Bagunan tua itu terletak di jantung kota, Simpang Surya, tepatnya arah memasuki terminal angkot Kota Solok. Dua tahun lalu kita masih bisa melihat sebuah layar yang dilukis grafis di pekarangan bangunan, lengkap dengan jam tayang, sebuah poster filem yang akan tampil minggu ini. Poster itu terabaikan ditengah sibuknya aktivitas pasar dan terminal. Di bibir pagarnya sampah – sampah berserakan dan para pedagang memarkirkan becak mereka diperkarangannnya. Kini (29 January 2014) bangunan ini telah diisolasi dengan seng setinggi kurang dua meter, di dalamnya tengah terjadi sebuah pembangunan komplek toko yang mungkin bisa dimanfaakan oleh beberapa pedagang. Sejak itu Solok resmi tidak punya bioskop.
Lalu apa pentingnya Bioskop? Bioskop barang kali hanyalah sebuah gedung besar yang mampu menampung banyak orang. Dengan balkon yang verikal terus naik kebelakang, layaknya sebuah gedung pertunjukan prosenium , mendikte pengunjungnya untuk terfokus pada satu arah. Semua yang hadir dalam ruang itu menghadap pada sebuah layar lebar. Semacam kanvas putih, tempat orang-orang menyaksikan lukisan cahaya, lukisan dengan gambar-gambar yang bergerak.
Di Solok, sejauh yang bisa saya lacak, sebelumnya pernah terdapat tiga bioskop: Wirayudha berada di depan gedung SMPN1 Kota Solok, bioskop muda itu pun usianya tidak sampai 10 tahun dan kemudian Bioskop Purnama di Lukah Pandan, itu yang lebih malang lagi menurut, keberadaaanya hampir tidak diketahui kini telah alih fungsi menjadi tempat penyimpanan bahan bangunan. Dan yang ketiga, bioskop yang sempat jaya dalam waktu cukup panjang; sempat menjadi kebanggan kota: Bioskop Karia.
Dua tahun lalu sebelum bioskop ini resmi dijual, saya juga sempat mengunjungi bioskop ini bersama teman-teman Komunitas Gubuak Kopi. Waktu itu keadaan bangunan ini terasa begitu terasingkan. Begitu sepi di tengah keramaian dan kesibukan jantung kota. Sesekali masih terlihat poster filem usang yang masih ditayangkan. Kalau malam lebih mengerikan, hanya lampu loket saja yang hidup.
Saya memasuki ruang gelap dengan ratusan bangku itu. Bangku-bangku itu telah dilapisi abu yang sangat tebal. Bangku itu telah jarang disentuh oleh pantat-pantat yang ingin duduk berjam-jam menyaksikan sebuah filem yang dipantulkan proyektor. (lihat: Bioskop Tua, Albert Rahman Putra 2012)
Waktu itu saya bertemu dengan pengawas bioskop Karia ini. Seorang keturunan Cina yang berusia 70 tahun lebih dan akrab dipanggil koh Kucik. Waktu itu Koh Kucik sudah lewat empat puluh tahun menjabat sebagai pengawas bioskop milik bapak Wirako ini. Sebenarnya Koh Kucik sudah mulai menyerah, pasalnya sudah tidak ada lagi yang berminat mengunjungi bioskop. Lima tahun terakhir, pengunjung bioskop berkisar kurang dari sepuluh orang setiap kali pemutaran. Waktu itu jadwal pemutaran hanya ada pada hari Selasa dan Jumat saja, sesekali pada malam minggu. Yang hadir lima atau tujuh orang yang itu ke itu saja. Jarang sekali ada wajah baru sejak Lima tahun terakhir. Dan ini tidak berarti lima sampai tujuh orang itu rutin datang pada setiap pemutaran yang tiketnya senilai Rp.7.000 itu. Kalau hujan, mereka biasanya tidak datang. Ada sih dua atau tiga orang, tapi filem hanya bisa diputar minimal 5 orang penonton.
