Romantisisme alam yang jelita, atau yang biasa dikenal dengan terma mooi Indie, menjadi piihan estetika utama yang cukup populer di kalangan pelukis Eropa pada masa penjajahan di Indonesia. Banyak para pelukis Eropa yang merekam keindahan alam Hindia-Belanda (Indonesia) untuk dibawa atau mungkin juga dipamerkan ke kampung halaman mereka. Ernts Haeckel, misalnya, salah seorang profesor biologi berkebangsaan Jerman, yang juga dikenal sebagai salah satu pelukis naturalis yang setia pada filsafat Darwinisme, sempat mengabadikan beberapa keindahan alam tropis Indonesia di sela tugasnya mendata spesies makhluk hidup. Beberapa karya lukisnya itu pernah ia publikasikan dalam bentuk buku yang berjudul Wanderbilder atau dalam bahasa Inggris disebut Travel Images, diterbitkan oleh salah satu penerbit Jerman pada tahun 1905. Dalam buku itu, terdapat lukisan-lukisan keindahan alam di wilayah yang pernah ia kunjungi, termasuk Indonesia.
Lewat gaya tersebut, bahkan, si pelukis sering kali menghilangkan objek-objek kemajuan zaman dan realita yang sebenarnya. Penghilangan objek-objek tertentu itu mungkin bertujuan untuk memberikan sesuatu yang tidak ingin dilihat oleh para audiens Barat. Saya pun tidak tahu pasti apakah memang ada tujuan politis di baliknya atau hanya karena memang keinginan untuk mempertahankan nilai eksotisnya saja, atau alasan artistik lainnya. Seperti yang pernah dilakukan Wakidi, salah satu pelukis yang berdomisili di Sumatera Barat, yang pernah mendalami ilmu melukis di bawah bimbingan seorang pelukis Belanda, Van Dick, di sekolah Kweeckschool, Bukittinggi. Wakidi lulus pada 1908, lalu melanjutkan mengajar di sekolah itu dan terus melukis keindahan alam Sumatera Barat. Dalam salah satu lukisannya, yang berjudul Danau Singkarak (1942), misalnya, ia menghilangkan jembatan mobil yang bergandengan dengan jembatan rel kereta api di Singkarak, yang sebenarnya sudah ada pada tahun 1940. Konon, pengurangan objek semaca itu juga kerap ia lakukan pada lukisan alam lainnya (Putra, 2015) sehingga mengantarkan kita pada sebuah referensi yang buram. Akan tetapi, lukisan-lukisan Wakidi memang terlihat indah dengan teknik lukis yang bagus, sampai tokoh-tokoh besar yang berpengaruh pun meminatinya. Adam Malik dan Mohamad Hatta turut mengoleksi lukisannya; semacam legitimasi yang tidak formal yang mengakui kebesaran karyanya.
Dalam beberapa kali kunjungan ke Museum Nasional di Monas, Jakarta, saya menikmati bagian-bagian diorama yang ada di sana, sebagaimana sebagian besar pengunjung lainnya. Diorama-diorama tersebut didominasi oleh ilustrasi-ilustrasi yang menggambarkan, antara lain, semangat kolektivitas, relasi patron-klien, dan aksi-aksi heroik. Banyak di antaranya disertai latar yang indah; gambar-gambar ini mengingatkan saya pada praktik seni mooi Indie, kombinasi jelita alam: laut, pengunungan, pohon kelapa, dan keindahan lainnya yang eksotis khas wilayah tropis.
https://www.instagram.com/albertrahmanp/
Tapi ada beberapa perbedaan menarik antara diorama dan mooi Indie. Saya ingin mengambil satu contoh, yakni tabung diorama Perang Imam Bonjol. Saya sebenarnya sulit meraba di mana negeri yang diilustrasikan oleh diorama itu jika tanpa mengidentifikasinya melalui si tokoh Imam Bonjol sendiri, berdasarkan narasi yang umumnya kita dengan sewaktu belajar sejarah di sekolah. Lain halnya dengan lukisan mooi Indie, yang menurut saya, latar-latarnya dengan mudah dapat kita identifikasi karena merekam sebuah lokasi yang pernah kita lihat tanpa harus mengenali judul. Kita dengan mudah tahu ini lukisan Ngarai Sianok, ini Danau Toba, ini Gunung Slamet, dan seterusnya.
