Surau Latiah hari ini adalah salah satu situs cagar budaya yang ada di Kampai Tabu Karambia (KTK), Kota solok, Sumatera Barat. Keberadaan Surau Latiah diidentikan sebagai bukti keberadaan Syehk Siahlan, Salah seorang Syeh yang mengembangkan tarekat Naqsyabandiah di Ranah Solok. Selain sebagai tempat ibadah, menuntut ilmu, dan pelatihan rohani, Surau Latiah “dahulunya” juga digunakan sebagai tempat Ibadah Suluk. Suluk adalah usaha tertinggi bagi umat muslim, terutama di Minangkabau untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan memperdalam ilmu tasauf. Tempat seperti ini sangat terbatas, karena tidak banyak buya-buya yang bisa membimbing orang-orang yang ingin melakukan ibadah suluk. Para peserta suluk di Surau Latiah dulunya tidak hanya diisi oleh orang-orang dari Solok, tapi juga dari Pariaman, Padangpanjang, Payakumbuh, Sawahlunto, dll.
***
Saya merasakan ada beberapa pola menarik dari kebanyakan aksi pelestarian tradisi dan kebudayaan di Sumatera Barat. Seperti kesenian atau aktivitas masyarakat, ia seakan dibunuh atau terbunuh, lalu dibekukan. Membekukannya, membuatnya awet, menghadirkannya kembali untuk para pecinta sejarah dan pacandu barang antik.
“Melestarikan” sering saya pikir sebagai upaya untuk membuat sesuatu yang pernah hidup untuk terus hidup. Tapi, ternyata seperti yang biasa dilakukan instansi pariwisata, membiarkannya mati dan menghadirkannya kembali sebagai barang antik dianggap lebih bernilai. Bernilai jual, dan lebih bernilai dengan narasi tentang “penyelamatnnya dari kematian”, kemudian mengutuki hari ini yang terus berjalan.
Hari ini tempat ibadah Surau Latiah dibiarkan “antik” dengan label Cagar Budaya dan peninggalan purba kala, tidak seperti tempat ibadah lainnya yang semakin besar, semakin ramai, semakin inovatif, seiring dinamisnya zaman dan semakin jayanya umat di sekitar tempat ibadah itu. Surau Latiah bukanlah “tempat ibadah” yang terletak di pedalaman rimba, ia dikelilingi oleh rumah-rumah warga, sekitar 20 meter dari jalan lintas sumatera.
Di halaman Surau Latiah juga terdapat makam Syeh Sialahan yang meninggal pada 1917. Bagi saya, ia “mati untuk kedua kalinya” setelah surau ini dijadikan situs peninggalan purbakala.
Sayang sekali, kini ia hanya diceritakan dan dipuja.
Albert Rahman Putra
Video oleh Albert Rahman Putra & Rivo Fernando Siregar
Produksi: Komunitas Gubuak Kopi | Tahun 2012
di Publikasi kembali di blog Gubuak Kopi Juni 2014