Kamis, 11 Januari 2018, merupakan hari pertama observasi lapangan bagi saya yang mengikuti kegiatan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk. Padahal hari ini merupakan hari yang ke-5 kegiatan ini. Baru di hari ke-4 saya bisa berangkat ke lokasi, ada beberapa kegiatan yang memang tak bisa ditinggalkan di daerah dampingan Solok Selatan.
Dalam observasi ini, saya didampingi oleh seorang teman sekampus dulu, sekaligus merupakan ‘akamsi’ alias ‘anak kampung sini’. Sambil memperkenalkan daerahnya, saya diajak keliling Padang Sibusuak memakai sebuah ‘skutik’ alias scooter matic miliknya.
Mulanya telah disepakati bahwa kami akan memancing di sebuah sungai yang kelihatannya banyak ikan. Melalui jalur lintas Sumatera ke arah Sawahlunto, motor diarahkan memasuki persimpangan yang terpajang plang SMKN 5 Padang Sibusuk. Sebuah gerbang sederhana melintang jalan di pesimpangan tersebut. Mungkin menandakan bahwa kami memasuki sebuah kawasan baru. Bisa jadi jorong ataupun desa-desa kecil dalam nagari Padang Sibusuk. Jalur yang sedikit rusak dan menurun mengarah ke sebuah sungai yang agak rimbun dipenuhi semak belukar serta kawasan persawahan.
Lebih kurang 10 meteran terlihat bekas jalur kereta (rel) yang mungkin tidak dipakai lagi. Dipenuhi dengan timbunan batu koral yang sepertinya sengaja didatarkan. Satu persatu jalur yang melintang jalan sengaja dipasangi portal agar tidak dimasuki orang, walau sepeda motor bisa mengakalinya.
Sembari memperhatikan daerah sekeliling, skutik pun terus melaju ke arah sungai. Bentangan sawah imbas dari pertambangan mulai digarap kembali oleh masyarakat setempat. Ada yang menjadikan sawah kembali, ada jadi kebun sayuran, dan buah. Sepiring sawah dekat tepian sungai saja contohnya, tiga orang petani terlihat seperti memandangi kebun terungnya yang mungkin sudah sepatutnya untuk disiangi. Sebelahnya, seperti kebun jagung yang sudah siap panen. Saya tak terlalu fokus ke arah sana, karena ambisi untuk mendapatkan ikan terlalu besar. Jadi cukup memperhatikan dari jalan saja saya rasa.
Sampai di tepian sungai, tiga buah motor sudah parkir di sana. Sepertinya milik petani terung yang saya lihat tadi. Rekan saya mengeluh, bahwa orang yang ia cari sudah tidak ada di sana. Karena pancing yang akan kami pakai sudah dibawa orang yang kami cari itu, dia tak lain adalah adik rekan saya tadi. Ia sempat menawarkan bagaimana selanjutnya, saya tak terlalu menghiraukan karena salah seorang pemancing muncul dari bagian atas sungai, dan kebetulan kenal dengan rekan saya tadi. Sedikit basa-basi saya tanyakan umpan apa yang orang itu pakai, ia bilang, “minyak sawit”.
Sedikit pengalaman yang saya ketaui bahwa istilah “minyak sawit” ini, yaitu hasil penyulingan pertama dari sawit yang dicampur dengan tepung kanji atau tapuang paranci. Karakter umpan bewarna kuning agak kemerahan, memang tidak terlalu lembek seperti adonan kue, tapi sedikit rapuh. Uniknya masih bisa digumpal dan saat dipasang di mata pancing, tak akan lepas ataupun basah oleh air. Biasanya ikan yang doyan dengan umpan ini yaitu ikan gariang atau dalam Bahasa Indonesia biasa disebut ikan semah, serta ada juga ikan-ikan air tawar yang biasa hidup di sungai berarus deras atau yang berbatuan.