Gaya mooi Indie juga dikembangkan oleh pelukis-pelukis pribumi. Selain Wakidi, ada nama-nama lain seperti Raden Saleh, Wakidi, Basuki Abdullah, Pringadi dan masih banyak lagi. Raden Saleh sendiri sempat disebut sebagai salah satu pionir senirupa modern di Indonesia. Ia mengadopsi gaya romantisisme yang waktu itu populer di Eropa, kemudian ia kembangkan di Indonesia dengan lukisan alam yang jelita. Gaya ini kemudian dikritisi oleh Sudjojono dan dianggap sebagai lukisan yang “tidak berjiwa”. Mooi Indie sangat berkembang di Indonesia, bahkan sampai sekarang, saya sendiri masih sering menemukan gaya lukis ini di tempat-tempat wisata di Sumatera Barat, terutama di Bukittinggi.
Lukisan-lukisan ini sering dibeli oleh para wisatawan. Orang tua dari salah satu teman saya punya banyak koleksi lukisan keindahan ini, semacam kenang-kenangan wisata, katanya. Kadang ia juga termotivasi oleh perasaan simpati terhadap si seniman, yang sangat performatif memindahkan keindahan alam ke dalam kanvasnya. Saya jadi ingat, suatu kali kunjungan ke Panorama Wisata Ngarai Sianok, Bukittinggi, salah seorang pelukis yang berusia sekitar 50-an, berjongkok di depan toko atau galerinya. Ia menghadap kanvasnya yang membelakangi Ngarai Sianok, dan memainkan kuasnya sementara beberapa wisatawan mengelilingi mengamatinya. Waktu itu saya jarang sekali melihat orang melukis secara langsung, jadi saya ikut menonton Si Bapak yang tengah memindahkan keindahan Ngarai Sianok ke dalam kanvas. Orang tua teman saya yang memiliki koleksi lukisan tadi, rupanya pernah mengalami perasaan yang sama. Sebagai orang kantoran, katanya, melihat pelukis handal yang terkesan “tidak diapresiasi“, memancingnya untuk mengapresiasi dengan membeli lukisan itu. Ia memiliki beberapa koleksi yang ia beli dari berbagai kota. Di rumah, ia menyikapi lukisan-lukisan ini sebagai jembatan untuk terus terhubung dengan keindahan alam yang dilukiskan itu. Selain banyak diminati wisatawan, lukisan-lukisan alam Sumatera Barat juga banyak saya temui di rumah-rumah makan Padang di berbagai kota, dan juga rumah-rumah perantau yang ingin memamerkan dan berindu-rindu dengan kampung halamannya.
Di awal-awal kemerdekaan, Sudjojono secara berturut-turut menulis esai yang mengkritisi praktik mooi Indie dalam alur perkembangan senirupa modern Indonesia. Baginya, mooi Indie adalah sebuah cara pandang ‘Barat’ (kolonial) yang ingin terhibur oleh latar keindahan alam Indonesia, suasana tropis yang tidak mereka temukan di kampung halaman mereka (Siregar & Supriyanto, 2006). Tapi dalam sebuah obrolan bersama salah seorang teman, terinspirasi dari sudut pandang Sudjojono, ia melihat mooi Indie sebagai “seni menipu”. Penjelasan ini mungkin tidak hanya soal praktik melukis yang suka menghilangkan objek tertentu, seperti yang dilakukan Wakidi, tetapi juga lukisan mooi Indie lainnya, yang dalam pandangan Sudjojono tidak menampilkan Indonesia yang sebenarnya.
Sudjojono, dalam “Seni Lukis Indonesia Sekarang dan yang Akan Datang” (1946), menulis bahwa Abdoelsalam pernah menggambar seorang anak perempuan yang dipukul halus oleh seorang anak laki-laki, karena anak perempuan tersebut mengatakan “Houd je smoel!” pada si laki-laki, kalimat yang artinya “Tutup mulutmu!”. Pada masa itu, ada yang menganggap lukisan ini tidak baik dan tidak sopan, tetapi begitulah kenyataannya. Bagi Sudjojono, realita yang dilukiskan Abdoelsalam itu terlalu jelek untuk tidak diketahui publik. “…menyembunyikan keadaan yang tadi (keadaan sebenarnya) barang kali sopan dan baik, akan tetapi kita berdusta kepada puteri kebenaran kita yang dinamakan orang: kesenian,” tulisnya (lihat Soedjojono, 1946, dalam Siregar & Supriyanto, peny., 2006, hal. 5).
