Tahun 2013 lalu saya terlibat dalam sebuah proyek Revitalisasi Budaya di Dusun Sirih Sekapur, Kecamatan Jujuhan, Muaro Bungo, Jambi. Sirih Sekapur adalah desa yang menjadi pintu masuk provinsi Jambi dari Sumatera Barat. Hampir sebagaian besar lahannya digunakan untuk kebun karet beberapa bagian untuk sawit, sangat berbeda sebagian besar wilayah di Sumatera Barat, saya hampir tidak menemukan sawah dan hutan di sini. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani karet, sawit, dan pendulang emas. Sebagian lagi bekerja sebagai buruh kasar di pabrik karet, dan tambang batu bara.
Minggu ke dua di negeri panas ini, saya dan kawan-kawan memenuhi undangan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh seorang pengusaha tambang batu bara setempat. Waktu itu kami di undang untuk hadir dalam perayaan yang disebutnya perayaan tujuh belas-an (hari kemerdekaan; 17 Agustus).
Perayaan itu diadakan di kantor utama perusahaan tambang Batu Bara itu. Letaknya cukup jauh dari posko (Markas Program Revelitalisasi Budaya), sulit untuk menghadirinya, tapi beruntung malam itu kami dijemput dengan bus perusahaan. Kantor tambang itu masih satu kecamatan dengan posko saya, hanya saja berbeda desa. Menuju ke sana kami melewati kebun karet dan sawit kurang lebih setengah jam dengan kecepatan kira-kira 60km/jam. Tidak banyak rumah penduduk saya temukan dalam perjalan menuju tempat itu. Tapi setiba di lokasi ternyata telah hadir banyak orang di sana. Di antaranya ada bupati dari Kabupaten Darmasraya, beberapa Datuk, Datuk Rio (kepala desa), para pegawai tambang, buruh perusahaan beserta anak-anak mereka, dan sisanya konon adalah pemuda dari berbagai desa yang sering hadir di tempat-tempat diadakannya pesta.
Pesta ini dikawal oleh beberapa petugas tanpa seragam dengan senjata laras panjang. Berbadan kekar. Musik yang keras mehilangkan suasana ngeri di kantor besar yang dikelilingi hutan dan kebun karet ini. Malam kehadiran saya dan kawan-kawan, ternyata adalah hari puncak dari perayaan itu. Malam itu sudah dipersiapkan beberapa susunan acara seperti pemberian hadiah, pesta kembang api, musik orgen (organ tunggal), dan panjat pinang.
Ya, panjat pinang adalah salah satu hal menarik bagi saya. Suatu momen ketika pemuda saling memijak bahu memanjati pohon pinang yang telah dilumuri pelicin. Di atasnya bergantungan berbagai bingkisan untuk dibawa pulang. Untuk mendapatkan bingkisan itu pemuda saling menginjak bahu rekannya, kadang tergelincir karena pelumas, formasi roboh, dan membangunnya lagi. Sekilas saya takjub atas usaha mereka yang pantang menyerah untuk hadiah yang berjuntai di atas sana. Mereka menyebut ini sebagai aksi solidaritas.
Sejak kecil saya suka nonton para pemuda memanjat pinang pada pesta kemerdekaan 17 Agustus, jatuh dan bangkit lagi, kemudian disekeliling mereka warga tertawa dan menyemangati aksi mereka. Menyorak-nyorakan bingkisan favorit masing-masing. Tapi beberapa tahun terakhir jarang hal serupa jarang dilaksanakan. Barangkali momen 17 Agustus sering berbarengan dengan bulan Ramadhan. Tapi pada tahun 2013 kemarin peringatan hari kemerdekaan tidak berbarengan dengan bulan ramadhan namun panjat pinang juga tidak ada, pacu karung, lomba makan kerupuk, memasukan pena kedalam botol, dan yang lainnya.
Pada sautu momen yang tidak saya ingat lagi waktunya, saya bertemu dengan Om Fuad, dia adalah seorang pimpinan redaksi di salah satu majalah tempat saya biasa menulis. Pada momen itu, kebetulan kami sedang bernostalgia tentang kebiasan-kebiasan masyakarat. Dalam diskusi itu Om Fuad berasumsi kalau sebenarnya panjat pinang sebenarnya bukanlah permainan yang bagus untuk dilestarikan. Malam itu kami sepakat kita tidak seharusnya terbiasa untuk menginjak satu sama lain untuk mendapatkan sebuah hadiah. Dia menggambarkan pada saya bahwa pada masa kolonial di Hindia (sekarang Indonesia), panjat pinang adalah sebuah tontonan hiburan kompeni[1] dalam wajah menyenangkan hati rakyat. Mereka sengaja menggantung hadiah-hadiah kecil (atau besar bagi pribumi) itu di ketinggian, kemudian lumuri pelumas agar tak seorang pun mampu dengan mudah ke atas. Lalu satu-satunya cara yang (kemudian dipakemkan secara sengaja atau tidak) adalah dengan saling merelakan bahu untuk satu atau dua orang bisa mencapai puncak. Sementara para kompeni tertawa dan menyemangati dari tempat duduk mereka.
Bagi para pemuda cara tersebut dimaknainya sebagai manifestasi solidaritas, gotong royong dalam mencapai sebuah hadiah. Beberapa pemuda lain menyebut ini lebih dari sebuah cara untuk mendapatakan hadiah tapi keceriaan dalam kerjasama. Ada juga yang menyebut ini sebagai aksi biar tampak gagah dihadapan para wanita. Mentalitas seperti ini ditentang oleh Om Fuad. Kerjasama tidak harus dicapai dengan saling menginjak. Hal – hal seperti ini tidak cocok lagi di zaman yang telah merdeka ini. Kebebasan layak dilakukan secara manusiawi. Biarlah jadi masa lalu saja yang dikenang saja, tidak semua harus dilestarikan.
Pada zaman dulu menurut Om Fuad untuk mendapatkan hadiah memang masyarakat diminta (atau diharuskan) menghibur mereka dulu, menghibur dengan cara-cara seperti itu. Tapi ini tentu hanya sebuah pendapat, saya tidak pernah menyaksikan langsung apa yang terjadi pada masa itu untuk memastikannya. Diskusi saya dan Om fuad bisa saja salah, bisa saja kita bisa melihat kebenaran lain dari fenomena panjat pinang ini.
Malam itu setiap puncak pohon pinang telah digunduli pemuda, hadiah telah dibagikan, acara panjat pinang ditutup dengan pesta kembang api – yang kebetulan waktu disebutkan bahwa dana terpakai untuk pembelian kembang api ini kurang lebih lima juta. Dan acara malam itu ditutup dengan nonton orgen.
Albert Rahman Putra, 2014
[1]Di kalangan orang Indonesia VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih mengenal Kompeni sebagai tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat Nusantara yang sama seperti tentara Belanda (Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
*Koleksi Foto Albert Rahman Putra pada tahun 2013, ditulis/dinarasikan dan dipublis blog Gubuak Kopi pada 16 Maret 2014
digoyang be pak
Batua da, indak panjek pinang sajo, pacu karuang, makan karupuak, tu yang maambiak pitih dalam asam tu a namyo?? samo se sadonyo, ko ka ditinggaan nan mode itu baalah, kadang rasonyo ancak lo itu dari pado main PB jo poker lai caa caro e lai tu??