Sebenarnya cukup mengagetkan juga Bioskop Karia Solok mampu bertahan sejauh ini. Bioskop Karia yang tersebar di Sumatera barat seperti Batu Sangkar dan Sungai Penuh sudah dijual jauh-jauh hari. Ada yang dirubuhkan, diganti dengan bangunan baru. Di Cicadas sebuah bioskop menjelma ruang pajang motor produksi Cina seperti halnya Bioskop di Jalan Mangkubumi, jantung kota Yogyakarta. Ada juga yang menjadikannya arena lapangan futsal seperti nasib Bioskop Karia Padangpanjang, Bioskop Dian (Bandung) serta Bioskop Kencana (Kastura). Sisanya diratakan dengan tanah, yang kemudian terbengkalai menjadi tempat parkir.
Bioskop Karia Solok yang telah dijual pada tahun 2012 itu resmi dirubuhkan pada akhir tahun 2013 ini. Berbagai pihak tidak memliki alasan lagi untuk mempertahan gedung itu. Apalah arti bioskop. Bioskop bukan hanya sebuah gedung atau tempat (place) tetapi ia juga sebagai ruang (space) tempat para pencinta filem mengapresiasi karya para sineas dunia ataupun local. Lebih dari itu, bioskop pada awal kehadirannya seiring dengan kehadiran filem adalah salah satu ruang yang secara sadar atau tidak, telah membasuh pikiran banyak orang. Terutama sebelum meluasnya televisi. Melalui filem yang diputar di bioskop masyarakat bisa lebih mengetahui apa yang tengah terjadi di luar sana. Seperti filem-filem dari Eropa, India, dan lain sebagainya, dari sana orang-orang bisa mengadopsi atau sekedar mengetahui apa yang lagi trend di negeri mereka. Atau contoh terdekat, seperti di Sumatera Utara, pada masa gejolak komunis (1960-an) pemerintah melalui tangan Pemuda Pancasila mengondisikan bioskop agar tidak memutar filem-filem dari Amerika. Kemudian munculah beberapa filem yang produksinya didukung pemerintah. Tujuannya ‘menjaga stabilitas nasioal’ masa orde baru, serta tentunya membangun citra baik pemerintah. Sejak itu masyarakat hanya menerima kebenaran tunggal, generasi setalah 60-an hanya tahu komunis itu jahat, tidak ada tempat bagi mereka di dunia ini (The Act of Killing; 2012).
Tapi sekarang tentu bioskop tidak sedasyat yang dulu lagi. Kini telah hadir media telivisi, pengaruhnya pun jauh lebih raksasa dari pada bioskop. Kalau dulu menguasai bioskop seakan telah menguasai sebagian kecil dunia, dan sekarang kalimat anonim “untuk menguasai dunia adalah dengan menguasai media” itu lebih efektif hadir melalui televisi. Beberapa waktu lalu Komisi Penyiaran Indonesia menegur beberapa perusahan televisi yang mengabdi ke partai politik. Terlepas dari salah atau benar perlakuakan parpol itu, faktanya apa yang kita tonton akan mempengaruhi pikiran kita. Demikianlah gambaran pentingnya bioskop pada masa lalu. Gedung dan ruang itu tidak hanya menawarkan hiburan semata tetapi telah ikut membentuk sebagian besar karakter penontonnya dengan apa yang tengah disajikannya. Bioskop sebagai produk budaya perkotaan adalah bagaian penting dari sejarah masyarakat urban maupun sejarah perfileman Indonesia.
***
Bioskop Karia Solok dan Bioskop Lainnya
Masih penting atau tidaknya Bioskop Karia, yang jelas ia telah diruntuhkan. Seorang tukang ojek yang biasa mangkal di Simpang Surya, disebelah bioskop Karia, beberapa waktu lalu (28/01/14) berpendapat ada baiknya gedung itu diruntuhkan. Toh, kalau malam gedung tua itu sangat menakutkan. Mending dibangun toko, biar lebih terang, bersih, dan ramai.
Cerita tentang Bioskop Karia hanyalah bagian dari fenomena yang juga melanda bioskop lainnya di tanah air. Banyak perusahaan bioskop yang mengaku telah mengalami kerugian tiap bulannya selama sepuluh tahun terakhir, itu pun banyak yang sudah mendapat bantuan atau subsidi.