Sebagai tawarannya, Sudjojono menyematkan ideologi baru di atas pundak pelukis-pelukis muda PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) untuk mengembangkan praktik seni lukis yang ideal, yakni dengan menjalani seni lukis yang “merdeka-semerdeka-merdekanya”, terlepas dari ikatan moral dan tradisi, seraya meninggalkan dogma estetik mooi Indie. Trisno Sumardjo, dalam esainya, “Kedudukan Seni Rupa Kita”, yang pernah dimuat dalam Almanak Seni 1957 (terbitan BMKN), kemudian melihat Sudjojono berhasil melahirkan beberapa karakteristik “seni rupa modern”-nya yang menempatkan tenaga perseorangan dalam pernyataan seni, dengan melepaskan segala pengaruh tradisi yang ada. Jiwa kolektivisme yang disebarkan oleh filsafat, agama, tata negara dari zaman feodal maupun kolonial telah mematikan bakat dan cita-cita perseorangan. Dan itu adalah jiwa yang diperlukan oleh seorang penguasa dari kliennya. Sementara itu, Aminudin TH Siregar menyimpulkan dalam pengantar buku Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan (2006), “Aku” yang dimaksud Sudjojono bukan lagi semata-mata kemodernan mencari jalan keluar atau sebuah eskapisme, tetapi sebuah self-diagnostic sebagai introspeksi dan pemeriksaan batin.
***
Dibatasi. Itu salah satu impresi awal yang membuat saya dan kawan-kawan—yang terlibat dalam proyek AKUMASSA-Diorama di Monas—mendalami apa yang coba dihadirkan Negara sebagai wajah Indonesia. Di saat yang sama, kita sadar, narasi ini adalah hasil rangkaian seleksi panjang atas apa yang hendak ditampilkan dan apa yang enggan, dari begitu banyak peristiwa penting yang telah terjadi. Ada yang diperoleh dari cerita dan wawancara terhadap pelaku sejarah tertentu, ada juga dari hasil bidikan kamera pada masa itu.
Diorama di Museum Nasional tersebut dibuat oleh Edhi Sunarso, selah seorang perupa asal Yogyakarta, atas pesan Pemerintah pada dua periode pemerintahan awal Indonesia. Dalam transkrip video wawancara Edhi dengan Grace Samboh, ia mengungkapkan bahwa ia melakukan nogosiasi terkait hasil risetnya dengan sejarawan dan “pelaku sejarah” yang akan berada di dalam diorama buatannya. Ia sesekali kebingungan, karena telah terlanjur membuat versi A, tapi harus diubah menjadi versi si B yang memiliki kuasa sebagai pemesan; tak jarang, mengeluarkan biaya yang besar pula (lihat Jurnal Southeast of Now, vol. I, 2016).
Dalam sebuah tabung kaca, terdapat sebuah aktivitas yang dibuat tidak bergerak. Ia hadir menarasikan sebuah periode sejarah. Ia tersusun dalam dimensi yang menawarkan kita sensasi begitu nyata. Sensasi yang barangkali juga memancing keingintahuan kita tentang bagaimana jadinya jika kita lihat dari sisi seberang sana, dari atas, dari samping, dan sebagainya. Tapi semua itu hanya penawaran saja, ia sebenarnya terbungkus untuk dibaca dalam satu arah. Tidak dari atas, tidak dari samping, dan tidak dari seberang. Sekitar 50 cm, di depan tabung kaca itu, terdapat sebuah pagar melintang, di sanalah batas terdekat kita berdiri, lalu mungkin kita akan melongokkan kepala.
Kita diundang untuk melihat apa yang ada di dalam tabung kaca itu pada sudut pandang tertentu saja sebenarnya; landscape-nya tersaji utuh sedemikian rupa dari satu sisi. Hanya dari sudut inilah kita bisa melihat langit yang indah sebagai latar belakang beberapa diorama dan pemandangan alam yang jelita, menjadi satu narasi bersama titik-titik manusia kecil yang tidak kita ketahui namanya, dan terpesona pada beberapa tubuh yang berdiri gagah, mungkin yang berdiri di atas podium, yang berdiri di tengah, yang menjadi perhatian kerumunan manusia kecil-kecil, dalam tabung kaca, yang kehebatannya pernah diceritakan guru di sekolah kita, tanpa dikritisi. Penglihatan kita dibatasi, sejak di sekolah, hingga hari ini di diorama Monas.
