Semakin ditelusuri semakin banyak yang tampak, dan semakin banyak pula hal-hal menarik yang ditemukan. Begitulah kira-kira kesimpulan yang bisa kuambil dengan kembali berkeliling menelusuri Nagari Padang Sibusuk ini. Ya, hari kelima Lokakarya Daur Subur pada Kamis, 11 Januari 2018, kembali peserta lokakarya melakukan aksi “jalan-jalan” mengelilingi kampung untuk observasi. Kali ini kami dibawa oleh Fadlan Fachrozi, salah seorang penggagas sekaligus Ketua Komunitas PKAN (Penggerak Kreatifitas Anak Nagari) Padang Sibusuk, menelusuri wilayah yang lebih luas dari sebelumnya yaitu Jorong Kapalo Koto. Daerah-daerah kecil yang kami telusuri di Jorong Kapalo Koto ini diantaranya Darek Sindayan, Sontu, Muik, Jambu dan Paik.
Perjalanan kami awali dengan memasuki wilayah Darek Sindayan yang merupakan kawasan perkebunan karet milik masyarakat. Lepas dari kawasan perkebunan karet, kami masuk ke wilayah Sontu. Di sana tampak olehku hamparan tanaman sawit, juga milik masyarakat. Keluar dari kedua kawasan perkebunan milik rakyat tadi, terhampar pemandangan yang sungguh membuat aku takjub, yaitu areal persawahan. Areal ini membentang di tiga kawasan yang menjadi bagian dari wilayah Jorong Kapalo Koto yaitu Muik, Jambu, dan Paik. Sungguh luas hamparan persawahan itu, tampak bertingkat– tingkat mengikuti struktur tanah di kawasan tersebut yang memang sedikit lereng dan menurun membentuk lembah. Sejauh mata memandang yang tampak hanya hijaunya tanaman padi yang mulai “tabik”.
Berbeda dengan lokasi observasi yang aku datangi sebelumnya, di sini tidak kutemui adanya kincir air. Sistem pengairan di sini terlihat sudah lebih modern, yaitu menggunakan irigasi. Terbukti dengan adanya sungai di lokasi itu yang dijadikan waduk irigasi dengan pintu air yang mengalirkan air ke sawah-sawah, terletak di tengah-tengah areal persawahan yang kemudian membelah kawasan persawahan itu menjadi dua bagian. Tapi irigasi itu seperti kurang terawat, debit air sungainya juga sedikit karena mengalami pendangkalan. Entah kalau musim penghujan tiba, mungkin akan terlihat berbeda. Meski demikian, sawah-sawah yang ada sekitar pengairan itu tak tampak seperti kekurangan air.
Kamipun lantas diajak Fadlan turun ke areal sawah di lembah-lembah yang tak terlalu curam itu, berjalan bergantian di pematang sawah mengitari petak-petaknya yang sempit, dan menyusuri pinggiran anak sungai yang oleh program pemerintah sudah dibeton dan menjelma menjadi irigasi. Sepanjang perjalanan kami bertemu dan menyapa petani-petani yang kebetulan sedang menjalankan aktivitas mereka di sawah-sawah milik mereka. Ada yang baru akan mulai menanam, tampak sedang memilah-milah bibit padi menjadi beberapa onggokan dan diletakkan berkelompok-kelompok di tengah sawah. Di sisi lain, tampak beberapa petani justru tengah menanami bibit-bibit hasil semaian tersebut. Selain itu, ada juga petani yang justru tengah “mauni” sawah-sawah mereka. Yaitu sebuah tradisi menunggui dan menjaga sawah-sawah yang padinya sudah mulai memunculkan bulir-bulir, atau dalam istilah pertanian setempat biasa disebut “padi tabik”, supaya tidak dimakan oleh burung-burung pipit pemakan padi. Istilah “mauni” sawah ini juga biasa disebut dengan “manggaro”, atau mengusir burung-burung.
Kebiasaan “mauni” atau “manggaro” sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Padang Sibusuk pada umumnya, dan sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka dahulu yang memang bermata pencaharian sebagai petani. Tapi kini, seiring dengan semakin pesatnya pembangunan yang digalakkan pemerintah melalui program-program yang mereka anggap andalan, tradisi “manggaro” ini pun mulai luntur, tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi di bidang pertanian. Kini, tak banyak petani yang sudi berhari-hari duduk menunggui sawahnya untuk mengusir burung-burung pipit yang mulai usil mendekati bulir-bulir padi, hingga masa panen tiba. Kebiasaan “manggaro” sudah tergantikan oleh keberadaan jaring-jaring penutup tanaman padi, yang biasa digunakan oleh petani zaman kini hingga padi-padi itu terlihat seperti “berkelambu”.