Walaupun banyak pihak yang cuek dan merasa keputusan melenyapkan bioskop adalah pilihan yang tepat, namun tetap saja beberapa orang ikut bersedih dengan kehancuran bioskop itu. Seperti tukang ojek yang sudah lama tinggal di Solok tadi. Dia tetap saja mengaku sedih, apa lagi dia tahu Bioskop Karia ini pernah menjadi kebanggan masyarakat Kota Solok era 1970 – 1990-an. Bioskop yang pernah memberikan pendapatan besar untuk daerah.
Hari itu (28/01/14) saya berniat mengunjungi Koh Kucik lagi (pengawas bioskop). Rumahnya tidak jauh, bersentuhan dengan dinding luar bioskop sebelah kiri. Saya harus jalan memutar karena di sana juga telah berdiri toko dan rumah makan. Tapi, Ternyata rumah Koh Kucik sudah tidak ada lagi, rumahnya yang setali dengan bangunan bioskop itu ikut dirubuhkan. Menurut salah seorang pemuda yang kebetulan tinggal dekat situ, Koh Kucik sudah pindah, kalau pun ditanya tentang bioskop dia sepertinya tidak ingat lagi. “Maklum usianya sudah 70-an,” kata pemuda tersebut.
Tapi beruntung, pemuda itu memperkenalkan saya pada seorang yang juga diangap penting dalam sejarah Bioskop Indonesia ini. Dia adalah seorang yang selalu berdiri dibalik cahaya gemerlap, dibelakangi ratusan punggung, menggunakan tenaga dan kelincahannya guna mengoperasikan proyektor, dia adalah sang Proyeksionis. Tapi sayang malam itu beliau juga tidak di rumah.
Saya datang lagi pada malam berikutnya, 29/01/14, dan kebetulan dia kembali tidak ada dirumah. Salah seorang pemilik warung bandrex yang tak jauh dari bioskop mengatakan baru saja dia melihat Pak Haji menuju kedai kopi di Simpang Surya, di sebelah kedai nasi Cucu Mak Marah, di seberang bioskop.
Pak haji, demikian panggilan akrab Proyeksionis ternama di Kota Solok ini.
“Tanya aja di sana, Pak haji atau pak Lis. Orang-orang pasti tau,” Pedagang Bontrex mengingatkan. Menurut dia hampir semua orang di sekitar bioskop ini kenal dengan Pak Haji. Dia sudah puluhan tahun nongkrong di kedai kopi tersebut. Dia biasa kesana untuk menambah stamina pada jam istirahat semasa kerja di Bioskop.
Melihat keyakinan pedagang bandrex ini saya tidak banyak Tanya lagi ciri-ciri Pak Haji. Dan langsung menuju kedai tersebut. Kedai yang hampir seluruhnya dicat biru itu berisikan banyak lelaki dewasa berbadan kekar. Mereka semuanya akrab tertawa sambil main domino. Sekilas, suasana kedai ini memang terlihat menakutkan, seakan mereka tidak menerima orang asing datang ke kedai ini. Di antara pria berbadan kekar tersebut saya melihat seorang rambut beruban ber-kaca-mata, tengah bercakap dengan dua orang lainnya. Saya yakin salah satu di antara mereka adalah pak Haji yang saya cari. Dengan telapak kaki yang dingin saya melangkah ke warung tersebut. Di pintu warung salah seorang pria berbadan kekar berdiri menghadang.
Pria tinggi berbadan kekar ini, menaikan alisnya. Bajunya terangkat hingga atas perut. Satu tangannya ditaruhnya di pinggang. Saya yakin dia tahu saya mau masuk, tapi dia tidak beranjak dari pintu yang selebar badannya itu.
“apo kaba,?” demikian tanyanya dengan nada yang tidak bersahabat. Saya tahu dengan ekspresi yang demikian dia bukan tengah menayakan kabar atau keadaan saya. Pertanyaan seperti itu kira-kira bermakna“mau apa kamu datang kesini? Saya belum pernah melihat kamu! Kamu terlihat mencurigakan! Berani sekali kamu datang kesini.!”
Ah, begitu susahnya saya bertemu dengan pak haji yang satu ini. Tanpa memperlihatkan ketakutan saya, sambil senyum saya menjelaskan tujuan kedatangan saya.
