Teks ini merupakan pengantar kuratorial dalam Andalas Film Exhibition – Denyut Baru yang dipresentasikan di Universitas Andalas, Kota Padang pada tanggal 21 November 2017 dan Universitas Dharma Andalas pada 28 November 2017. Festival ini diselenggarakan oleh Relair, pada tangal 18 November – 3 Desember 2017.
Dalam film The Football Insident (1976), Joris Iven mengawali narasinya melalui sebuah dongeng tentang seorang tua dengan anaknya menggali gunung yang mengghalangi jalan menuju rumahnya. Ia diejek atas aksi yang mustahil bagi sebagain besar orang itu. Si penggali kemudian meyakinkan, apa yang ia lakukan akan dilanjutkan oleh anak cucunya nanti hingga gunung mengecil. Keluarga ini tidak akan menyaksikan langsung bagaimana gunung itu nantinya mengecil namun, seperti halnya seorang seniman yang hendak menyelesaikan sebuah persoalan kemanusian di Indonesia, membutuhkan sebuah kerja yang sangat panjang, sekalipun itu tidak akan tuntas di tangannya, namun pembaca sejarah akan mengetahui nantinya pada siapa ia berpihak dan kontribusi apa yang bisa diberikan pada pelanjut estafet. Dalam film itu Iven menyoroti perdebatan pelajar di era Mao menyelesaikan persoalan dengan gurunya sesuai nilai-nilai yang dikampanyekan rezim Mao dalam revolusi kebudayaan.
Sebagai agen kebudayaan, seniman ataupun pembuat film, penting untuk menunjukan posisinya di tengah ombang-ambing isu oleh kepentingan poltik. Posisi keberpihakkan ini pun menuntut seniman membaca kompleksitas persoalan di sekitarnya secara mendalam, termasuk pula kompleksitas dan kesadaran akan cara kerja media dan teknologi mediumnya. Seniman perlu membuat publik sadar akan isu lebih dari sekedar dari apa yang dikonstruk penguasa, tentu juga dengan mengembangkan kemungkinan garapan artisitik yang dapat dicapai melalui mediumnya. Pendayagunaan secara maksimal dari medium yang ia gunakan, dan proses mengalami persoalan seharusnya dapat menggiring pembuat film pada eksperimen bahasa yang lebih baik dalam membicarakan persoalan ketika itu dipresentasikan.
Dalam memahami ‘denyut baru’ pun seniman perlu menyelesaiakan tuntutannya untuk sadar dengan sejarah perkembangan medium yang ia geluti. Tidak sedikit para pembuat film kita yang hanya mendapat referensi dari televisi dan bioskop arus utama semata, gagal dalam membicarakan persoalan. Tidak sedikit pula pembuat film kita diarahkan oleh pakem-pakem teknis yang ingin menyerupai industri hiburan yang sedang populer. Alhasil, banyak dari film-film kita, khususnya di Sumatera Barat – yang tadinya ingin kritis – terjebak dalam praktek mengkonstruksi perayaan romantisisme perjuangan semata, dan lebih malang perlakuan yang hanya sebatas menjual keeksotisan kesedihan, penderitaan, alam dan atau tradisi. Menarik menyimak empat film dalam program ini, yang dibuat oleh generasi terkini, dalam membingkai persoalan dan menunjukan keberpihakannya, serta menarik menyimak para pembuat film memposisikan kamera sebagai panggung dalam mengabadikan memori dari orang-orang yang menyadari kehadirannya, sebagai refleksi artistik menggantikan mata kita untuk sejenak mengalami atau terlibat dalam situasi, ataupun penyorot persoalan di sekitar yang menuntut partisipasi publik penontonnya.
