Mari, Sabtu ini (25/Juni) Ngabuburit sambil nonton di Sinema Pojok.
Akhir pekan ini kita bakal menayangkan dua filem. Pertama, “Kitorang Basudara” karya sutradara Ninndi Raras/30 minutes/2015/Indonesia/Fiction. Bercerita tentang kakak adik dari Papua, yang berusaha memahami Kota Jogja sementara mereka mencari tempat kos.
Filem kedua ada “Potongan”, sebuah perhatian mendalam mengenai penyensoran filem di Indonesia, khususnya penyensoran yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Disutradarai oleh Chairun Nissa/70menit/Indonesia.
Jangan lewatkan!
Sabtu, 25 Juni 2016
16.00 wib
di Gallery Gubuakkopi,
Jln Yos Sudarso, no 427, Kampung Jawa, Kota Solok.
Donasi minimal Rp. 10.000 untuk dua filem.
TENTANG FILEM YANG AKAN TAYANG
KITORANG BASUDARA
Synopsis
Yogyakarta merupakan sebuah kota tujuan belajar bagi anak-anak muda dari banyak kota lain di Indonesia. Seorang anak muda, yang tinggal di asrama yang semakin sesak, sedang berjuang untuk menyelesakan pendidikannya. Adik lelakinya, yang berasal dari Papua, datang ke Yogyakarta dan untuk sementara tinggal di asrama. Berhari-hari sang kakak menemani adiknya untuk mencari rumah kos—sebuah pencarian yang ternyata tidak mudah. Selama perjalanan mencari rumah kos, sang adik mencoba memahami penolakan oleh banyak pemilik rumah kos, mencoba memahami pekerjaan sampingan sang kakak sebagai penagih hutang, dan mencoba beradaptasi di kota baru.
Yogyakarta is a destination city for many young people from other cities in Indonesia to study. A young man, who is living in a dormitory which is getting full, is struggling to finish his study. His brother from their home town, Papua, comes to Yogyakarta and stays for a wile in the dorm. For days, the older brother accompanies his younger brother to look for a boarding house—it turns out to be a difficult search. During their journey to find a boarding house, the younger brother tries to understand the rejection from many boarding house owners, tries to understand his older brother’s side job as a debt collector, and tries to adapt to the new city.
Tetnang Sutradara/ About Director
Seorang penulis perempuan yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta. Peduli pada persoalan identitas dan kehidupan anak-anak muda. Dua film yang telah dirampugkannya, “Rahasia” (2011) dan “sweet seventy” (2014), mendapatkan apresiasi yang baik di Indonesia. Saat ini, di usia 25 tahun, ia ingin mencoba menyebarkan film ketiganya ke arena internasional.
A young female writer who was born in Yogyakarta, Indonesia. An alumna from the Faculty of Social and Political Science, Atma Jaya University, Yogyakarta. Has a great concern on the issues of identity and the lives of young people. Two films having been produced by Ninndi Raras, “Rahasia” (2011) and “sweet seventy” (in 2014), obtained good appreciations in Indonesia. Today, at the age of 25, she wants to try to distribute her third film in international arena.
POTONGAN
Ketika film bertemakan HAM ditolak oleh Lembaga Sensor Film (LSF), siapakah yang di rugikan? Apakah masih perlu menyensor atau memotong film? Apakah masih perlu menolak sebuah film dan membatasi pilihan dengan menutupi kenyataan?
Mengapa sistem Klasifikasi, yang mengklasifikasikan film berdasarkan umur penonton, dianggap tidak cukup oleh LSF?
When films championing human rights issues are rejected by the Censorship Board, who suffers from the consequences? Is censoring films still necessary? Is it still necessary to reject a film and limit options for the people by covering reality? Why does the Board think that the classification system — classifying films based on viewers’ age groups — is inadequate?
by @gubuakkopi & @kolektiffilm