Tak lama setelah berbasa-basi, rekan saya mengajak ke lokasi lain. Sedikit kecewa karena tak adanya pancing yang akan dipakai. Rekan tadi mengajak saya ke suatu tempat pemandian air panas di pinggir lintas Sumatera. Ia menerangkan bahwa “di sini juga ada tempat pemandian air panas, tuk”. Tuk, demikian dia biasa menyapa saya. Sambil mengangguk menanggapi terangnya, saya berfikir “darimana asal sumber air panas ini, yang sengaja dibangunkan sebuah bak mandi?”. Sempat saya ia tawarkan untuk mandi di sana, tapi, saya jawab “bagusnya mandi air panas, waktu ba’da maghrib”. Rekan tadi langsung memutar kendaraannya untuk kembali ke kantor PKAN. Ia juga menawarkan untuk mencari durian ke suatu tempat, dan saya langsung menolak karena saya sendiri fobia terhadap buah yang satu itu.
Kami berniat untuk kembali ke PKAN dengan maksud observasi ke daerah sekitar sekre. Di tengah perjalanan, si rekan tadi melihat orang yang berjualan buah segar parkir di depan rumah warga. Dua orang ibu-ibu tampak sedang interaksi dengan si penjual. Kala itu kami parkir di sebelah kiri jalan arah ke Sijunjung. Sembari si rekan memilih buah yang akan dibelinya, saya berjalan kaki sambil melihat-lihat lingkungan sekitar. Sedikit penasaran dengan sebuah jalan yang dihambat portal, saya berdiri sejenak sambil menunggu rekan yang mulai melaju skutiknya ke arah saya. Sekatong kecil buah segar disangkutkan di stang motor, yang berisikan beberapa macam buah, dan berhenti tepat di depan saya. Saya pun menaiki kendaraan tersebut.
Laju kendaraan tak terlalu kencang, saya mulai membuka pembicaraan bertujuan menghilangkan rasa penasaran yang muncul tadi.
“yang diseberang jalan pakai portal, jalan kemana ya, Pak Yop?” tanya saya pada rekan saya, Yopi. Ia menjawab itu salah satu lokasi stockpile batu bara. Jadi setelah dari tambang, batu bara akan di bongkar di lokasi ini, sebelum disebarkan ke lokasi yang ditentukan, jawabnya.
“jadi potensi batu bara masih tinggi di daerah Sijunjung ini, ya?” tanya saya lagi.
“bisa saja, karena ketika pembongkaran truk, sampai-sampai ada yang dibongkar di luar” jawabnya lagi.
Dan saya diam saja memahami ungkapannya tersebut.
Selang waktu berjalan, perjalanan kami sudah hampir dekat dengan rumah rekan saya tadi. Dengan keraguan, ia menanyakan kembali pada saya,
“jadi kemana lagi kita kali ini?”,
“terserah, keputusan di tangan Pak Yopi. Kan Pak Yopi yang tau lokasi ini”.
Inisiatif rekan ini mengarahkan motor menuju rumahnya, yang terlihat besar berdampingan dengan rumah-rumah warga lain. Rumah yang letaknya agak berjarak dari jalan lintas Sumatera, melawat sebuah gang yang tak terlalu sempit, di bagian belakang rumahnya juga terdapat sebuah meja biliyar yang tak ada pemainnya.
Ia menawarkan kembali, “seandinya kita (jalan-jalan) sambil membawa anjing, bagaimana? tapi kita jalan kaki saja.”
”terserah Pak Yopi aja, saya aman aja kok” jawab saya.
Kerutan dikeningnya berlipat-lipat ganda menandakan kebingungannya dan dengan nyinyir ia bertanya lagi,
“serius jalan kaki?”
“sudah lah, tarok saja motor Pak Yopi di rumah. Kita jalan kaki.” jawab saya sambil mengambil sekantong buah yang dibelinya tadi, yang disangkutkan di stang motornya.
Keluar dari samping rumah, ia membawa seekor anjing yang sudah dikalungkan talinya. Kami mulai berjalan menyeberangi jalan dan masuk ke pemukiman warga dengan jalur coran semen, selebar satu mobil. Saya yang mengikutinya dari belakang perlahan memperhatikan kawasan pemukiman warga. Sesekali terlihat tegur sapa antara rekan tadi dengan warga. Tampaknya si rekan tadi terkenal di daerah Padang Sibusuk ini, hingga hampir setiap orang menyapanya.