“Ambo nio basuo jo Pak Haji Lis. Kato bapak penjual bandreks Pak Haji di siko”
“ha? Pak aji?,” ekspresi pria berbadan kekar ini tiba-tiba berubah dan mempersilahkan saya masuk sekaligus menghantarkan saya Kehadapan sang-proyeksionis. Ternyata benar, pria beruban dengan kaca mata tebal tersebut adalah pak Haji Lis yang saya cari.
Salah satu dari lima orang pemuda yang ada disekitar saya langsung menanyakan keperluan saya.
“Ada perlu apa dengan pak Haji?”
“Saya mau nanyain tentang bioskop,” jawab saya pada pemuda tersebut di depan saya pak haji tengah ternganga melihat kedatangan saya.
“lai ko lah ndak sibuk apak kini?” (sibukah bapak malam ini?) tanya saya pada pak Haji Lis.
“Bioskop kan udah hancur untuk apa ditanya lagi?,” tanya pemuda lainnya.
“Saya mau dengar pengalaman Pak Haji tentang Bioskop itu, termasuk sampai bioskop ini dirubuhkan. Itupun kalau pak haji punya waktu,”
“Oh, duduak siko a,” kata seorang pemuda dengan antusias mempersilahkan saya duduk di sebelah pak haji.
Para pemuda ini ternyata cukup menyegani Pak Haji Lis. Tiba-tiba kengerian tadi menghilang, mereka semua terlihat ramah setelah saya bersalaman dengan Pak Haji Lis. Apa lagi setelah tahu maksud kedatangan saya. Sepengetahuan mereka jarang sekali ada orang asing datang menanyakan soal bioskop.
“tak ada yang peduli soal bioskop,” kata salah satunya. Mereka semua ternyata tidak beranjak, para pemuda ini sepertinya juga ingin terlibat dengan nostalgia Bioskop yang ‘dulu’ sangat terkenal ini.
Uda Zal, Salah seorang pemuda berkata pada saya, “kamu beruntung bisa bertemu Pak Haji Lis sekarang, dia adalah projeksionis terkenal sepanjang sejarah bioskop di Solok ini, tidak banyak orang yang pandai menggunakan proyektor di Sumbar (Sumatera Barat) ini, dan beliau adalah salah satunya yang terbaik.”
Lelaki yang sudah berusia 66 tahun ini telah bekerja sebagai proyeksionis di Bioskop Karia Solok sejak tahun 70-an. Dengan bangga ia memperkenalkan nama lahirnya, Nasionalis. Nama yang bagus dan sepertinya hanya beliau satu-satunya pemilik nama ini di dunia, demikian pendapat Uda Zal. Bapak Nasionalis atau bapak Haji Lis, terus menekuni pekerjaannya sampai Bioskop ini di jual pada tahun 2012. Selama tiga puluh tahun lebih itu ia mengaku tidak pernah menyesali pekerjaannya, berdiri dibelakang cahaya proyektor dibelakangi ratusan punggung yang terngah asik menyaksikan gambar-gambar bergerak dilayar putih yang lebar itu. Menurutnya, dia tidak dibayar mahal untuk pkerjaan ini. Namun oleh perusahaan dia dibekali sebuah tempat yang bisa ia tinggali. Setelah lebih sepuluh tahun bekerja, sempat datang beberapa tawaran pekerjaan lain baik dari dari perusahaan maupun instansi pemerintah, semua ditolaknya.
“karena terlalu asik jadi proyeksionis, jadi tidak tertarik mempelajari pekerjaan lain,” Pak Haji Lis senang dengan pekerjaan sebagai seorang-proyeksionis. Tidak banyak orang yang mampu melakukan itu. Walau cukup menguras stamina, tapi ia senang menjadi bagian penting yang tengah menghibur masyarakat kota yang datang untuk menonton di situ. Menjadi saksi utama sejarah bioskop di Solok.
