Catatan Pustaka Nagari Kampung Jawa, Bagian II
Siang itu (Selasa, 04 Oktober 2016) aku menelfon buk Rosmini, beliau adalah tenaga pengelola bagian layanan teknis Perpustakaan Nagari. Aku dan teman ku Albert masih ingin menanyakan tentang Perpustakaaan Nagari yang berada di Kampung Jawa, Kota Solok. Beberapa hari sebelumnya, kami telah mengunjungi perpustakaan ini, dan bertemu dengan Uni Des, yang menyarankan kami untuk bertemu Ibu Rosmini. Sehari sebelumnya Albert sudah membuat janji dengan Buk Ros, tapi beliau tak kunjung tiba. Aku memutuskan untuk menelfon buk Rosmini siangnya, Buk Ros pun mengatakan ia akan mengunjungi kantor kami (sekretariat Gubuak Kopi, masih berada di Kampung Jawa).
Sekitar jam 17:00 buk Ros menelfon, beliau memberitahu kalau ia tidak bisa datang ke tempat kami dan mengusulkan kami untuk datang ke TK Restu Bunda tepatnya depan Simpang Kamboja, yang sebenarnya tidak jauh dari markas Gubuak Kopi. Kami memutuskan untuk langsung ke sana. Dari seberang jalan tampak dua orang tua yang duduk di depan percetakan undangan, kami menghampirinya, ternyata itu buk Ros dan mantan ketua RT sebelumnya. Kami menyeberangi jalanan, menyalami buk Rosmini dan Bapak itu. Aku duduk di sebelah buk Ros, dan temanku duduk di tempat bermain anak – anak Tk tapatnya di depan kami. Langsung saja buk Ros menanyakan apa tujuan kedatangan kami, Albert pun menjelaskan tujuan kami.
Albert, selaku ketua Gubuak Kopi menjelaskan tujuan mencari ibu Rosmini, bahwa kami tengah meriset aktivitas lembaga dan ruang distribusi pengetahuan yang ada di Kampung Jawa, Salah satunya Perpustkaan Nagari. Buk Ros pun sepertinya sangat support kegiatan kami. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh temanku ke buk Ros, buk Ros pun menjawab semua pertanyaan kami. Pustaka Nagari sudah berdiri beberapa sebelum tahun 2010. Ibu Rosmini sebenarnya tidak ingat pastinya kapan, tapi ia menggambarkan tahun itu ia pensiun dan perpustakaan itu sudah ada.
Sebelumnya, Perpustakaan Nagari itu adalah kantor Lurah. Setelah kantor itu pindah, ruangan itu pun kosong untuk beberapa saat. Waktu itu Bapak Suardi baru saja habis masa jabatannya sebagai Kepala Kelurahan, karena beliau tidak tega ruangan itu kosong dan tidak digunakan, maka bapak Suardi dan istrinya, Ibu Rosmini, yang sebelumnya juga ketua PKK, menginisiasi untuk membuka perpustakaan di sana. Waktu itu kebetulan ada dana bantuan dari PNPM, selain itu buku – buku juga di dapat dari bantuan Pemerintah Provinsi dan perantau. Pengelola sehari – harinya waktu itu hingga kini adalah ibuk Fatmawati atau biasa disapa ibuk Fat, tapi beberapa waktu lalu ibuk Fat mengalami kecelakaan di depan perpustakaan, tulang kakinya patah dan hingga saat ini masih belum beraktivitas. Sejak kecelakaan itu perpustakaan jarang di buka, kadang yang membuka pustaka Nagari Uni Des yang berjualan di depan Pustaka Nagari.
Pustaka Nagari sebelumya pernah mendapat penghargaan juara tiga di tingkat Provinsi, dan mendapat penghargaan. Tiap Lurah mendapatkan dana PNPM, dana itu pun diarahkan ke pustaka Nagari. Buku – buku di pustaka Nagari tidak ada pembaharuan, tidak seperti yang dikatakan Uni Des sebelumnya, bahwa buku-buku selalu diperbaharui setiap bulannya. Buku yang ada di pustaka Nagari juga di dapat dari pustaka keliling, tapi akhir – akhir ini pustaka keliling tidak lagi ke Perpustakaan Nagari, Kampung Jawa. Sebelumnya juga pernah ada rencana dari Perpustakaan Umum Kota Solok, untuk menjadikan Perpustaka Nagari sebagai cabang, tapi sampai sekarang belum dijalankan, dan ibuk Ros tidak tahu kenapa.