Sepanjang perjalanan, muncul dari arah yang berbeda, beberapa warga juga membawa anjing mereka. Ada yang membawa satu bahakan lima ekor sekaligus, mulai dari yang masih kecil sampai dewasa. Kelihatannya, banyak lelaki di Padang Sibusuk ini suka berburu. Bisa saja karena kawasan ini adalah kawasan pertanian yang harus diantisipasi dari binatang lain yang dianggap hama. Seperti babi hutan.
Di tengah perjalanan, sebuah motor keluar dari persimpangan jalan. Motor berplat nomor merah berhenti di depan kami. Saat itu Pak Yopi menyebutkan beberapa keluhan yang dialami piaraannya pada orang itu, sepertinya ia mantari hewan. Ia menjawab “ya sudah, kita obati aja di ‘pabrik;”.
Pabrik yang dimaksud adalah sebutan sebuah tempat di sekitar sana, yang kebetulan disebut pabrik. Perjalanan pun kami lanjutkan. Sampai di sebuah jembatan, terlihat sekumpulan anak-anak berkumpul di sana sambil melihat seorang bapak yang memotong sebatang kayu sambil memanjatinya.
Baru memasuki bibir jembatan, kayu besar itu roboh persis menimpa jembatan yang akan kami lalui tersebut. Saya rasa sudah menjadi sebuah tontonan atau hiburan bagi orang-orang sekitar. Kami berusaha menerobos pohon tersebut, karena dirasa masih bisa dilalui dengan sedikit menyibak dedaunan bagian besi jembatan. Ternyata perjuangan Pak Yopi tak sia-sia, akhirnya kami berhasil melalui jembatan tersebut. Kami langsung melanjutkan perjalanan menuju pabrik, melewati kebun karet dan persawaan.
Jalan coran semen di antara kebun karet. dari kejauhan terlihat tiga orang lelaki sedang sibuk mengerumuni sesuatu. Beberapa anjing buruan sengaja dipautkan pada pohon karet di tepi jalan itu. Semakin dekat menghampiri para lelaki itu dan saya ikut berkerumun di dalamnya. Ternyata salah seorang dari mereka sedang mengobati bagian ekor anjing buruan. Mencabuti dan mengupas sedikit bagian kulit, kemudian ia juga membengkokkan bagian ekor tersebut. Saya tak tau pasti apa manfaatnya buat hewan tersebut, kata mereka ekor yang membungkuk seperti lengkungan ke bawah itu bagus buat anjing buruan.
“mode anjiang kuriak tu, gagah bantuak ikua nyo a”(seperti anjing kurik/bulu bercorak bintik, gagah kelihatannya), tegas salah seorang dari mereka mengarahkan pandangan pada anjing lain yang dicontohkan. Sementara mantari hewan yang berada di antara kumpulan itu masih sibuk dengan kegiatannya, membengkokkan ekor anjing. Hewan tersebut tentunya dibius terlebih dahulu agar tidak merasakan sakit dan kerjanya jadi lebih gampang.
Sembari mantari mengerjakan pekerjaannya, buah yang saya tenteng sedari tadi saya taruh di samping mereka. Sekalian berbasa-basi saya pun duduk di antara mereka sambil memperhatikan apa yang dilakukan mantari. Dari sisi jalan, muncul tiga orang bersama anjing buruannya. Ada yang membawa lima ekor, tiga, dan empat ekor sekaligus. Lepas dari kegiatan itu, saya masih sibuk memperhatikan daerah sekeliling tempat tersebut. Terdapat sebuah pondok yang dipenuhi sampah-sampah plastik beserakan dan ada yang dibungkus dalam karung besar. Rata-rata sampah tersebut terdiri dari botol plastik bekas minuman dan plastik lainnya.
Saya mencoba mendekati pondok tersebut. Di samping belakang pondok terdapat drum yang sepertinya tempat menampung air. Bisa dipastikan begitu, pasalnya potongan pipa paralon sengaja dipasang di sudut atapnya, mengarah tepat ke drum penampungan. Drum yang buka bagian atasnya tersebut juga digenangi air. Pada bagian dalam pondok yang cukup tertata, sekarung besar botol plastik bekas minuman di letakkan tak jauh dari mesin. Sepertinya mesin ini mesin pengolah plastic, sedikit karatan tapi sepertinya masih dipakai. Pasalnya bekas oli masih belepotan di setiap likuk mesin tersebut.
