Siang itu, 15 Juni 2017, saya melanjutkan observasi terkait keberadaan komposter di Taman Bidadari. Taman ini merupakan salah satu taman yang berada di Kota Solok, yang sebelumya sering disinggahi pengunjung. Seiring berjalannya waktu dan fasilitas taman yang semakin banyak rusak, taman ini pun mulai sepi. Taman kota seharusnya menjadi poin penting dalam perencanaan sebuah kota, karena selain berfungsi untuk menjaga kualitas lingkungan perkotaan yang padat aktivitas, taman kota juga berpotensi menumbuhkan rasa sosial yang kini kebanyakan mengarah pada sikap individual. Menumbuhkan rasa toleransi, tidak hanya terhadap sesama manusia melainkan juga terhadap mahkluk hidup lainnya. Hal itu dapat tercermin dari taman kota yang baik. Taman yang baik merupakan cerminan kota dengan warga yang baik.
Saya ditemani Arif salah satu partisipan lokakarya “Kultur Daur Subur” memantau demografi pengunjung Taman Bidadari siang itu. Tidak terlalu ramai. Hanya beberapa anak muda yang bersantai. Saya menghampiri dua orang siswa SLTP, mereka adalah Roni dan Fikar. Mereka sedang bercengkrama santai dan melepas penat sepulang mendaftarkan diri ke SLTA. Sekolah SLTP mereka tidak jauh dari taman ini, sekitar 3 kilometer. Sepulang sekolah ia bersama teman-temannya sering mampir untuk bersantai di taman ini.
“di siko angker mah bang, jan sambarang mamvideoan, dulu lai penampakan bayangan hitam sawaktu suting video Mak Pono, nyo suting di bundaran basi nan di bawah tu…” (Di sini angker, tidak boleh sembarangan mengambil gambar, dahulu ada penampakan bayangan hitam sewaktu shooting video Mak Pono, ia shooting di bundaran besi yang di bawah sana), kata salah seorang dari mereka sambil menunjuk ke arah tempat yang dimaksud.
Roni dan Fikar menambahkan, sewaktu pembukaan Taman Bidadari, sekitar tahun 2013 lalu, pengunjung sangatlah ramai. Tempat ini dahulunya adalah salah satu pilihan wisata warga. Taman ini mulai tidak dibenahi ditandai sejak pincuran taman tidak memancarkan airnya lagi. Setelah itu, mulailah satu persatu fasilitas taman rusak. Ada yang rusak dimakan usia dan juga ada yang sengaja dirusak oleh pengunjung, dan sebagainya. Adik-adik yang saya temui ini berpendapat, bahwa yang merusak fasilitas taman ini adalah beberapa pembalap liar yang sering nongkrong di sini. Tak jauh dari taman ini terdapat sebuah jalan baru yang cukup lebar, yang sering menjadi arena balap atau ngebut-ngebutan oleh beberapa remaja atau pemuda Solok. Pembalap itu juga sering menjadi target razia polisi. Akhir tahun 2016, razia dilakukan hampir setiap sore, kemudian di awal tahun barulah balapan liar mulai berkurang. Jalan baru itu memang terlihat sepi tanpa orang-orang yang nongkrong di sana. Di sekitarnya belum banyak bangunan rumah maupun kedai. Jalanan yang cukup luas dan cukup terang di beberapa titik menarik beberapa remaja untuk nongkrong dan foto ria di tengah jalan. Tidak hanya di titik terang sebenarnya, sebelumnya juga pernah beberapa kali muda-mudi tertangkap mesum oleh warga di tempat yang cukup gelap, lalu akhirnya diserahkan kepada petugas.
Di area ini, juga terdapat lampu taman yang difasilitasi oleh pemerintah. Lampu di area ini umumnya menggunakan tenaga surya (solar werk). Beberapa lampu yang ada di area ini sudah tidak berfungsi lagi, dikarenakan kurangnya pengawasan fasilitas yang berada di taman. Hanya satu lampu di bahagian depan saja yang masih berfungsi. Informasi yang saya dapat dari beberapa warga, setiap malam minggu banyak muda-mudi yang berpacaran di area ini. Karena beberapa pasangan muda yang sering tertangkap mesum di sekitar tempat itu, maka taman ini pun sering kali menjadi salah satu target intaian Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Di sini, Satpol PP sering melakukan razia untuk mengantisipasi terjadinya perbuatan yang ‘merusak moral’. Tidak hanya di malam hari sebenarnya, saya juga menemukan beberapa pasangan yang sedang bermesraan pada siang hari di waktu puasa, yang mana untuk lingkungan Solok, atau Sumatera Barat, hal ini merupakan sesuatu yang dipandang negatif. Dan saya yakin mereka berani bermesraan mungkin juga dikarenakan taman itu sendiri yang sepi, serta tidak adanya pengawasan dari pihak taman.