Ada yang menarik perhatianku menjelang penelusuran sore itu berakhir. Dalam perjalanan pulang kembali ke Sekretariat PKAN yang menjadi lokasi kegiatan Lokakarya Daur Subur, aku yang berboncengan dengan Ade (salah seorang partisipan lokakarya asal Solok Selatan), terpana oleh suatu pemandangan yang menurutku unik dan tak biasa. Di sebuah areal persawahan yang dekat dengan kawasan pemukiman yang masih menjadi wilayah Paik (Parit), aku melihat seorang bapak sibuk memindah-mindahkan kursi tempat duduknya dari satu pematang ke pematang sawah lain miliknya. Yang menarik itu adalah, tangan si bapak tampak sedang menggenggam sebuah ketapel yang biasa dipakai sebagai alat permainan tembak-tembakan oleh anak-anak. Kami pun mendekat dan menyapa si bapak. Dengan ramah bapak tadi membalas sapaan kami. Bapak yang oleh masyarakat setempat biasa dipanggil dengan sebutan “Mak Etek” ini menanyakan keberadaan kami di tempat itu. Ya, sudah awam memang bila warga sebuah kampung bisa mendeteksi keberadaan orang asing yang masuk ke wilayah mereka. Karena sebagai sesama penduduk kampung, mereka biasanya saling tahu dan saling kenal. Maka wajar bila dia langsung mengenali kami sebagai pendatang, karena memang tak pernah melihat keberadaan kami sebelumnya di wilayah itu.
Kami pun memperkenalkan diri sebagai anggota komunitas penggiat media dari Solok dan Padang, yang bersama-sama dengan komunitas lokal Padang Sibusuk tengah melaksanakan kegiatan pelatihan literasi media. Untuk itu, kami perlu berkeliling kampung. Berusaha mengenal wilayah yang baru kami datangi ini dengan melihat-lihat dan memperhatikan keadaan serta kondisi sekitar.
Aku dan Ade mencoba menggali informasi terkait apa yang sedang dilakukan Mak Etek dengan ketapel yang dipegangnya itu, lewat percakapan ringan sambil ikutan santai di antara rimbunnya tanaman padi yang sudah meninggi, dan mulai memunculkan bulir-bulirnya. Mak Etek juga tidak keberatan, ketika aku mengambil beberapa foto dan merekam percakapan kami itu. Malah beliau tampak senang dan bangga, ketika aku memintanya untuk mempraktekkan bagaimana cara kerja ketapel yang sedari tadi dipegangnya.
Ternyata Mak Etek memfungsikan ketapel itu untuk mengusir burung-burung pipit yang berusaha mendekati padi-padi miliknya. Dan kegiatan yang sedang dilakukannya itulah yang disebut dengan “Manggaro”. Ternyata banyak teknik yang bisa dikembangkan dan media yang gunakan dalam praktek “Manggaro” ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan ketapel seperti yang sedang dilakukan “Mak Etek” saat itu. “Ada juga yang membentangkan tali di sawahnya, kemudian tali-tali itu diberi gantungan berupa plastik berwarna-warni atau sobekan-sobekan kain, dan kaleng-kaleng yang diisi kerikil. Tali-tali yang tampak meriah setelah diberi beberapa hiasan gantungan itu, dikendalikan dari pondok-pondok mungil milik petani. Bila muncul sekawanan burung yang datang, tali-tali itu tinggal ditarik saja. Maka dia akan mengeluarkan suara bising dan membuat hiasan-hiasan gantungan yang ada di atasnya jadi ikut bergoyang. Dan itu yang kemudian membuat burung jadi takut dan pergi. Begitu “Mak Etek” memberi keterangan.
“Apa yang bapak jadikan peluru untuk menembak burung-burung itu?”. Tanyaku ingin tahu.
“Cukup dengan kerikil-kerikil ini saja”. Jawabnya sambil mengeluarkan beberapa butir kerikil dari saku kaos kerahnya.
“Sebelum ditembak, apakah burung-burung itu bapak bidik terlebih dahulu supaya sasarannya tepat?”. Tanyaku lagi, sedikit menyelidik.
“Tidak juga, peluru-peluru ini memang ditembakkan ke arah kawanan burung yang mendekat, tapi tidak harus mengenai sasaran. Karena kita kan cuma menghalau saja supaya mereka pergi.” Lanjut Mak Etek lagi, masih dengan ekspresi wajah yang ramah dan penuh senyum.
Dari percakapan ringan dengan “Mak Etek” di sore menjelang senja nan syahdu, cukup banyak informasi yang kudapat terkait teknologi pertanian sederhana yang sudah berkembang sejak zaman nenek moyang di Padang Sibusuk. Mak Etek juga sempat bercerita tentang tradisi “Manduo-duo” padi. Yaitu sebuah tradisi lokal berupa permohonan doa-doa yang dipanjatkan kepada Sang Pencipta. Tujuannya agar tanaman padi yang baru saja mereka tanam, selamat tanpa adanya serangan atau gangguan hama hingga masa panen tiba. Mereka percaya bahwa tanaman padi di lahan-lahan sawah mereka harus “dipagari” dengan doa-doa, agar terhindar dari “Bala” atau kutukan. Mak Etek juga bercerita, pernah sekali waktu masyarakat tak mengindahkan tradisi tersebut karena dianggap sudah kuno dan tidak “kekinian”. Akibatnya, hama tikus menyerang di mana – mana yang menyebabkan banyak masyarakat yang mengalami gagal panen.
Hari pun mulai gelap, suara pengajian dari pemutar kaset yang dipancarkan oleh pengeras suara, terdengar bersahut-sahutan membahana dari surau-surau yang banyak tersebar di sekitar daerah itu, memecah keheningan. Sekaligus juga membuyarkan ‘dialog senja’ kami yang berisi “petuah-petuah” nagari. Ya, meski perjalanan yang kami lakukan sore itu cukup singkat, tapi aku melihat banyak sekali pelajaran yang bisa didapat dari alam. Dan sungguh alam pun banyak memberi pelajaran dan peringatan kepada kita.