Beberapa view saya abadikan pada ponsel yang masih standby aplikasi kameranya. Saya kembali pada perkumpulan tadi. Langsung saja mantari dengan Pak Yopi mendekati anjingnya. Pak Yopi disuruh untuk memegang anjingnya, bahkan kalau bisa digendong, pesan mantari. Sedikit geli, Pak Yopi perlahan menggendong anjingnya. Sementara ponselnya masih merekam, video saya yang memegang. Mantari sejenak mengambil sesuatu dari tasnya, ternyata ia mengambil sebuah suntik. Suntikan di bagian pangkal ekor anjing pun ditancapkan mantari. Sepertinya menyedot cairan yang membuat bengkak bagian tersebut. Saya cukup bingung dengan keadaan tersebut, karena perawatan binatang buruan pun sampai segitunya. Bahkan ada salah seorang dari kami, meminta bantuan pada mantari untuk menyuntikkan vitamin pada anjing miliknya. Dua kali suntikan juga ditancapkannya pada bagian paha anjing itu. Jadi bahan lelucon juga sih, karena efek suntikan tersebut membuat anjing itu sedikit sempoyongan layaknya orang yang mabuk.
Terlepas dari semua itu, dua orang muncul setelah membawa anjingnya berkeliling. Yang satunya membawa seekor anjing, dan yang satunya lagi membawa tiga ekor. Pria tadi meminta agar anjing-anjing yang orang baru datang tadi miliki untuk dilepaskan, agar bisa melatih anjingnya berpacu. Dengan sigap dua orang tadi melangkah menuju tepian sawah di pinggir ladang karet tempat kami berbincang dan kemudian melepaskan anjing-anjingnya. Dimulai oleh pria yang membawa tiga ekor anjing dan dilanjutkan seorang pria yang membawa seekor anjing tadi. Anjing-anjing tadi saling berpacu, belarian mengarah ke lembah yang berjarak lebih kurang sekilo dari tempat kami duduk tadi.
Mulanya orang-orang di situ kagum melihat gaya lari anjing-anjing itu, dan mengatakan “kalau mode tu anjiang bapacu yo gagah bantuak e, ndak” (kalau seperti itu anjingnya berpavu, baru gagah) ungkapan salah seorang dari kami. Tak lama berselang, lolongan dan pekikkan anjing terdengar sayup sampai di telinga kami. Semua orang yang ada di situ berdiri memperhatikan apa yang terjadi pada anjing-anjing itu. Sedikit kaget, pasalnya salah satu anjing tadi dikeroyok oleh anjing-anjing lain. Para pemiliknya tadi berlari mengejar anjingnya.
Sekembalinya mereka dari lembah tadi, seekor anjing terlihat mendapati luka di bagian lehernya. Anjing-anjing itu dipautkan pada sebatang pohon. Si pemilik tadi tampaknya marah dengan kejadian itu, hingga memecut anjing-anjing yang memulai pengeroyokan. Ada dua ekor anjing yang dipecutnya dengan tali. Tampaknya hewan pun sadar dengan kesalahan yang dilakukannya, karena waktu itu saya perhatikan dua ekor anjing yang mengeroyok tadi tampak diam dan menunduk ketika dipautkan berdekatan dengan anjing yang dikeroyok tadi.
Selang dari kejadian itu, kami pun melangkah pulang karena hari sudah mulai senja. Sesampai di jembatan yang kami lalui tadi, saya cukup kaget melihat sisa-sisa penebangan pohon tadi sudah hilang dan bersih. Sangking penasaran, saya melihat di bagian bawah jembatan dan ternyata di sana lah, sisa penebangan tadi dibuang. Tampaknya sudah jadi budaya di daerah ini untuk membuang sampah di bawah jembatan bahkan di pinggiran sungai, selain potongan pohon itu, juga terlihat kantong berisikan sampah. Baru-baru ini, sembari buang air kecil di sana, saya melihat banyak warga yang suka membuang sampah rumahan mereka ke sungai.
apa saja kegiatan yang di adakan?