”pas di sinan latak kantua pengawasnyo, dulu lai ado pengawasnyo, kantuanyo lai ndak cayia tapi la kumuah, ndak tarawat, sajak pincuran tu mati lah, pas di situ bana”.
(kantor pengawas taman ini letaknya di pojok depan, dulu pengawasnya masih ada, kantornya masih bagus tetapi sudah kotor setelah pincuran taman itu mati, letaknya persis di sebelah sana).
Lalu saya menanyakan tentang keberadaan komposter yang berada di taman, mereka tidak terlalu mengerti apa itu komposter, lalu saya menjelaskan kegunaan dan keberadaan komposter yang ada di Taman Bidadari kepada mereka, mereka mulai menceritakan pegalamannya membuat pupuk kompos sewaktu di SMP kelas dua.
“kalau pupuak kompos tu pernah kami buek di SMP kelas duo mah, tapi ndak taka tu alat nyo, kami pakai tong biaso se, kami disuruah guru mancari daun, rumpuik, kayu kariang, nan ndak mantapnyo disuruah mancari cik jawi”.
(Pupuk kompos pernah kami buat sewaktu di SMP kelas dua, tetapi alatnya tidak seperti yang ada di taman, kami hanya memakai tong biasa, lalu di tugaskan mencari daun, rumput dan kayu kering, yang paling tidak disukai siswa mecari kotoran sapi, sebagai pencampur bahan kompos).
Saya juga berkunjung ke rumah Pak RT yang bernama Suwardi, selaku RT 01/RW 06 di Kelurahan Kampung Jawa. Beliau banyak bercerita tentang situasi keadaan sosial di lingkungan Ampang Kualo. Untuk sosialisasi pupuk kompos sudah pernah dilakukan, dan diberikan bantuan alat komposter tiap kelompok yang ikut dalam partisipasi. Walau sudah diberikan pembelajaran dasar tentang cara pembuatan pupuk kompos, beberapa warga masih ada yang enggan untuk memberdayakan limbah organik, dan ia juga sedikit meyinggung tentang alat komposter yang tidak diberdayakan di Taman Bidadari.
“Warga di sini sudah diberikan bantuan alat komposter, tapi tidak digunakan. Apalagi di Taman Bidadari…”.
Pak Suwardi memberi sedikit demo membuat pupuk kompos kepada saya. Caranya tidak terlalu sulit, mudah dilakukan di rumah, tidak harus memakai alat komposter. Alat alternatif lain seperti tong cat, karung, atau dengan menggali tanah juga bisa diberdayakan. Proses ini dimulai dengan cara memasukkan tanah terlebih dahulu ke dalam komposter. Lalu, masukkan limbah organik. Kemudian, kotoran hewan dan diberikan EM4 (Effective Microoganism 4), semacam cairan yang baik untuk kualitas tanah; dan yang terakhir adalah tanah itu sendiri. Vegetasi tanaman yang ada di area taman Pak RT umumnya menggunakan pupuk organik. Ia tidak pernah memakai pupuk pabrik. Ia yakin, melalui proses alami, buah atau bunga akan tumbuh sehat dan bagus. Ini diperjelasnya setelah ia mengajak kami melihat tanaman pare, tomat, cabe rawit, cabe Thailand yang ada di halamannya. Buahnya tumbuh banyak dan segar, kami pun diberikan beberapa bibit untuk di tanam di kantor Gubuak Kopi.
14 Juni 2017, saya dan teman-teman yang terlibat dalam lokakarya berkumpul di Pendopo Taman Bidadari. Kami memberikan pandangan kritis tentang hasil observasi yang kami lakukan di TPA sebelumnya. Di sana kami juga berdiskusi tentang dampak sampah terhadap lingkungan, tentang ketidak-biasaan kita untuk memilah sampah orgaik dan non-organik, serta tentang kurangnya inisiatif kita mengelola sampah. Sedikit dari warga yang mengolah limbah organik untuk dijadikan pupuk. Potensi pengolahan pupuk organik sangat tinggi, apalagi melihat sampah yang membeludak setiap tahunnya. Dari hasil observasi yang saya lakukan di TPA Regional Kota Solok sebelumnya, boleh dikatakan limbah organik untuk pengolahan pupuk kompos di sana sangat banyak sekali, tetapi tidak diberdayakan pihak TPA. Sepertinya dikarenakan kurangnya teknologi yang menunjang untuk pengolahan pupuk kompos. Beberapa warga mengolah limbah organik menjadi kompos meggunakan komposter sederhana, untuk skala yang kecil. Convoyer yang ada di Kota Solok hanya terdapat di TPA dan itupun sudah lama rusak.