Hikmat Budiman, seorang peneliti sosial dan penulis buku, dalam sebuah diskusi khusus bersama tim AKUMASSA-Diorama di Gudang Sarinah Ekosistem, 3 November, 2016, melihat diorama sebagai bagian dari tradisi museum Eropa yang juga diadopsi di Indonesia. Ia dikemas sebagai representasi sejarah atau wajah Indonesia pada masa kini. Diorama dihadirkan secara berurutan, menarasikan setiap periode yang dipilih sebagai tonggak (sejarah) perkembangan bangsa ini. Di Museum Nasional di Monas, diorama terdiri dari 51 tabung—menjadi 52 jika kita tambah dengan satu tabung kaca yang kosong—yang berurutan, membentuk sebuah narasi sejarah; narasi itu berhenti di tahun 1995. Dalam diskusi itu, sempat terlintas pertanyaan: mengapa tradisi itu tidak berlanjut lagi di periode pemerintah berikutnya? Apakah medium ini masih dibutuhkan, atau tidak?
Di era Soekarno, atau awal-awal kemerdekaan, Negara membuatkan kita “monumen-monumen raksasa” yang dalam setiap propagandanya selalu dimaksudkan agar kita tidak melupakan sejarah: Monas, Patung A, Patung B, dan lainnya. Megaproyek untuk membangun nasionalisme, monumen-monumen sebagai identitas bangsa baru, dan dikemas sebagai cita-cita nasional yang berapi-api. Berikutnya, di bawah Rezim Suharto, aksi memonumenkan sejarah dilakukan dengan cara yang berbeda. Karya diorama banyak dibuat di era tersebut. Salah satunya dengan meneruskan diorama era Soekarno yang kita lihat di Monas saat ini, dan beberapa museum lainnya, atau yang paling besar adalah Indonesia yang diperkecil, di Taman Mini Indonesia Indah. Sebuah Grand Design, ingin ditonton secara berurutan, memperlihatkan glorifikasi, dan janji masa depan yang lebih baik. Kemudian, seperti yang juga disinggung Hikmat Budiman, diorama berdampak terjadinya penyederhanaan sebuah narasi. Menyederhanakan, juga berarti tidak memasukkan hal “yang dianggap tidak begitu penting”, agar mudah diingat dan diterima tanpa ada narasi tandingan untuk generasi berikutnya dalam mempelajari sejarah. Menyerderhanakan, dalam kasus Taman Mini Indonesia Indah, seperti yang digambarkan Hikmat, membuat kita dengan sederhananya menyebut Sumatera Utara itu Batak, Sulawesi Selatan itu Bugis, dan seterusnya, seolah mengabaikan etnis lain yang juga hidup berdampingan di sana.
***
Dalam tabung kaca itu, ada jemari yang menggaruk siku, menggaruk hidung, dan ada yang menggaruk kepala. Ada yang duduk setengah bersila di atas kursi dalam sebuah pertemuan. Ada mulut yang mendekat pada telinga yang ditutupi jemari di tengah keramaian. Ada yang menunjuk-nunjuk. Ada yang tertidur di tengah rapat. Ada yang mengintip dari luar jendela sebuah pertemuan. Gesture itu terlihat hampir dalam setiap diorama, dalam narasi sejarah yang terputus dan penuh distorsi yang sampai pada kami, generasi 2000-an. Gesture itu teridentifikasi sebagai diri kami sendiri setelah pembesaran-pembesaran yang kami lakukan menggunakan teknologi kamera, melompati batas pagar tabung kaca.
Pembesaran dari narasi arus utama tersebut menjadi target bingkaian oleh teman-teman tim AKUMASSA-Diorama, bersama teknologi kamera dan kemungkinan “zooming” yang memungkinkan kita untuk melihat hal-hal yang terkurung dalam tabung kaca itu.