Albert Rahman Putra
Solok, 15 Oktober 2017
Ojek Lusi (Winner Wijaya, 2017)
Film ini menyegarkan kembali peristiwa kegagalan pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas yang terjadi tahun 2016 lalu. Kegagalan atas pengeboran itu memberi dampak pada semburan lumpur yang menimbun perkampungan warga setelah sepuluh tahun terakhir. Warga yang kehilangan rumah dan lahan pertaniannya lantas menyadari akan simpati orang-orang yang datang terperangah dengan luasnya lumpur itu, kesadaran itu dimanfaatkan sebagai mata pencarian baru, sementara tidak ada kejelasan kapan ini berakhir. Subjek membumbuinya dengan cerita kesedihan lainnya yang memancing simpati subjek lain dalam film. Film ini kemudian mengajak kita menyoroti dan sejenak berspekulasi dengan gambar hamparan luapan lumpur, yang kemudian kita sadari di bawah sana tertimbun sejuta kenangan. Subjek-subjek yang dihadirkan dengan ringan memaknai ketidak-berdayaan mereka atas apa yang terjadi. Kamera sebagai panggung yang disediakan pembuat film pun tidak serta merta membuat film ini jadi cerewet. Narasi spontan subjek dalam memaknai persoalannya — ungkapan simpati yang diutarakan secara langsung melalui kamera, serta keseharian terkini para korban lumpur — menuntut keaktifan kita menentukan posisi dalam memahami posisi subjek saat ini dan kegagalan pemerintah dalam mengatasi persoalan wargannya.
Panjang Umur Perlawan (Rizky M. Rayadi, 2017)
Dalam masyarakat pertanian kita sering mendengar tradisi syukuran akan hasil panen. Tradisi ini mencerminkan kesederhanaan, adab, dan perayaan dari apa yang kita tekuni. Kali ini kita dihadapkan pada sekelompok masyarakat yang merayakan tradisi baru di era modern, yakni, kemenangan melawan intervensi pemodal tambang. Seperti halnya tradisi syukuran, ia memberi peluang-peluang untuk masyarakat merawat sosial power dan nilai-nilai gotong royong lainnya, serta yang terpenting adalah menunjukan semangat warga yang tetap membara pada apa yang mereka putuskan. Menarik menyimak sutradara memposisikan filmnya juga sebagai cara merawat ‘semangat’ perlawanan. Ia juga berpotensi sebagai propaganda yang menyuarakan optimisme pada persoalan-persoalan senada. Tapi, dengan kehadiran kamera di tengah realitas itu, kita tetap perlu kawatir pada pemanggungan, romansitisime perjuangan, ataupun uforia kemenangan yang tidak bermuatan pengetahuan. Film ini setidaknya berhasil meminilaisir kemungkinan itu.
Tilaran (Suprianto, 2017)
Dalam menyikapi persoalan-persoalan modern melalui mitologi lokal adalah salah satu alternatif yang menarik. Tapi bagaimana ia tidak sekedar menunjukan bahwa kita ‘sedikit berbudaya’ saja. Ada nilai-nilai yang perlu ditarik untuk membuatnya tetap terhubung dengan zaman sekarang. Kehadiran kamera dalam hal ini diumpamakan sebuah kekuatan tak terlihat yang kemudian meneror pelaku kesalahan dalam narasi film. Bersama kamera kita turut menjadi bagian dari mitologi itu.
Oke Lurr (Yanu Andi Prasetyo, 2017)
Dengan tidak komprehensif seorang kawan mengatakan, jalanan pun dapat mencerminkan situasi sosial dan politik kota tersebut. Dalam film ini sutradara memposisikan kameranya sebagai alat sorot atas salah satu situasi kota yang tengah terjadi. Film ini memperdengarkan suara-suara orang yang berada dibalik kamera mengkomentari persoalan trafik di sebuah kota, namun kesadaran cara-cara pengambilan gambar yang melepaskan diri dari cara-cara ‘profesional’ atau pilihannya menjadi ‘amatir’ juga membuat kita insaf pada posisinya sebagai warga yang juga berhak mengkritisi diri sendiri. Percakapan-percakapan spontan yang kadang jadi menyebalkan dengan mengkritik subjek lain yang ditangkap kamera, tapi kemudian ia atasi dengan menjadi bagian dari orang-orang yang ‘melanggar’ itu. Pilihan sutradara memilih jalanan dan menyorot kode wilayah kota kendaraan, serta obrolan memaknai defenisi aturan membuatnya menjadi politis. Film ini berakhir dengan pemegang kamera menuju ‘rumah sakit jiwa’.