Sajak Tentang Hujan
Aku memaknai hujan bagai sihir. Wangi hujan memukauku. Rintik hujan menghanyutkanku. Dan nyanyian hujan melumpuhkanku.
Hey angin.. Jika kau bertemu hujan malam ini, sampaikan padanya aku rindu.
-Gabriella Melisa– Denpasar, 28 November 2013
Aku bernyanyi, aku bersenandung ketika awan mendung menghantui bagai sihir yang meniup hujan untuk turun. Aku merenung menatap hampa pada gunung yang menjulang. Menitipkan sebuah harapan pada langit. Masih bisakah aku meminta langit untuk tetap biru. Sedangkan ombak mulai memanas menghempas karang yang hampir kandas. Bibirku pucat tanpa pias, berbasa-basi untuk hanya sekedar berucap. Aku terlelap, dan terhanyut pasir yang menenggelamkanku. Senandungku mulai hilang, nyanyianku mulai redup. Terbawa senja yang gugup menatap. Perlahan senja mulai datang membisikkan nanyian malam burung hantu yang baru keluar dari sarang. Aku terpaku, aku layu dan aku mati.
Kematian membawaku pada sebuah lorong-lorong sempit. Dimana disana hanya ada aku dan harapan. Mimpipun takut mendekat seolah tak bisa menyentuh. Tak seorangpun tahu aku mati. Tak seorangpun sadar aku pergi. Karena memang selama ini aku tak terlihat. Aku bukan apa-apa dan aku bukan siapa-siapa. Aku hanya aku. Aku hanyalah sebuah sajak yang bersenandung dikala hujan. Mereda saat gerimis dan cahaya beradu membiaskan warna indah di kaki langit. Dan akupun melintasi kaki langit itu. Itulah yang disebut-sebut orang pelangi.
Pelangi itu menyadarkanku, membangunkanku untuk segera melintasi dan menaiki anak tangga langit. Meniti dan berjalan pelan menuju surga. Aku berjalan terus berjalan meniti anak tangga langit, tangan-tangan tuhan menuntunku. aku meraba pelan aku buta arah. aku takut aku kehilangan arah. aku ingin kembali. Berbalik menuruni tangga langit.
Langit memang tak pernah ada, langit hanyalah dongeng. Cerita anak manusia yang tidak pernah tau untuk apa gunanya membual. Langit biru, dan biru itu hanya warna. Aku ingin menemui langit, terbang keatas terbawa arah angin.
Suatu hari aku berjalan berdampingan dengan angin. Angin menyentuhku, meniup lembut pipiku. Membisikkan sesuatu ditelingaku. Tapi aku tak tahu apa maknanya. Aku tak mengerti bisikannya. Aku tak peduli apa yang dia katakan. Karena aku tuli. Aku tak punya telinga. Sudah kubilang aku hanyalah sajak yang bersenandung dikala hujan.
Dan hujan adalah sihir, aku tersihir oleh hujan. Aku hanya mau bernyanyi disaat hujan turun. Aku mencintai hujan. Namun hujan tak mungkin ada kalau awan tak beranak. Awan-awan itu harus segera kawin. Melahirkan hujan yang menetas disaat awan itu hancur.
Suatu senja disaat awan bewarna jingga, aku terpukau keindahannya terpancar begitu silau. Sinar matahari dikaki barat langit membiaskan jingga itu. Jinga itu menatapku. Aku malu, ah aku tak mau ditatap begitu. Senja memang aneh, aku juga mencintai senja seperti aku mencintai hujan. Temaram senja itu menggodaku.
Aku tergoda dan bersimpuh di padang ilalang. Ilalang itu bergoyang seolah tak menginginkanku. Aku berlari mengejar senja ke barat. Seolah setiap detik adalah senja. Seolah setiap waktu yang berlalu adalah senja. Dan hujan tetaplah sihir yang mematikan yang membuatku mati terkapar, terlentang pasrah menunggui senja dan berlari mengejar waktu.
Gabriella Melisa,
Desember 31, 2013 _____________________
*) Penulis yang biasa disapa Igeb ini adalah salah seorang aktivis komunitas Gubuak Kopi yang saat ini tengah berjuang di Ibu Kota. Lulusan President University bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Pekarjaannya yang super sibuk itu juga memberinya banyak peluang jalan-jalan ke berbagai kota. Igeb saat ini tinggal di Cikarang juga memiliki blog pribadi yang bisa di klik di: http://gabriellamelisa.blogspot.com/
0 comments