-ikutan dan setengah hati belajar silek, dan sebagainya.
Satu hari, satu orang, dan sekali memotong ayam, untuk adab pemotongan ayam ini tidak bisa sekaligus. Seperti yang dikatakan Angku Suardi, untuk belajar silek kepadanya, ayam yang dipotong haruslah sudah dewasa tidak anak ayam dan tidak juga terlalu tua, kaki kuning, dan paruh kuning. Dan direncanakan latihan akan dimulai hari minggu.
Menurut beliau dahulunya daerah Kinari ini merupakan daerah yang aktif dalam bidang persilatan, kesenian, dan kegiatan adat lainnya. Akan tetapi hari ini sudah mulai hilang, dikarenakan sudah kurangnya minat dari generasi muda untuk mempelajarinya.
“kesenian ko samo jo selendang dunia” (kesenian merupakan selendang/hiasan dunia). Beliau sangat menyesalkan telah memudar kesenian dan kebudayaan Minangkabau hari ini. Kesenian di sebuah nagari (desa), adalah wajah dari nagari itu sendiri.
Menyinggung sedikit mengenai silek di Minangkabau saya pun menanyakan istilah “saranggam dibawok, nan sa pinjik ditinggakan juo” (sebanyak apapun yang di bawa yang sedikit ditinggalkan juga), kalimat ini sering muncul ketika sudah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan silek di Minangkabau. Ia serin dimaknai, sebagaimana ketika seorang guru mengajarkan silek kepada muridnya tidak semuanya diajarkan, ada sedikit yang tidak diajarkannya. Ada yang menyebut istilah “nan sa pinjik” ini berkaitan dengan soal isi maupun kebatinan. Sehingga guru tidak mau sembarangan membagikannya. Ada juga guru yang meyebut, bahwa, itu memang harus murid sendiri yang berusaha keras mendapatkannya, karena memang tidak bisa diajarkan kalau si murid “tidak bersih” dirinya.
“Yo harus ka piriang nan barasiah” (harus ke piring yang benar-benar bersih), demikian Angku Suardi mengumpamakan diri yang bersih dan hati yang bersih. Jadi tidak semua pesilat di Minangkabau yang memiliki ilmu inti ini, dan juga tidak bisa diberikan ke sembarang orang.
“kalau untuk gerak atau seni bela dirinya pastinya di ajarkan semuanya, kecuali yang satu itu”.