Ia mengaku, gajinya sehari tidak cukup untuk membeli rokok, untuk biaya hidup ia juga menjalankan bisinis lain. Dia juga memiliki sebuah benkel kecil di halaman rumahnya. Di situ ia memperbaiki sepeda motor atau mesin jenset, ketika waktu luang dari pekerjaanya sebagai proyeksionis. Tawaran pekerjaan lain ataupun keuntungan dan kesibukan dari bengkel tidak cukup memberinya alasan untuk meninggalkan Bioskop. Dia juga mengaku tidak terlalu cinta dengan bioskop. Tapi kenangan kejayaan Bioskop itu di masa lalulah yang menahannya. Sampai akhirnya, pengelola dan pemilik memutuskan bahwa ia dan beberapa pegawai lainnya harus berpisah dengan bioskop.
Pak Haji Lis tentunya adalah salah seorang saksi kejayaan Bioskop tua itu di era 70 sampai 90-an. Masa-masa ketika masyarakat sangat menunggu – nunggu tayangan filem-filem terbaru. Masa ketika tiket selalu habis, kadang beberapa kali orang membayar lebih untuk nonton walau sambil berdiri. Masa-masa ia merasa pekerjaannya sangat bergengsi.
“masa-masa meledak” demikian ungkap pak Haji. Sangat berbeda dengan keadaan sepuluh tahun belakangan yang hanya diisi kurang lebih sepuluh orang. Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Solok saja tapi juga terjadi dibanyak Bioskop lainya di Indonesia. Tahun 90-an adalah tahun mulai banyaknya VCD player dan kepingannya beredar di Indonesia, sejak masa itulah orang lebih memilih untuk membeli kepingan yang tidak begitu mahal, bisa diputar berulang – ulang di rumah, dan dipinjamkan ke tetangga. Apa lagi sejak maraknya penjual kepingan VCD bajakan, yang harganya tak lebih dua kali lipat harga tiket bioskop, dan sejak itu pengunjung bioskop menurun drastis.
Tahun 90-an, tahun – tahun gejolak politik tanah air, yang barang kali juga berdampak pada gelapnya industri perfileman tanah air. Pada masa ini pengunjung bioskop hampir di seluruh Indonesia mengalami penurun pesat, selain permasalahan VCD tadi, ditambah lagi hadirnya rubrik seperti Layar Emas di RCTI. Tahun 1998 setelah, setelah runtuhnya rezim Suharto, kita tau masa itu adalah masa kebangkitan perusahaan – persahaan media tanah air. Semakin banyak stasiun televisi swasta yang muncul. Mereka dengan bebasnya menentukan program mereka. Termasuk hadirnya program tontonan hiburan seperti layar emas, Bioskop Trans Tv, dan lain sebagainya. Namun asumsi Pak Haji Nasionalis, televisi sepertinya tidak menjadi masalah besar atas anjloknya bisnis bioskop, beliau bersikeras kesalahan adalah akibat media VCD dan DVD yang beredar dengan leluasanya. Ya, tahun 1990-an adalah masa-masa revolusi politik sekaligus revolusi budaya besar-besaran. Entah apa yang terjadi pada masa itu sehingga orang-orang dengan mudahnya mendapatkan VCD dan DVD. Mungkin gejolak politik membuat beberapa orang lupa untuk memperhatikan kasus pembajakan filem yang semakin marak. Mungkin pengatur monopoli tidak membayangkan akan hancurnya bisnis bioskop dengan mudahnya peredaran VCD/DVD atau mungkin juga terjadi kongkalikong antara pembisinis VCD/DVD dengan beberapa oknum, kita tidak pernah tahu. Siapa pula yang mau repot-repot memikirkan nasib bioskop pada masa itu. Tapi Bioskop adalah bisnis yang resmi, seharusnya mereka berhak untuk mendapat perlindungan dan kepedulian untuk kelancaran bisinis mereka.
