Minggu, 18 Desember, 2016, saya mendatangi sekretariat Gubuak Kopi di Kampung Jawa, RT01/RW05, Kecamatan Tanjung Harapan, Solok. Sesampainya di sana, saya berkenalan dengan dua orang relasi kami yang datang dari Jakarta, Manshur Zikri dan Muhammad Fauzan Chaniago. Mereka adalah tim riset dari Forum Lenteng yang akan melakukan observasi selama satu minggu di Kampung Jawa untuk mempersiapkan rencana kegiatan kolaborasi kami di bulan Februari, 2017.
Siang itu, pada mulanya kami mendatangi rumah Pak RT yang biasa kami panggil Pak Roni. Maksud kedatangan kami adalah untuk memberitahukan sekaligus meminta dukungan ketua RT bahwasanya akan ada kegiatan dan riset dari Jakarta untuk kegiatan yang akan kami adakan antara Februari sampai Maret, 2017, mendatang. Pak Roni menyarankan kami untuk menyiapkan surat kepada kelurahan. Dan rencananya, kami bukan hanya menyiapkan surat untuk Kelurahan saja tetapi juga untuk RT, RW, Bundo Kanduang dan ketua pemuda setempat. Selain meminta restu, kami juga meminta saran kepada beliau apa-apa saja yang bisa kami kembangkan. Pak Roni merekomendasikan kami untuk mengunjungi sekretariat Bundo Kanduang dan pegiat kebudayaan setempat.
Kunjungan selanjutnya pada hari itu adalah kediaman Buya Khairani. Beliau adalah pegiat kebudayaan dan pemerhati adat, tetapi juga aktif di salah satu radio lokal Solok untuk mengisi acara berupa pituah-pituah adat. Sesampainya di sana, kami juga bertemu lagi dengan Pak Roni yang saat itu kebetulan sedang mengunjungi Buya. Ternyata Pak Roni sudah memberitau Buya Khairani bahwa kita akan mengadakan riset dan acara besar. Ide kami ini disambut baik oleh Buya Khairani.
Rekan saya, Albert, lantas memulai perbincangan dengan Buya lewat pertanyaan tentang sejarah kebudayaan mengenai Kubuang Tigobaleh. Buya Khairani berkata bahwa akan ada penjelasan panjang dan monoton jika kita membicarakan tentang hal itu. Maka, Buya Khairani hanya menjelaskan sedikit tentang Kubuang Tigobaleh. Dari sumber yang saya baca, diperoleh keterangan bahwa nama Kubuang Tigo baleh berasal dari datangnya 73 orang dari daerah Kubuang Agam ke daerah yang sekarang disebut Kabupaten dan Kota Solok. Tiga belas orang di antaranya tinggal di Solok dan Selayo serta mendirikan Nagari-nagari di Sekitarnya. Sedangkan 60 orang lainnya meneruskan perjalanan ke daerah Lembah Gumanti, Surian, dan Muara Labuh (Padusi, 2010)
Banyak pelajaran adat maupun alam yang kami dapatkan dari Buya Khairani. Rekan saya, Zikri, mengutip perkataan Buya Khairani di akun Facebooknya: “Dalam diskusi tuh, jan pernah mamatah, mamfitnah, mambandiang!” [Dalam diskusi itu, jangan pernah mematah (kan argumen kawan), memfitnah, dan membanding-bandingkan]. Di ujung obrolan, Buya Khairani menawarkan diri untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang kami akan adakan mendatang.
Setelah berpamitan pulang, kami melanjutkan perjalanan menuju TPA yang lokasinya berada tidak jauh dari kediaman Buya Khairani. Sesampainya di sana, kami disambut oleh puluhan ekor sapi milik warga di sana. Tujuan kunjungan kami ke TPA ini adalah untuk mensurvei sampah-sampah yang kemungkinan dapat kami jadikan sesuatu untuk proyek di bulan Februari itu. Setelah berjalan beberapa meter melewati sapi-sapi, kami bertemu petugas TPA yang sedang menimbun sampah. Melihat kedatangan kami, ia pun langsung break dan mendekati kami yang pada saat itu memperhatikannya bekerja. Lalu, ia memperkenalkan diri sebagai Heri. Dia menyangka bahwa kami adalah tim dari Adipura yang akan menilai kebersihan di sana. Kami pun menjelaskan tujuan kami, bahwa kami berkunjung ke TPA itu untuk meninjau sampah-sampah yang akan kami jadikan proyek daur ulang dengan pendekatan seni.
Sepulangnya dari TPA Sampah Regional, Kota Solok, kami memilih jalan pulang yang melewati Pulau Belibis. Pulau Belibis adalah salah satu ikon di Kota Solok. Di sana, terdapat taman-taman dan beberapa panggung untuk pertunjukan seni, namun sudah jarang dimanfaatkan. Tujuan kebanyakan masyarakat Solok ke Pulau Belibis adalah untuk memancing. Di sekitaran Pulau Belibis memang tersedia beberapa kolam pancing yang menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat di sana untuk mengisi waktu luangnya. Kami memberhentikan kendaraan di Gerbang Taman Pramuka. Lokasi Taman Pramuka juga sangat dekat dengan Pulau Belibis. Setelah Albert menjelaskan tentang Pulau Belibis dan Taman Pramuka kepada Zikri dan Fauzan, kami langsung pulang dan beristirahat sejenak di kantor Gubuak Kopi.
Rencana kami selanjutnya sebenarnya adalah mengunjungi buk Rosmini ke Sekretariat Bundo Kanduang Kampung Jawa. Albert juga sudah membuat janji, namun waktu sudah larut untuk berkunjung karena keasikan mengobrol dengan Buya Khairani. Selepas magrib, dua orang teman saya dari Jakarta itu memilih untuk bersilaturahmi ke Rumah Albert di Koto Baru dan berkenalan dengan orang tuanya sekaligus ikut makan malam juga di sana. Setelah makan, kami mengobrol banyak dengan orang tua Albert. Yang paling melekat di benak saya adalah obrolan tentang coretan dinding yang menurutnya merusak pemandangan. Fauzan yang aktif di Visual Jalanan, sebuah program pengarsipan dan penelitian tentang fenomena-fenomena visual di Jalanan, di gagas oleh Forum Lenteng, menjelaskan bahwa tidak semua coretan-coretan itu merusak. Banyak dari aktivis maupun seniman yang berkarya melalui dinding-dinding jalanan dan itu bukan hanya asal-asal coret saja. Menurut Fauzan, ada maksud dan pesan yang disampaikan oleh Seniman maupun aktivis tersebut. Karena waktu sudah lebih dari jam 10, kami berpamitan pulang.
Survei ini akan terus berjalan beberapa hari ke depan. Masih banyak orang-orang (tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, tokoh pemuda, dlsb.) yang mesti Gubuak Kopi kunjungi satu per satu. Kami juga perlu memperdalam isu-isu lokal di Kota Solok yang memiliki potensi untuk diangkat menjadi tema besar proyek seni kami tahun depan.