Solok adalah salah satu kota yang dianugerahi tanah yang subur. Hal ini tercermin dari citranya yang melekat diingatan banyak orang sebagai Kota Beras. Selain padi, berbagai macam jenis tumbuhan sebenanrya juga hidup subur di Solok. Beras merupakan komoditi utama di Solok, juga diimbangi dengan berbagai pertanian lain seperti jagung, sayuran, dan tumbuhan keras seperti cokelat dan kopi. Sesuai juga dengan tema Lokakarya yang diusung oleh Komunitas Gubuak Kopi kali ini yaitu ‘Kultur Daur Subur’ yang kemudian mengantar ketertarikan saya membahas persoalan lainnya di balik kesuburan.
Lokakarya yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi ini, mendorong keinginan saya untuk membaca permasalahan lingkungan secara lebih dekat. Terutama yang berada dilingkungan kelahiran saya sendiri yaitu Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok atau yang biasa kami kenal dengan sebutan Kampuang Jao. Di sini saya melihat permasalahan lingkungan yang sepatutnya diperhatikan sedari dulu maupun sekarang.
Hari keempat lokakarya, saya kembali berjalan-jalan malam bersama seorang rekan sesama partisipan. Saya pergi keluar untuk melihat suasana malam di bulan Ramadhan di Kota Solok. Kota kecil yang hanya terdiri dari dua kecamatan ini, kalau dipikir-pikir lagi ternyata memiliki suasana malam yang cukup menarik. Bila di hari-hari biasanya malam cukup sepi, namun pada Bulan Ramadhan kita akan melihat Solok yang ramai. Barang kali ini dikarenakan sebagian perantau sudah kembali, guna merayakan lebaran di kampung halaman. Di antaranya, juga pemuda pemudi yang menuntut ilmu di luar kota, dan kini sudah memasuki masa liburan. Jadi, suasana Ramadhan di Solok semakin terasa begitu meriah. Jika di hari-hari biasanya pada jam 10 malam sudah mulai lengang, kini Solok seperti kota hidup 24 jam. Apalagi mendekati hari lebaran, biasanya akan semakin ramai.
Salah satu titik keramainnya bisa kita lihat di Jalan Pandan, dan di sebuah taman yang berada di pusat Kota Solok, yang tidak jauh dari komplek pasar raya. Taman ini bernama Taman Syech Kukut atau yang lebih dikenal dengan Taman Kota. Lokasinya yang berada di jantung Kota Solok memang menjadi pilihan bagi masyarakat Kota Solok untuk dituju. Posisinya cukup strategis, cocok sekali untuk jalan-jalan keluarga, baik siang ataupun malam. Di dalam komplek Taman Syech Kukut ada beberapa ruko yang menyediakan aneka ragam minuman, makanan, dan juga berbagai macam makanan ringan. Selain itu, di dalam taman sendiri juga dilengkapi dengan fasilitas bermain anak, seperti perosotan, ayunan dan motor-motoran mini yang disewakan oleh beberapa pedagang. Apabila kita berkunjung pada malam hari, kita akan menemukan para kawula muda yang berkunjung, untuk swafoto di depan taman ataupun juga sekedar duduk-duduk melepas penat.
Sementara itu, untuk wisata kuliner dipusatkan di Jalan Cengkeh, sebuah ruas jalan yang tidak jauh dari Taman Syech Kukut. Di sini, kita bisa menemui beraneka ragam kuiliner yang dijajakan melalui stan-stan yang sudah disediakan pemerintah sejak awal tahun lalu. Pusat kuliner ini biasanya mulai ramai pada sore hari sampai sekitar pukul 10.00 malam. Selain pusat kuliner Jalan Cengkeh dan Taman Kota Syech Kukut, masih ada taman lainnya di Kota Solok, seperti Taman Kehati, Taman Bidadari, Taman Pulau Belibis, dan Taman Makam Pahlawan Kota Solok yang tidak terlalu ramai dibanding Taman Syech Kukut. Dalam konteks Solok, jika ada aktivitas masyarakat, berarti di sana juga terdapat sampah yang menjadi salah satu masalah bagi kita bersama. Banyak lagi titik-titik lain di Kota Solok yang menjadi perhatian saya malam itu. Permasalahan ini terdapat hampir di setiap kelurahan.