Monopoli
“ambo raso, pilihan filem yang kurang ancak,”(saya kira, pilihan fielmnya yang kurang bagus) Kata Uda Tok, Pemuda berbadan kekar ini ikut bicara, “di padang misalnya, anak-anak mudo masih acok ka Bioskop seperti bioskop raya, memburu filem-filem terbaru.”( di Padang misalnya, orang-orang masih sering ke bioskop, seperti Bioskop Raya, memburu filem-filem terbaru)
Tanggapan menarik dari pemuda ini mengingatkan saya pada beberapa penelitian media yang berasumsi bahwa hancurnya bioskop di daerah-daerah, juga dibarengi dengan buruknya monopoli filem tanah air, ditambah pula munculnya jaringan raksasa bioskop, yang dikenal dengan sebutan Cinema 21. Jejearing ini sebanarnya telah memulai kiprahnya sejak tahun 1987. Jejaring yang berkonsentrasi di kota-kota besar ini terus mengalami peningkatan yang pesat, terutama sejak tahun 1990-an. Hingga saat ini jaringan Cinema 21 memiliki total 685 layar tersebar di 137 lokasi di seluruh Indonesia (lihat: www.21cineplex.com).
Jaringan yang terkonsentrasi di pusat – pusat kota ini membuat perubahan karateristik penonton. Konsistensi mereka yang menyajikan filem – filem remaja telah menciptakan iklim baru dalam budaya bioskop Indonesia. Tidak hanya pilihan filem, Publikasi, iklan, dan fasilitas yang diberikan semuanya diorientasikan untuk penonton remaja. Dan hasilnya, Sebagian besar penonton film sekarang adalah remaja. Hal ini juga diikuti dan dijadikan tantangan oleh banyak filem maker. Terutama pembuat filem komersil atau filem pop yang selalu dipengaruhi selera pasar. Dalam usaha kategorisasi yang cukup lama, penonton “kelas ini” terkonstruksi sebagai penonton “kelas atas”. Bioskop yang berada di daerah – yang tidak memliki jaringan Cinema 21 – yang masih sering memutar filem-filem lama – serta yang secara umum diorientasikan untuk penonton dewasa – sengaja atau tidak terkonstruksi sebagai tontonan “kelas dua”. Beberapa pengamat perfileman melihat pola yang unik dari distribusi filem di tanah air ini.
Pada 14 Juli 2010 di Semarang, Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) sempat membahas permasalahan distribusi tersebut. Menurut situs filmindonesia.org Rapat itu pada intinya mengusulkan agar setelah diputar di Bioskop jaringan Cinema 21, film bisa segera dimainkan di bioskop kelas dua semacam Bioskop Karia ini. Sayangnya, hal itu belum terlaksana sampai saat itu. Djonny Syafruddin, selaku ketua GPBSI mengakui bahwa keadaan sebenarnya tidak pula sesederhana yang dibayangkan para pengusaha bioskop kelas dua. Sekarang produser film di Indonesia itu idealnya buat copy filem sejumlah 60 buah, tapi tidak menutup kemungkinan kurang dari itu. Dari 60 copy filem itu tentunya produser akan mengupayakan penyebaran filem secara efektif. Sedangkan, jaringan Cinema 21, tidak dipungkiri memliki akuntabilitas yang bagus dan sistem jejaring yang bisa dipercaya oleh banyak produser. Menurut Djony Syafrudin, kebanyakan bioskop kelas dua kadang malah tidak mengembalikan copy film, mereka baru bisa membayar produser sampai empat bulan setelah film diputar, produser tentunya merasa dirugikan dan punya banyak alasan untuk memilih jaringan Cinema 21. [1]
Menurut Pak Haji Lis, sekitar tahunn 1970-1980 an (sebelum lahirnya Cinema 21), bioskop mampu memberikan keuntungan luar biasa untuk daerah mereka.
“Kasarnya, Balaikota itu dulu kami yang gaji,” Kata pak haji. Selain memberikan pemasukan yang banyak untuk pemerinthan daerah, bioskop juga lebih dari sekedar alternativ hiburan, jadinya kalau malam Kota Solok selalu ramai dan dapat mengurangi kuantitas kejahatan. Lalu, Uda Andy, salah sorang pemuda yang ikut bernostalgia dengan kami malam itu menambahkan, Biokop Karia adalah salah satu bioskop kebanggan di Kota Solok. Jangankan bioskop-bioskop yang ada di Solok, bioskop di kota lain seperti di Bukittinggi, Padangpanjang, Sawahlunto popularitasnya jauh di bawah Bioskop ini. Menurut pak haji yang bisa dijadikan lawan banding Cuma Bioskop di Padang, itupun karena Padang kota besar.