Pengunjung Perpustakaan Nagari, rata-rata antara lima belas hingga dua puluh orang saja tiap bulannya. Mereka biasanya adalah anak – anak sekolah Mandrasah Ibtidaiyah yang berada tepat di depan perpustakaan itu. Seperti yang diungkapkan Uni Des sebelumnya, buku yang mereka cari kebanyakan buku cerita dongeng dan buku-buku bergambar. Sampai sejauh ini belum ada rencana ke depan mengenai pengembangan Perpustakaan Nagari. Dalam hal ini Albert juga mengatakan bahwa maksud dari riset ini salah satunya juga untuk melihat peluang kerja apa yang bisa dilakukan oleh Gubuak Kopi bersama pihak perpustakaan untuk mengghidupkan kembali perpustakaan ini, terutama dalam mengembangkan kesadaran pentingnya membaca. Menurut ibu Rosmini, salah satu kendala masyarakat jarang ke pustaka Nagari adalah karena mendahulukan kepentingan ekonomi, dalam hal ini mencari uang, dan juga belum terlalu banyak yang mengetahui keberadaan Perpustakaan Nagari ini.
Sebelumnya, kami juga mengetahui buk Ros juga ketua Bundo Kanduang Kampung Jawa, di Kota Solok. Kami juga menanyakan apa saja program Bundo Kanduang, sekretariat Bundo Kanduang juga bertempat di pustaka Nagari, sudah berdiri sejak 2013. Buk Ros sudah dua kali periode menjadi ketua Bundo Kanduang, periode pertama dari tahun 2010 sampai 2015, dan periode 2016 sampai 2020, untuk tahun 2021 buk Ros sudah tidak bisa lagi menjadi ketua Bundo Kanduang, tapi berkemungkinan sebagai DPO (Dewan Pertimbangan Organisasi). Bundo Kanduang menurut ibu Rosmini banyak berkecimpung di urusan seni, adat, dan agama. Setiap bulannya Bundo Kanduang mengadakan pertemuan di sekretariatnya, anggota Bundo Kanduang kurang lebih tiga puluh lima orang, tapi seperti yang dikatakan ibu Rosmini, tiap kali ada pertemuannya biasanya kurang dari dua puluh lima orang, lain halnya jika ada bantuan dan mendapatkan baju semua anggota Bundo Kanduang baru hadir, kata ibu Rosmini dengan kesal.
Tiba-tiba ibu Rosmini menjelaskan, Bundo Kanduang terdiri dua macam, yang pertama Bundo Kanduang Saparuik, yang kedua Bundo Kanduang secara Organisasi. Bundo Kanduang saparuik adalah ikatan Bundo Kanduang yang mempunyai hubungan ibu atau kekeluargaan. Sedangkan, Bundo Kanduang sebagai Organisasi adalah seperti yang diketuainya waktu sekarang, yakni organisasi yang dikelola di ruang lingkup kelurahan. Buk Ros, mengelola Bundo Kanduang Organisasi di Kampung Jawa. Buk Ros sebelumnya sempat menolak menjadi ketua Bundo Kanduang, beliau sedikit minder karena tidak bersuku Minang asli. Bapak buk Ros adalah orang Minang, dan Ibunya adalah orang Jawa. Secara adat di Minangkabau yang materilineal, ibu Ros tidak dianggap “Minang tulen”. Tapi, pihak yang menunjuk buk Ros, menjadi ketua Bundo Kanduang menjelaskan bahwa yang menjadi ketua atau anggota Bundo Kanduang yang penting harus beragama Islam.