Setelah berdiskusi, seperti yang diagendakan sebelumnya fasiltator memberikan wacana kepada partispan dan fasilitator untuk merespon situasi Taman Bidadari ini. Kami semua mencari data tentang asal-usul taman ini. Tapi sayang, kami tidak menemukan keterangan yang valid terkait taman ini. Pada akhirnya kami sepakat membuat sejarah alternatif dengan praktik media, atau lebih tepatnya membuat sejarah terkini Taman Bidadari dengan cara bermain sembari merespon objek-objek yang ada di sekitar.
Di Taman Bidadari sebenarnya kita menemukan banyak fasilitas yang menarik, pandopo yang teduh, taman air mancur, area refleksi rematik, wahana bermain, dan yang paling menarik adalah komposter atau alat pembuatan kompos. Sayang sekali semuanya berantakan, banyak sampah, tong sampah yang hilang dan tidak pada tempatnya, air mancur yang mati, dan komposter yang digenangi air. Padahal sangat berpotensi menjadi arena bermain dan belajar remaja, dalam menjaga dan merawat lingkungan.
***
Kembali pada pertemuan saya dengan Rony dan Fikar, setelah banyak berbincang dan bersenda gurau saya dan Arif memutuskan untuk berkeliling kampung sembari menghabiskan waktu sore menunggu adzan maghrib. Saya mengitari Kelurahan Kampung Jawa dan VI Suku. Banyak yang kami hampiri mulai dari Rumah Potong Hewan (RPH), pembagunan kolam renang, dan Taman Kota Solok yang baru. Setiba di Taman Kota Solok yang baru ini kami melihat keadaan taman yang tidak sangat terawat. Tempat ini terdapat belasan sapi yang sedang memakan rumput. Rumput-rumput yang ada di taman ini sudah sangat tinggi. Peternak sapi memanfaatkan tempat ini sebagai tempat menggembala sapi-sapinya. Selain semak dan sapi, pemandangan menjadi lucu melihat meja yang tersangkut di atas pohon. Tapi pada dasarnya, tidak jauh berbeda dengan Taman Bidadari, di area taman terdapat fasilitas bangku taman, parkir sepeda, wahana bermain anak, lapangan futsal yang terkunci dan pendopo. Semoga saja tidak bernasib sama dengan Taman Bidadari.
Beberapa taman di Kota Solok terlihat tidak terurus, berbanding terbalik dengan taman-taman yang ada di rumah warga Kelurahan Kampung Jawa, atau kelurahan lainnya. Tidak hanya Taman Bidadari, banyak taman lainnya seperti Taman Kota Solok, Pulau Belibis, dan Taman Kehati. Pemerintah mengeluarkan anggaran biaya yang besar dalam pembangunan taman, namun hasilnya terlihat tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan.
Dari informasi yang di dapat dari DLH (Dinas Lingkungan Hidup), pada 16 Juni 2017, yang kebetulan waktu itu saya bertemu Bapak Wendri selaku bagian kesehatan, mengatakan bahwasannya petugas yang mengawas di beberapa taman kota di pindahkan ke Taman Syech Kukut, guna mengawasi taman yang paling ramai dikunjungi. Untuk Taman Bidadari, Kehati, Pulau Belibis dan beberapa taman yang berada di Kota Solok, DLH hanya mengurus pada bahagian pertamanan, untuk fasilitas yang ada di taman itu merupakan tugas dari kementerian. Taman Bidadari sendiri merupakan bahagian dari proyek tata ruang dan tata tanah, bukan muncul dari wacana DLH, melainkan wacana P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau).
“Taman Bidadari dibangun pada tahun 2013, saya kurang tahu mengapa diberi nama Taman Bidadari, sebab DLH hanya mengurus tanaman di taman ini pada awal Januari 2017”, kata Pak Wendri.