Pak Haji Lis melanjutkan nostalgianya, “dua bioskop di Kota Solok lainnya; Wirayudha dan Bioskop Purnama, mereka sebenarnya jauh tertinggal dari Bioskop Karia, umur mereka pun tidak sampai 10 tahun, pasalnya memang, bioskop karya selalu berupaya menghadirkan yang terbaik, seperti renovasi fasilitas gedung, dan keamanan.”
Filem-filem yang biasa diputarkan di Bioskop Karia juga sangat variatif, mulai dari Laga Madarin, Eropa, Amerika, India, dan tidak ketinggalan filem Indonesia.
“kalau lah tagak poster Roma Irama, Amitabacan, Sanjaydut, tu ndak ado lai tu do. Babondong-bondong urang tibo tu,” demikian kata Uda Zal mengenang filem-filem favoritnya.
“kadang sahari tu, nan biasnyo dua kali puta – siang jo malam – namuah limo kali baputa gai,” (kadang satu hari itu, yang biasanya diputar dua kali – siang kemudian malam – bisa-bisa diputar lima kali) tambah Pak Haji.
Dua cangkir kopi gingseng datang untuk saya dan pak haji, tanpa sadar para pemuda yang tadi terlihat sangar terlarut dalam nostalgia Bioskop Kebanggaan Kota Solok ini. Pembisinis bioskop seperti halnya Bioskop Karia, hanyalah pemain kecil yang terlalu lambat untuk mengetahui permasalahan citra, dan monopoli filem tanah air. Menanggapi tanggapan Andy tentang filem-filem yang tidak bagus tadi, Pak Haji nasionalis mengaku begitu berharap bioskop mereka selalu ramai. Pilihan filem-filem baru selalu diupayakan untuk hadir namun mereka tidak kuasa untuk ambil suara dalam monopoli raksasa filem Indonesia itu.
Menurut pak Haji, Pada tahun 2000-an beberapa kali filem remaja mulai mereka putarkan, seperti Eiffel I’m in Love (Nasri Ceppy; Ram Soraya 2003), Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo;2002), Detik Terkahir(2005), Happy End (Korea;2004), Ayat-ayat Cinta (2008), The Saman (2008), Kereta Setan Manggarai (Nanang Setiabudi;2008), dan beberapa filem horor remaja lainnya, namun ternyata tetap saja sepi pendatang. Pernyataan ini semakin menguatkan asumsi saya, bahwa mereka, bioskop-bioskop, seperti Bioskop Karia saat ini hanyalah korban dari tidak bagusnya monopoli filem yang berakhir pada penciteraan yang tidak bagus. Tapi dunia perfileman terus berlanjut, dan sekarang siapa sangka, VCD/DVD, pun kini telah menemui masa-masa gelapnya. Seiring dengan postmodern menawaarkan kebebebasan tanpa batas melalui internet. Berjejaring dengan produksi-produksi lainnya di seluruh dunia.
Kini orang-orang dengan leluasa memilih filem yang mereka tonton. Beberapa orang ada pula yang akhirnya bersyukur di zaman ini tidak harus mengikuti pilihan filem-filem yang cuma berorientasi hiburan dan pasar. Di Internet ada banyak situs yang menyediakan filem-filem yang mereka cari.
Sejak tahun 1998 berkembang pesat bioskop – bioskop alternative baik itu berkedok warung kopi, ataupun komunitas yang dikelola independen dan kolektif. Kelahiran mereka barang kali respon atas rasa kehilangan bioskop. Ada juga yang hadir sebagai aksi menggugat konstruksi sejarah, menggeser Hollywood sebagai satu-satunya konsumsi tontonan. Lebih dari itu saat ini telah muncul beberapa ruang menonton alternative berbasis komunitas yang patut diapresiasi seperti: kineforum, bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program filem sekaligus diskusi tentang filem. Filem-filem yang diputar adalah filem-filem yang bisa menjadi alternatif tontonan bagi publik. Mulai dari filem klasik maupun kontemporer, film panjang maupun pendek, film luar maupun dalam negeri, dan juga film-film dari non arus utama (kineforum.com).
