Minggu, 11 Juni 2017 lalu, sekitar pukul 15:00 WIB, saya dan teman-teman Lokakarya Kultur Daur Dubur, bercerita tentang penggunaan barang bekas sebagai wadah bercocok tanam yang berada di sekitar warga Kampung Jawa, Kota Solok. Hal ini menarik untuk diberdayakan untuk ruang privat maupun publik. Karena selain segar, ini dapat memberikan nalar positif kita dalam merespon persoalan lingkungan. Saya sendiri tinggal di Kampung Jawa atau yang lebih suka saya sebut Kampuang Jao ini sekitar dua tahun. Memang sebelumnya saya tidak terlalu memperhatikan situasi taman-taman warga, maupun persoalan lingkungan umum di sini, tapi dalam lokakarya ini, pikiran saya tertarik untuk mengenal lebih jauh kondisi lingkungan di sini.
Setelah berjalan-jalan di Kampuang Jao, terlihat banyak rumah warga yang memiliki tanaman di perkarangan rumahnya, bahkan tak sedikit di antaranya merupakan taman yang indah. Saya pun penasaran melihat beberapa titik rumah yang rapat dan padat. Saya memasuki beberapa gang di Kampuang Jao. Setelah saya amati sepertinya warga memang gemar sekali menanam dan berkebun. Terlihat banyak rumah yang dipadati bunga, baik itu ditanam di halaman yang seadanya, maupun pada media pot yang dibuat bertingkat atau bergantungan. Dari sekian banyak itu yang paling menarik perhatian saya adalah rumah Buk Ami. Keseharian beliau kini adalah seorang ibu rumah tangga, dan ia juga aktif di organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ia sangat peduli pada lingkungan dan menyukai bunga-bunga. Pekarangan rumahnya dipenuhi dengan berbagai tanaman yang tumbuh mekar. Mulai dari buah-buahan, tanaman obat-obatan, hingga tanaman hias. Buk Ami pun tidak sungkan berbagi tanamannya pada warga yang tertarik.
Lalu saya penasaran dengan taman Dasa Wisma atau taman PKK di sini. Saya teringat dulu di sekitaran rel terdapat sebuah taman bekas Dasa Wisma. Saya berjalan di sisi belakang ruas utama Kampuang Jao bawah, Jalan Mara Hadin atau biasanya kami sebut jalan belakang pustaka, mengikuti rel. Saya berjalan di sepanjang rel kereta api. Di sana beberapa warga memanfaatkan tepian rel yang kosong untuk menanam tanaman, seperti sayur-sayuran, tanaman herbal, dan tanaman hias. Saya tertarik mencari tahu bagaimana warga sekitar memberdayakan lahan yang ada di pinggiran rel maupun rel itu sendiri.
Saya mulai dari titik rel dekat Perpustakaan Nagari Kampung Jawa. Di sana, tak jauh dari pos penyeberangan kerata, terdapat beberapa tanaman singkong yang tepat di pinggiran rel. Dahulunya di sana adalah tanah kosong, atau tanah PT KAI yang sudah menjadi semak sejak kereta tidak berjalan lagi. Kemudian, dari pada dibiarkan tanah itu kosong dan semak, maka ditanami singkong oleh salah seorang warga. Menurut Pak Cuk, Ketua RW 03 Kelurahan Kampung Jawa, pemilik singkong yang ada di dekat perpustakaan itu dulunya pemilik rumah petak yang ada di dekat sana. Setelah rumah petak itu kosong, jadi pemilik singkong itu sekarang adalah warga di sekitar sana, dan yang mengelolah juga warga sekitar. Ya, Selain tanaman singkong, rel ditumbuhi rerumputan liar.
Hanya sebagian kecil warga sebenarnya yang memanfaatkan lahan di sekitar rel. Cara pemanfaatannya bermacam-macam, misalnya untuk meletakkan kandang ayam, ada yang mendirikan warung non-permanen, dan beberapa memanfaatkannya sebagai taman atau kebun.
Sepanjang saya menelusuri jalur rel yang melintasi Kampuang Jao ini, saya bertemu dengan rumah Buk Jusna yang cukup bersih. Buk Jusna atau yang biasa disapa Buk Jus membersihkan semak di rel tersebut, kemudian menanami berbagai tanaman, seperti sayuran, tanaman herbal, dan juga tanaman hias. Jenis tanaman itu lebih tepatnya adalah singkong, asam kapeh, sarai, tebu hitam, ruku-ruku, kumis kucing, daun sari wangi, dan beberapa jenis lainnya. Tetapi kebanyakan yang ditanam Buk Jus adalah tanaman herbal. Tanaman herbal ini tidak hanya untuk kepentingan pribadinya. Biasanya, warga di sekitar sana juga banyak yang memanfaatkannya.