Kami tumbuh sebagai generasi yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung. Kami (seolah) mengalami situasi—dengan keberadaan infrastruktur yang menempatkan—sejarah sebagai sebuah objek formalitas dalam menyelesaikan ujian-ujian di sekolah. Dan itu membuat saya merasa cukup terpisah dari narasi yang dihadirkan diorama. Ya, walaupun diorama sebenarnya memang dipersiapkan untuk kita yang tidak mengalami sejarah itu.
Pemikiran kami dikusutkan oleh aksi para akademisi yang unjuk bukti-bukti sejarah, menolak yang lainnya, memutuskan kambing hitam, menentukan pahlawan, dan sebagainya. Membangun imajinasi ‘konspirasi canggih’, dan tanpa sadar kami membicarakannya sebagai sesuatu yang eksotis.
Pengunjung diorama Monas cukup ramai dan beragam. Beberapa datang bersama teman, pacar, keluarga, rombongan sekolahnya, ataupun sendiri. Ada pula beberapa di antaranya melihat-lihat diorama secara acak, mereka terdiri dari beberapa kelompok yang tidak dipandu, hanya memilih tabung kaca yang ingin mereka lihat saja. Beberapa memahami teks pendamping yang dituliskan di depan tabung kaca itu. Beberapa hanya melihat dan mendengar cerita dari pembimbing dan pemandunya, beberapa hanya menikmati keindahan-keindahan visual. Beberapa pengunjung lainnya mengeluarkan kamera, lalu memotret dan berfoto di depannya.
Sekelompok anak muda, mulai berdiri membelakangi tabung kaca diorama, mengangkat kamera digital atau smartphone-nya dan mengambil protret diri mereka yang berada di luar diorama itu, melihat hasilnya sejenak, lalu mengulangi, berkali-kali, dan melanjutkan tindakannya ke narasi visual lainnya yang menarik bagi mereka. Kemudian melakukan seleksi, lalu publikasi. Aktivitas ini terlihat sangat performatif. Dengan sendirinya, pengunjung menentukan narasi, menghubungkan diri mereka dengan sejarah yang menjadi latar pose mereka, secara swadaya.
Beberapa waktu lalu, teman-teman AKUMASSA-Diorama, dengan bantuan sebuah lensa tele menemukan hal-hal janggal dalam diorama. Ada tiga pasang kaki tergeletak di sudut ruang tabung kaca. Belakangan, kita juga sadar, banyak orang-orang diorama yang miring berdirinya. Tidak simetris. Ada yang ngomong sendiri. Ada yang memegang pedang buntung. Mungkinkah si pembuatnya lalai…? Tapi… masa bodoh!
Lalu, masih bersama tim AKUMASSA-Diorama, kita melihat sebuah vending machine dipertukarkan dalam sebuah suasana transaksi di pelabuhan. Atau sebuah lampu digital petunjuk menuju cawan Monas yang juga ditemukan di sebuah pendopo saat pembangunan Borobudur. Atau cahaya-cahaya yang ajaib muncul dari genggaman seseorang berpakaian Cina. Semua itu sebenarnya adalah pantulan real-time kenyataan lokasi yang ada di luar diorama itu, kemudian menyatu dalam dimensi tabung kaca—yang tadinya terasa begitu berjarak—menjadi terhubung dalam sudut penglihatan tertentu. Teknologi ternyata tidak hanya melahirkan penafisran yang sangat berjarak, tetapi juga menjadikannya sangat horizontal dan terhubung.
“Ketika orang sedang membaca sejarah, dalam kesadaran tertentu ia sebenarnya juga berada dalam situasi sejarah itu sendiri,” saya teringat diskusi dengan seorang teman seminggu lalu.
Bibliografi
Putra, A. R. (2015, Juni 8). Lukisan Lampau: Kabar Indah di Singkarak. Diakses pada November 11, 2016, from akumassa: http://akumassa.org/id/lukisan-lampau- kabar-indah- di-singkarak/
Siregar, A. T., & Supriyanto, E. (Eds.). (2006). Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Nalar.
Artikel ini adalah satu judul dari buku/catalog proyek seni akumassa-Diorama “Diorama: Karena Sejarah Adalah Fiksi” yang publis oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Selain itu artikel ini juga dipublikasi di diorama.id dengan judul Kejelitaan Yang Disunting.