Ruang – ruang seperti ini juga sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non-komersial di Indonesia dan juga sebagai kebutuhan atas pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual. (kineforum.com). Ruang-ruang seperti yang dilakukan oleh Kineforum, serta Kinoki (Jogja), Senin Sinema Dunia, (Forum Lenteng, Jakarta), dan Kineruku (Bandung) sudah sepatutnya kita apresiasi. Selain nonton dan diskusi filem, kelompok –kelompok perintis ini juga aktif melakukan penelitian terkait filem.
Solok, Januari 2014
___________
[1] Sumber: Filmindonesia.org The Act of Killing (Jagal), Bujangkatapel (http://bujangkatapel.wordpress.com/2014/04/03/the-act-of-killing-jagal/) 2 Bioskop Tua, Gubuak Kopi (2012)
Reblogged this on BUJANGKATAPEL and commented:
“…Jaringan yang terkonsentrasi di pusat – pusat kota ini membuat perubahan karateristik penonton. Konsistensi mereka yang menyajikan filem – filem remaja telah menciptakan iklim baru dalam budaya bioskop Indonesia. Tidak hanya pilihan filem, Publikasi, iklan, dan fasilitas yang diberikan semuanya diorientasikan untuk penonton remaja. Dan hasilnya, Sebagian besar penonton film sekarang adalah remaja. Hal ini juga diikuti dan dijadikan tantangan oleh banyak filem maker. Terutama pembuat filem komersil atau filem pop yang selalu dipengaruhi selera pasar. Dalam usaha kategorisasi yang cukup lama, penonton “kelas ini” terkonstruksi sebagai penonton “kelas atas”. Bioskop yang berada di daerah – yang tidak memliki jaringan Cinema 21 – yang masih sering memutar filem-filem lama – serta yang secara umum diorientasikan untuk penonton dewasa – sengaja atau tidak terkonstruksi sebagai tontonan “kelas dua”. Beberapa pengamat perfileman melihat pola yang unik dari distribusi filem di tanah air ini…” | Bioskop, Monopoli, dan Konstruksi Sejarah
Makin gesit aja nih Gubuk kopi merekam dan membaca sejarah.
kalau menurut saya ini tidak cuma bicara tentang sejarah bioskop tetapi juga sejarah kelamnya politik bisnis kita ditangan orang-orang yang ingin menjadi raksasa.
sejarah yang dipaparkan mencerminkan cikal bakal neo-kapitalisme di negri kita.
kapitalisme bentuk baru.
kehadiran telivisi sebenarnya tidak hanya merugikan bioskop tetpi juga membasuh pikiran kita untuk menerima kebenaran si-investor televisi.
coba nonton juga dokumenter dibalik frekuensi.
Kehadiran kelompok2 seperti kine memang sangan diperlukan untuk membuat fikiran kita semua beragam, dari pada mainstream yang selalu menyeragamkan seperti televise.
bagi saya kehadiran internet cukup positif, semua orang sebaiknya memang memilih tontonan mereka sendiri (tapi ya kebanyakan, asal pilih, atau sebenarnya tidak memlih alias masih mengikuti rekomendasi majalah pop)
Ayo… kami tunggu juga ulasan dari penjahat kampus untuk kita diskusikan juga blog ini. hehe
*telat mengomentari
Dulu setiap saya mau masuk terminal , rasa sedih sering kali datang karna bangunan ini .
namun apa daya , saya tidak bisa berbuat apa apa
dan dulu saya ingin sekali merasakan menonton FIlm di Bioskop Karya ini , namun sayang di Poster saya tidak tau itu Film apa , beli karcis nya dimana . karna bagian depan sudah di huni oleh pedagang kaki lima . Seperti Warkop dan Majalah/koran .
saat pembangunan .. saya berfikir ini akan menjadi Tempat parkiran Mobil dan Motor yang bertingkat karna berada di jantung kota namun sayang hanya pertokoan biasa
parkiran Mobil , hanya mengambil bahu jalan , dan membuat jalan jadi kecil dan Macet ..
Tahun brpa tu bioskopnya mlai broperasi??