Catatan perjalanan di Lampung Timur dalam acara Human Right Youth Camp
Di penghujung Oktober 2017 lalu, saya dan rekan saya Albert Rahman Putra berkunjung Ke Lampung Timur, memenuhi undangan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk hadir dalam rangkaian Human Rights Youth Camp 2017. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Lampung Timur bersama Komnas Ham dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka napak tilas sejarah di Taman Purbakala serta sosialisasi tentang Hak Asasi Manusia, yang juga berdeketan dengan hari peringatan Sumpah Pemuda.
Kami datang pada tanggal 26 Oktober 2017, berhubung lokasi kegiatan cukup jauh dari Bandara Raden Sinten, kami ditransit terlebih dahulu ke salah satu hotel di Lampung Timur, dan bergabung bersama tamu-tamu lain dari Komnas HAM dan INFID. Esok harinya, sejalan menuju lokasi kegiatan, kami diajak mampir ke Way Kambas. Salah satu kawasan perlindungan ekosistem Gajah. Di sana kita bertemu dengan banyak Gajah yang sudah dilatih, serta di sana juga terdapat sebuah rumah sakit gajah yang konon disebut rumah sakit gajah terbesar di Asia. Rumah sakitnya terlihat simpel sebenarnya, tidak sebesar yang dibayangkan, tapi keberadaan rumah sakit ini cukup untuk membuktikan kepedulian pemerintah terhadap Gajah di Sumatera.
Dari Way Kambas, Mas Mugiyanto (aktivis INFID), mengajak kita untuk mampir ke Paguyuban Keluarga Korban Kasus Talangsari. Pada tahun 1989 di Desa Talangsari sempat terjadi kerusuhan antara sejumlah warga Lampung Timur yang disebut kelompok Warisi dan aparatur negara. Kasus ini menewaskan banyak nyawa dari kedua belah pihak, dan belum tertuntaskan hingga sekarang. Sejumlah media dan lembaga menilai kasus ini dipicu oleh kegamangan Orde Baru pada kekuatan masyarakat – yang dinilai dapat menghambat pemerintah. Di sana kami bertemu dengan sejumlah aktivis Talangsari yang hingga saat ini masih memperjuangkan untuk pengusutan kasus Talangsari. Selain itu, Mas Mugi juga memperkenalkan kami yang di antaranya juga hadir Komisioner Komnas HAM dan aktvis INFID lainnya.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju Taman Pubakala, sebelumnya kami transit akhir di rumah salah seorang tokoh NU Lampung Timur. Di sana kita bertemu ibu Bupati, dan pejabat pemerintahan Lampung Timur lainnya. Menarik menyadari dalam agenda itu hadir seluruh perangkat pemerintahan dan aparatnya seperti TNI, Polisi, dan Satpol PP, saling bekerja sama mensukseskan kegiatan ini.
Di sini, salah seorang penyelenggara menjelaskan maraknya kriminalitas yang terjadi di Lampung Timur beberapa tahun terakhir. Di antaranya adalah aktivitas Begal, yang ingin segera dibenahi pemerintah. Angka pengangguran yang tinggi, lemahnya sistem pindidikan, menjadi bagian dari persoalannya. Salah satu upaya yang ingin dilakukan pemerintahan Lampung Timur adalah dengan memperbaiki komunikasi dengan generasi muda dan memacu semangatnya untuk menciptakan lapangan kerja.
Dalam upaya meningkatkan semangat pemuda-pemudi Lampung Timur agar lebih produktif untuk berkerja Ibu Chusnunia Chalim (Bupati Lampung Timur) mengorasikan sebuah tagline “malas nganggur”. Selain itu, Ibu Chusnunia Chalim menegaskan agar masyarakat Lampung Timur tetap menghadirkan keharmonisan atas segala perbedaan. Dalam hal ini, ibu Bupati, menjunjung esensi HAM yang dimiliki oleh setiap manusia sejak ia dilahirkan, lalu perlunya kita menghormati hak-hak itu. Acara Human Right Youth Camp ini turut diapresiasikan oleh M.Khoiron selaku Wakil ketua bidang eksternal Komnas HAM, menurutnya jarang pemerintahan daerah yang memiliki perhatian yang sangat serius pada HAM, untuk itu kegiatan ini menjadi sangat penting untuk disokong.
27 Oktober 2017, siang itu, dibawah tenda utama, telah berkumpul dan bersia seluruh peserta yang terdirid dari pelajar, mahasiswa, dan komunitas pemuda di Lampung Timur. Di depannya, turut bersila Ibu Bupati, Komisioner Komnas HAM, Aktivis INFID, dan Akademisi dari Unila, serta didampingi oleh kepolisian dan TNI. Ada banyak hal menarik saat diskusi berjalan, pertanyaan-pertanyaan yang muncul memberi kita gambaran lain tentang persoalan terkini di Lampung Timur. Pertanyaan-pertanyaan secara umumnya tidak ada yang mengarah pada permasalahan HAM masa lampau.
Salah satu pertanyaan yang menarik bagi saya, datang dari seorang pemuda bertanya mengenai ‘nasib’ guru honorer, yang dianggap tidak seharusnya memiliki pendapatan rendah. Lantas ibu Chusnunia Chalim menanggapinya tanpa memberikan harapan-harapan. Dengan tegas ia menjawab, bahwa memang demikianlah keadaannya. Sederhananya, ibu Bupati, menawarkan kalau yang menjadi prioritas adalah “mendapat gaji”, tentu memang tidak akan cukup dengan menjadi guru honorer, barang kali ia membutuhkan pekerjaan lain yang lebih bersaing. Lalu, Pak Tisnanta selaku akdemisi dari Unila, membesarkan hati pemuda itu, bahwa tidak perlu memikirkan gaji yang kecil sebagai guru honorer, karena sebagai guru upahmu besar di surga.
Siang itu diskusi berlanjut dengan santai, dan pada malam harinya dilanjutkan bersama teman saya Albert Rahman Putra. Diantaranya, Albert menceritakan apa yang ia dan kawan-kawan Komunitas Gubuak Kopi lakukan di Solok, insight bagi pemuda-pemudi Lampung Timur untuk mengembangkan literasi media sebagai bagian dari pergerakan sosial, pendidikan HAM, dan mengkritisi tantangan di era milenial. Selain Albert, juga hadir Melanie Soebono (aktivis HAM/seniman) dan Kak Seto (Aktivis Anak-anak), turut memberi orasi untuk penegakan HAM dan diselingi dengan penampilan musik dari band lokal.