Masyarakat di Kelurahan Kampung Jawa Solok ini sebenarnya merupakan masyarakat pendatang, tidak banyak yang asli daerah sini. Menurut cerita yang pertama kali membuka wilayah di sini adalah masyarakat Jawa, dan kemudian juga di isi oleh orang Minang lainnya, baik dari Pariaman, Pesisir Selatan, dan sebagainya. Bundo Kanduang pada dasarnya adalah pengorganisasian untuk mengembangkan identitias Minangkabau yang juga terdapat di daerah lainnya di Sumatera Barat selain kepulauan Mentawai. Jadi memang, program Bundo Kanduang, banyak mengedepankan nilai-nilai budaya Minangkabau.
Rencana ke depan Bundo Kanduang adalah persiapan mengikuti pawai ulang tahun Kota Solok, biasanya Organisasi ini mendapatkan bantuan dari Dinas Pariwisata, dan juga Bapak Lurah. Bundo Kanduang juga mempunyai alat seni talempong (salah satu kesenian tradisi Minangkabau), tapi mereka tidak bisa memainkan alat itu, kadang anggota Bundo Kanduang latihan talempong di TK Restu Bunda. Buk Ros juga minta diajarkan main talempong ke temanku, ia akan membicarakannya dengan anggota Bundo Kanduang lainnya. Tiap Kelurahan mendapatkan tema dari Kota, dari pemilihan tema itu lewat cabut lot dari Bundo Kanduang. Di Kota Solok sendiri ada tiga belas Kelurahan termasuk Kelurahan Kampung Jawa.
Kami juga mengetahui buk Ros juga terlibat dalam ibuk – ibuk PKK sebagai wakil III (baca: wakil tiga). Temanku pun juga menanyakan tentang PKK. Beda Bundo Kanduang dan PKK adalah, kalau Bundo Kanduang hanya di Sumatera Barat, tapi kalau PKK adalah dari pusat sampai ke RT/RW, dari pusat maksud buk Ros, ibuk – ibuk PKK mulai dari istri Presiden sampai Istri RT. Ketua PKK buk Rosmiyeti istri Lurah Kampung Jawa. Yang menjadi ketua PKK hanya istri Presiden, Lurah, RT/TW. PKK terdiri empat bagian Koja (Kelompok Kerja), koja pertama tugasnya lebih ke kelompok yassin, dan masyarakat. Koja dua lebih ke usaha atau UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga) seperti Koperindag, koja tiga lebih membentuk dasa wisma atau perkebunan antar RT/RW, koja empat lebih ke posyandu, dan puskesmas.
Albert melihatkan beberpa foto daur ulang yang kami lakukan di program Kelas Warga “Kultur Daur Subur”, buk Ros pun tertarik. Ia menelfon temannya dan memberitahukan kalau kami ada kegiatan tersebut, dan mengajak PKK bekerja sama dengan Gubuak Kopi. Tiap koja ada penilaian, berhubung ada penilaian untuk koja tiga bulan Maret, buk Ros menawarkan kami untuk membantu Dasa Wisma RT 03/RW 06 tepatnya Banda Balantai, Ampang Kualo, Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Karena Dasa Wisma disana tidak tersusun rapi, barang kali kami bisa bantu menata Dasa Wisma tersebut. Biasanya Dasa Wisma RT 03/RW 06 akan membersihkan kebunnya satu kali dalam seminggu, yaitu hari Jum’at dan itu dinamakan Jum’at bersih, biasanya ibuk – ibuk Dasa Wisma goro dari jam 08:00 sampai 10:00. Buk Ros mengajak kami untuk bertemu dengan temannya yang ditelfon tadi.
Ibu Ros sebelumnya juga sempat menyayangkan PKK saat ini tidak begitu aktif. Rata-rata yang menjadi pemimpin juga berprofesi sebagai pegawai negeri, yang lebih diharapkan menjalankan tugas sebenarnya adalah ibu-ibu yang di rumah (tidak bekerja), namun sayangnya mereka kadang juga kebingungan untuk melakukan apa. Kedepannya Ibu Ros juga menyambut baik keinginan Gubuak Kopi untuk mengerjakan banyak hal bersama.