Keseharian Buk Jus hanyalah seorang ibu rumah tangga dan juga membuka warung di rumahnya. Suami Buk Jus yang bernama Pak Baharuddin seorang pensiun dari Perusahaan Jawatan Kereta Api, dan beberapa bulan terakhir jarang keluar karena sakit. Buk Jus dan suaminya, dulu juga memelihara ikan di selokan, yang membatasi halaman rumahnya dengan rel. Selokan itu, kira-kira panjangnya 20 meter. Ia memanfaatkan selokan dengan membatasi jaring kawat setinggi lebih kurang 50 cm. Kebanyak jenis ikan yang Buk Jusna pelihara adalah ikan nila (Oreochronis niloticcus), ikan rayo atau ikan mas (cyprinus carpio), ikan lele (clarias), ikan patin (pangasius), dan jenis ikan lainnya. Tapi sekarang Buk Jus tidak memelihara ikan lagi, karena banyak anak-anak yang mengambil ikan tanpa sepengetahuannya. Dulu pernah satu malam anak dari Buk Jus, yang kebetulan belum tidur mendengar beberapa anak-anak lain yang menangkap ikan itu. Langsung saja anak Buk Jus mengejar mereka, sampai-sampai kerambanya bolong karena anak Buk Jus terjatuh ke dalam selokannya tersebut.
Menurut Buk Jus, di sebelah tamannya inilah dulu terdapat dasa wisma milik RT 01/ RW 05. Tapi sekarang sudah tidak lagi, hanya ada rerumputan liar yang sudah tinggi seperti tidak ada yang mengurusnya. Biasanya Buk Jus dengan suaminya yang membersihkan, tapi beberapa bulan terakhir, terutama di bulan puasa Buk Jus sedikit lebih sibuk, dan suaminya sakit.
Beberapa ibu-ibu lain yang ada di sekitaran rel, dulunya juga pernah mencoba menanami sayur-sayuran di sepanjang rel. Seperti yang dilakukan Ibu Jusna, tapi dikarenakan tempat tersebut banyak batu kecil atau kerikil di dalam tanah, jadi ibu-ibu di sana tidak menanaminya lagi. Beberapa hari yang lalu saya juga melihat-lihat di sekeliling rel kereta api di Galanggang Batuang, Kelurahan Nan Balimo. Di sana banyak sekali warga yang memanfaatkan lahan yang ada di sekitar rel kereta api dengan menanami banyak jenis tanaman, mulai dari jenis tanaman herbal, bunga hias, sampai sayur-sayuran yang tumbuh subur di sana. Dasa wisma yang ada di sana juga cukup aktif, terlihat dari kebun yang diberdayakan ibu-ibu Dasa Wisma terlihat subur.
Sepanjang jalur rel yang saya tempuh menuju Galanggang Batuang, juga ada warga yang tidak memanfaatkan lahan di sekitar rel. Contohnya saja, di depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 07 Kampung Jawa. Di sana terlihat hanya rumput liar yang tumbuh, terlihat kotras sekali dengan SDN 07 yang sangat asri. Tapi, tidak jauh dari sana, ke arah Galanggang Batuang, ada juga warga yang memanfaatkan tepian rel tesebut dengan cara berbeda. Di sana terlihat warga memanfaatkannya dengan menanam cabai dan beberapa jenis tanaman lainnya. Lahan rel yang semak dan berkerikil tetap dibersihkan namun tanaman ditanam pada media pot atau polybag. Cukup rapi dan enak dipandang. Selain itu juga ada yang membuat kandang ternak di tepi rel, seperti yang juga ada di dekat Perpustakaan Nagari Kampung Jawa.
Sore itu, setelah saya melihat-melihat jalur di sepanjang rel, saya mampir ke rumah Pak Basri. Pak Basri adalah seorang pensiunan dan dia kesehariannya kebanyakan di rumah saja. Rumahnya berada di jalur utama Kampuang Jao bawah, di Jalan Yos Sudarso. Pak Basri juga aktif membudidayakan tanaman herbal dan juga sayuran. Waktu saya ke sana melihat koleksi-koleksi tanamannya, saya juga dikasih beberapa tanaman herbal untuk ditanam di taman Gubuak Kopi. Waktu itu saya diberi bawang tiwai dan juga tanaman yang bernama ‘seribu penyakit’.
Dari apa yang saya lihat selama mengitari Kampuang Jao bawah ini, tampak sebagian besar warga yang tinggal di sekitar rel kereta – yang melintasi Kampung Jao hingga Galanggang Batuang – tidak begitu memanfaatkan lahan yang ada. Menurut saya apa yang dilakukan oleh Buk Jus dan beberapa warga lainnya, cukup menarik untuk dikembangkan. Tapi mungkin pandangan saya terlepas dari persoalan apakah salah atau tidak dimata hukum memanfaatkan tanah PT KAI ini. Tapi apa yang dilakukan Buk Jus dan beberapa warga lain, jauh lebih baik ketimbang membiarkan rel kereta yang belum difungsikan itu menjadi semak. Citra warga Kampuang Jao yang suka bertaman di halaman rumah ini seketika luntur dengan semak dan sampah di ruang terbukanya. Lagi pula, saya kira Ibuk Ami dan Bapak Basri pasti juga mau memberikan beberapa tanamannya untuk dikelola bersama. Seperti Dasa Wisma yang sebelumnya juga ada di sini, mungkin bisa ditanami agak sedikit dipinggiran, tapi entahlah ini terlambat atau sia-sia, konon dua tahun lagi kereta segera diaktifkan. Membiarkannya menjadi semak sepertinya itu sayang sekali, takutnya, malah menjadi tempat sampah atau sarang binatang yang berbahaya, seperti ular dan lainnya, atau mungkin juga bisa menjadi sumber penyakit.***