Seperti yang saya lihat di depan Terminal Bareh Solok. Di sana terdapat sebuah tong sampah, yang sampah-sampahnya tampak tercecer, walaupun ada beberapa tong sampah yang disediakan. Malahan pemandangan ini terletak di bawah sebuah baliho besar, yang terdapat potret istri Walikota Solok sendiri. Sungguh sangat tidak sedap dipandang mata. Observasi saya kemudian berlanjut mengarah ke Kelurahan Kampai Tabu Karambia, atau biasa dikenal dengan KTK (dibaca: kateka). Saat baru memasuki kawasan KTK, lagi-lagi saya disambut oleh tumpukan sampah di pinggir jalan. Sangat jelas bahwa tumpukam ini merusak penglihatan dan juga menimbulkan bau yang tidak sedap, bahkan ketika kita melintasinya dengan sepeda motor. Apalagi kedua kelurahan tersebut merupakan jalur utama transportasi lintas Sumatera yang melewati Kota Solok.
Selepas dari beberapa tempat tadi, saya melanjutkan observasi saya ke daerah Lukah Pandan, dan lagi pemandangan serupa saya temukan di beberapa titik. Lukah Pandan merupakan kawasan perkantoran Balai Kota Solok, dan sepanjang jalan menuju kantor Balai Kota sendiri terdapat beberapa bak sampah yang disediakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Solok. Tapi kawasan perkantoran tampaknya juga tidak luput dari masalah ini. Tetap saja tumpukan sampah dengan mudah bisa kita temukan di sini. Saya melihat ada sekitar 5 bak sampah, namun semua bak sampah ini tidak terawat. Ada yang sumbing dan ada juga yang tidak utuh lagi. Mulai dari bau, hingga bentuk yang tidak enak untuk dilihat, sepertinya ini mempengaruhi keinginan masyarakat untuk membuang sampah sampai ke dalam tong sampahnya. Tak sampai di sana saja, bahkan di bawah jembatan memasuki kantor Balai Kota Solok, ada tumpukan sampah yang tersangkut. Terlihat sepele, namun ini patut diperhatikan. Pasalnya hal ini dapat mengganggu pemadangan dan juga pengairan, karena air selokan atau parit yang cukup besar tersebut merupakan aliran irigasi sawah Solok yang terletak dibelakang Balai Kota.
Alam Solok yang subur dan berpotensi ini, jika tidak dikelola dan dijaga dengan baik juga berpotensi memberi dampak yang buruk. Seperti yang sudah terjadi pada 05 Januari lalu di Batang Lembang, ratusan hektar sawah ikut terendam banjir dan juga keramba-keramba milik peternak ikan ikut tersapu olehnya. Batang Binguang, sungai kecil yang melintasi Kampuang Jao pun kala itu menunjukkan hal yang sama.
Sampah harusnya menjadi masalah yang serius. Jika dibiarkan untuk jangka waktu yang panjang tentunya ini akan menimbulkan masalah besar dan serius juga nantinya. Saya kira pemerintah ataupun kita sebagai warga harus cepat mengambil langkah dini. Seperti yang pernah saya baca di sebuah situs beberapa pemberitaan online, bahwa konsep penanganan sampah yang dikenal dengan 4R (Reuse, Reduce, Recycle, Reflace) akan menjadi rumit jika budaya masyarakat tidak siap memilah sampah berdasar jenis organik, an-organik logam- plastik-kaca. Upaya memasyaratkan pengomposan organik terkendala dengan bercampurnya aneka jenis sampah. Pembakaran menggunakan insinerator menjadi pilihan. Namun menurut pakar lingkungan tungku pembakaran di bawah 1000 derajat celcius tetap beresiko menghasilkan dioxin, semacam zat yang berbahaya bagi lingkungan. Maka jalan teraman, penanganan sampah secara berjenjang dan terdesentralisasi. Dimulai di level rumah – dengan memilah, kemudian menyediakan kontainer berdasar jenis, mendaur ulang jenis plastik-kertas-logam serta sisanya berupa sampah tidak terurai (undegradable) dan sampah klinis dikelola di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional.
Wilayah Solok sendiri memiliki sebuah TPA yang dikelola langsung oleh Dinas PU regional Provinsi Sumatera Barat, yang berada di Ampang Kualo Kota Solok. TPA Ampang Kualo sendiri merupakan TPA untuk daerah Kota dan Kabupaten Solok. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa Kota Solok memang menjadi pelabuhan sampah untuk dua daerah yang berpenduduk kurang lebih 66.106 jiwa[1] untuk Kota Solok, dan Kabupaten Solok sekitar 109.420[2].