Taman sejatinya merupakan ruang di dalam kota yang ditata untuk menciptakan keindahan, kenyamanan, keamanan, dan kesehatan bagi penggunanya. Jepang salah satu contoh penerapan taman secara eksklusif baik dari fungsi ekologis maupun fungsi sosial. Salah satunya adalah Taman Ryoanji Temple yang berlokasi di Kyoto. Taman ini merupakan cerminan dari budaya Jepang yang masih kental. taman ini, atau taman Jepang yang saya pahami merupakan kombinasi yang menarik dari segala aspek. Taman ini dikelola tanpa mengubah sifat natural dari alam tersebut. Benda-benda seperti batu, pasir, air, pohon dibiarkan begitu saja, hanya ditambah dengan penataan artistik yang terstruktur. Hal ini merupakan cara pemerintah tersebut menghormati alam dan budaya nenek moyang mereka, sehingga taman ini tidak hanya menjadi tempat menikmati keindahan alam, tetapi juga menjadi situs budaya di Kota Kyoto.
Taman kota yang kurang mendapat perhatian, ini menjadi pertanyaan bagi saya. Bahwasannya taman yang tidak dikondisikan secara maksimal, berbanding terbalik dengan sebagian besar lingkungan privat warga yang asri dan bersih. Baik itu di Kampung Jawa maupun di kelurahan lain, seperti Kelurahan Anam Suku, di sekitar Gurun Bagan. Pemanfaatan lahan di Kelurahan Anam Suku ini sama halnya dengan kelurahan Kampung Jawa. Walau belum terlalu maksimal, tapi di salah satu titik di Gurun Bagan, terlihat beberapa warga mencanangkan gerakan sadar lingkungan melalui kelompok Dasa Wisma. Warga memanfaatkan lahan kosong yang berada di sekitar rumah. Terlihat plang yang bertuliskan “selamat datang, anda memasuki kawasan desa mandiri pangan, kelompok afinitas beringin indah, Kelurahan VI Suku”. Dari tulisan plang ini saya beranggapan bahwasannya, di Kelurahan VI suku, warga berinisiatif untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Terlihat pula dari sebagian besar rumah warga yang memiliki ternak, menanam tanaman sayuran (holtikultura), dan juga ada beberapa taman yang dibuat oleh kelompok Dasa Wisma.
Pada pembekalan lokakarya sebelumnya, saya juga mendapat pelajaran tentang peta kebudayaan agraria. Bahwasannya kultur bertani sangat identik dengan kita masyarakat Minangkabau. Akan tetapi beberapa masyarakat kita kini enggan bertani atau menanam. Hal ini salah satunya diakibatkan munculnya stigma yang secara sengaja atau tidak dikonstruksi oleh media bahwa bertani adalah pekerja rendahan, sebaliknya sebagian besar generasi kita di ‘daerah’ sibuk mengantungkan di instansi pemerintahan atau diperusahan kapital. Hal ini tentu sah-sah saja, namun seperti yang dibincangkan dalam lokakarya, perlu disadari setiap orang bahwa semua profesi itu setara, termasuk kita yang bergiat di komunitas atau organisasi. Selain stigma yang ditimbulkan media, hal ini barangkali juga didukung oleh kesalah-pahaman dalam birokrasi kita. Untuk itu literasi media – seperti diusung lokakarya ini, saya kira penting untuk digiatkan memperbaiki ketelanjuran stigma tadi.
Selain itu, di hari ketujuh Lokakarya Kultur Daur Subur, juga dijelaskan oleh Bapak Elhaqki Effendi pada materi kuliahnya “Perkembangan Pertanian Di Solok” tentang peningkatan produksi pangan, pada tahun 1960-1970. Setelah masyarakat cukup memenuhi kebutuhan pangan di wilayah lokal, pemerintah mulai mencanangkan peningkatkan hasil produksi, khususnya beras. Mulai dari peralihan pupuk kandang ke pupuk pabrik, ini menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat waktu itu. Pemakaian pupuk pabrik memang berdampak cepat pada pertumbuhan tanaman, akan tetapi berdampak pada kerusakan struktur tanah. Akhirnya, pupuk pabrik tetap digunakan untuk meningkatkan hasil produksi, sehingga masyarakat mulai terbiasa menggunakan pupuk pabrik hingga sekarang. Dalam hal ini, pihak pemerintah atau petani perlu pula menyadari pentingnya distribusi dan akses pengetahuan, agar setiap kebijakan dapat dikritisi dengan baik, hal ini seharusnya lebih mudah kita dapatkan sekarang di era internet, tapi tentu kita juga harus sangat selektif dan sadar cara kerja media itu sendiri. Seperti yang dicitakan melalui lokakarya ini banyak informasi dan pengetahuan yang tersebar di kalangan warga itu sendiri, dan menarik untuk diketahui warga lainnya. Seperti penggunaan pupuk yang dikelola dari limbah organik, beragam caranya pun telah tersebar di internet.***