Lalu ingatan saya kembali ke sungai Batang Binguang, yang mana anak sungai ini menjadi fokus observasi saya. Mencoba membuka ingatan lalu saya, dulu saya sering sepulang sekolah berjalan kaki melintasi sungai Batang Binguang anatara Nan Balimo dan Tembok. Saat itu saya melihat banyak sekali ibu-ibu yang mencuci, mandi, dan bersih-bersih di sungai itu. Ini berarti sungai Batang Binguang masih dipergunakan secara intens oleh masyarakat sekitarnya. Tak hanya manusia, hewan pun juga menjadi bagian dari kehidupan ekosistem sungai Batang Binguang. Sepengetahuan saya di sungai Batang Binguang masih terdapat berbagai jenis ikan yang hidup di dalamnya. Di antaranya, ikan lele, nila dan beberapa jenis ikan-ikan kecil yang tidak saya ketahui namanya. Bukan hanya ikan, Ular dan Biawak juga menjadi bagian dari ekosistem sungai ini. Tapi keberadaan makhluk berbisa ini sepertinya tidak mengganggu aktivitas MCK masyarakat di sini, dan hewan tersebut pun juga tidak mau mengganggu manusia yang ada di sana. Aliran sungai sendiri saat itu berwarna coklat ke abu-abuan dan lumayan bersih, jadi masih bisa untuk dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi itu sepuluh tahun yang silam, saat saya masih sekolah.
Hari ini Batang Binguang tak lagi terlihat sejernih yang dulu. Airnya sudah berubah, warnanya menjadi cokelat dan terlihat semakin kumuh. Sampah-sampah tersangkut di sepanjang aliran sungai ini, airnya keruh dan sudah tidak ada lagi ibu-ibu yang mencuci atau mandi di sana. Kini yang ada hanya wajah Batang Binguang yang kotor, dan intensitas air yang menyusut. Jika sudah hujan lebat, maka aliran sungai Batang Binguang akan meluap bahkan membanjiri kawasan di sekitaran aliran sungai ini. Semua sampah tidak serta merta akan terbawa hanyut oleh air. Beberapa sampah-sampah itu akan tersangkut di semak pinggiran sungai. Selain sampah, tak jarang juga bangkai binatang yang sudah mati dibuang begitu saja ke sungai ini. Selain itu, penyempitan dan pendangkalan dasar sungai juga menjadi persoalan baru. Kita tahu dasar sungai ini sebelumnya terdiri dari pasir dan kerikil saja, kini dasar sungai berubah jadi berlumpur. Saat masuk ke dalam sungai, kaki kita akan terbenam olehnya. Seperti banjir yang melanda Solok awal tahun lalu, yang mengakibatkan sawah terendam dibeberapa titik, seperti di Sawah Tapi, Salayo, Tanah Garam dan kawasan bypass Salayo. Sungai Batang Lembang yang juga menjadi muara dari Batang Binguang ini, meluap hingga tumpah ruah membanjiri semua yang ada di sepanjang alirannya. Menurut Bupati Solok di beberapa media, banjir diakibatkan oleh penyempitan dan pendangkalan sungai.
Ada rasa sedih bercampur kecewa jika menggambarkan Batang Binguang hari ini. Sekalipun saya tidak besar dan hidup disekita sana lagi, tapi saya selalu memperhatikan perkembangan sungai ini. Umumnya sampah yang terdapat di sungai ini adalah sampah rumah tangga. Masyarakat sepertinya sudah sangat terbiasa membuang sampah ke sungai. Mungkin karena lebih dekat dan juga cepat dibandingkan harus mengantarkan ke bak-bak sampah yang disediakan oleh pemerintah. Dari penglihatan saya, banyak dari penempatan bak-bak sampah ini yang kurang tepat sasaran. Terkadang bak sampah disediakan jauh dari jangkauan, sehingga kadang kita membuangnya sembarangan. Mungkin karena bau dan kotor jadi orang dibuat merasa jijik untuk mendekati bak sampah. Masyarakat jadi lebih memilih sungai sebagai tempat sampah yang lebih mudah untuk dijangkau.
Tidak semua jenis sampah dapat larut dan hancur. Seperti halnya sampah plastik, ia butuh 10 sampai 12 tahun hingga terurai. Botol plastik bisa lebih lama lagi karena polimernya lebih besar dan tebal sehingga membutuhkan waktu hingga 20 tahun lamanya untuk hancur. Lain lagi styrofoam yang sering kita gunakan untuk membungkus makanan, ia membutuhkan waktu hingga 500 tahun untuk bisa hancur sempurna. Saya kawatir kebiasaan kita menyepelekan sampah ini akan berdampak tidak baik di masa mendatang. Saya kira, kita sebagai generasi kini, maupun para orang tua, penting untuk berendah hati dan meninggalkan kebiasaan itu dari sekarang, dan memberi contoh yang baik pada generasi berikutnya. Hal itu dapat kita kembangkan melalui pendidikan rumahan, sekolah, dan dibudayakan dengan cara-cara kreatif lainnya. Demi bumi yang layak untuk semua makhluk hidup.***
_____________________
[1] Data Kependudukan Kota Solok tahun 2015, diakses dari website resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Solok (https://solokkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/12)
[2] Data Kependudukan Kabupaten Solok 2015, diakses dari website resmi Badan Pusat Statistik Kabupaten Solok (https://solokkab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/15)