Kata “musim” biasannya merujuk pada pembagian utama dalam tahun, berdasarkan bentuk iklim yang luas dan berulang. Misalnya, di Indonesia yang terletak di daerah tropis, terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut selalu hadir bergantian setiap tahunnya. Selain itu, di Indonesia juga sering terdengar kata musim yang dibarengi dengan nama buah-buahan. Misalnya, musim durian di Kota Padang, yang artinya bahwa dalam kurun waktu tertentu, di Padang kita bisa melihat buah durian berjejer dalam jumlah yang banyak. Biasanya bisa kita temukan di sepanjang Jalan MH. Thamrin dan Jalan Sisingamangaraja. Di Kampung halaman saya, di Solok, ada juga yang namanya musim layangan. Musim ini hadir beriringan dengan liburan Ramadhan. Anak-anak hingga orang dewasa memilih bermain layangan untuk menunggu waktu berbuka. Pada tanggal 20 hingga 23 Juli lalu, selama mengikuti kegiatan workshop akumassa bernas di Puncak Bogor, saya mendengar istilah musim yang baru, yaitu “musim Arab”.
Keterangan tentang fenomena musim Arab ini pertama kali saya dengar dari Pak Ujang. Dia adalah seorang petugas keamanan di salah satu masjid di daerah Cisampay, Cisarua, Bogor. Masjid ini bernama Masjid Al Muqsith, memiliki gaya arsitektur yang unik, seperti tenda-tenda orang-orang Arab yang sering saya lihat di televisi.
Pak Ujang awalnya memperhatikan saya yang terheran-heran melihat banyak orang-orang berwajah Timur Tengah berjalan di depan masjid. Kepada Pak Ujang, saya katakan bahwa itu pertama kali saya ke sana, dan saya sangat terheran-heran karena ada begitu banyak orang-orang Timur Tengah. Nama toko, wartel, dan plang penujuk jalan, semuanya juga bertuliskan Bahasa Arab. Sekilas, saya merasa tidak sedang di Indonesia karena semuanya terasa begitu “Arab”. Fenomena ini mengingatkan saya pada daerah domisili saya, Kota Padangpanjang yang dijuluki Kota Serambi Mekah, sebagian lagi menyebutnya dengan istilah “Arab-nya Sumbar”. Di sana ada banyak pesantren. Orang-orang menggunakan jubah gamis seperti orang Arab, tetapi mereka penduduk lokal. Saya juga sering mendengar percakapakan beberapa siswa pesantren berwajah lokal dengan Bahasa Arab. Di Padangpajang juga banyak tulisan-tulisan Arab, tetapi berupa tulisan Asmaul Husna (nama-nama Allah yang indah dan baik), lengkap dengan artinya, berjejer dengan lampu menjadi hiasan di sepanjang jalan protokol.
Pak Ujang mengatakan bahwa daerah itu memang bukan Kota Serambi Mekah seperti Padangpanjang yang saya maksud. Menurutnya, daerah itu sering disebut dengan Kampung Arab karena memang banyak orang Arab yang suka berkunjung ke sana. Sekilas, saya takjub, heran, dan mengangguk sendiri.
“Oh, pantas, di sini banyak saya lihat orang-orang Arab,” kata saya pada Pak Ujang.
“Sebenarnya, tidak semuanya orang Arab. Banyak di antara mereka yang merupakan imigran dari Afghanistan, Irak, dan Oman,” Pak Ujang menjelaskan. “Kalau orang Arab, datangnya musiman. Musim Arab.”
Berdasarkan cerita teman saya sesama peserta workshop, Remi dan Zikri, yang sempat berbincang dengan pemandu wisata di daerah Cisarua ini, Musim Arab itu biasanya jatuh pada bulan Juli, Agustus, dan September. Tepatnya menjelang dan setelah Ramadhan, serta pada bulan-bulan haji (biasanya sekitaran Bulan Agustus sampai Oktober).
Saya heran, bagaimana Pak Ujang bisa tahu mereka bukan orang-orang Arab, melainkan imigran? Padahal, dari segi fisik, rupa mereka sangat mirip: berhidung mancung, berkulit putih, dan jangkung.
Tak lama setelah itu, sebuah mobil datang ke halaman parkir masjid. Dari mobil tersebut, turun seorang laki-laki berwajah Timur Tengah, diikuti dua orang perempuan dengan jubah hitam menggunakan cadar. Sepertinya, mereka adalah sebuah keluarga. Di antara mereka, ada salah seorang penduduk lokal, bekulit sawo matang, hidung pesek, dan tidak terlalu tinggi. Ia menjadi sopir kendaraan yang ditumpangi keluarga Arab tersebut. Pemuda lokal itu pintar berbahasa Arab dan sepertinya dia sekaligus menjadi guide si keluarga Arab. Terlihat bahwa dia membungkuk hormat pada keluarga Arab terebut dan memberi petunjuk jalan arah ke tempat mengambil wudhu. Kemudian, dia kembali duduk di belakang stir-nya, menunggu keluarga Arab tersebut selesai sholat.
Pak ujang kembali menghampiri saya, dan berkata, “Kalau orang Arab itu turun dari mobil, berarti dia dari Saudi. Kalau mereka turun dari angkot atau jalan kaki, itu berarti imigran,” kata Pak Ujang dengan bangga, mengemukakan teorinya.
Saya sedikit ragu dengan teori Pak Ujang. Bagaimana dia bisa tahu mana yang Arab, dan mana yang imigran? Toh, seperti informasi yang saya dapat, musim Arab itu biasanya berlangsung pada minggu-minggu sesudah dan sebelum Ramadhan. Sekarang, kan, Bulan Ramadhan? Ternyata, Pak Ujang menyimpulkan demikian karena, biasanya orang Arab Saudi itu kaya-kaya, berpakaian bagus, dan terlihat royal. Mereka juga mampu menyewa mobil, menyewa guide. Mereka datang ke Kampung Arab dengan tujuan liburan. Walaupun sekarang sedang Bulan Ramadhan, menurut Pak Ujang, ada juga beberapa orang di antara mereka yang masih di sana untuk liburan ataupun kepentingan lain, seperti berdagang. Berbeda dengan para imigran yang datang dengan tujuan cari aman, atau bersembunyi. Para imigran datang ke daerah itu karena di kampung mereka sering terjadi konflik dan tidak tahu kapan konflik itu selesai. Informasi yang diceritakan Remi dan Zikri menyebutkan bahwa mereka, para imigran itu, suka berjalan kaki, membawa-bawa kamus, dan naik angkot, persis seperti yang saya lihat banyak berlalu lalang di depan masjid.
Saya heran, mengapa orang-orang Timur Tengah itu suka ke daerah Cisampay ini, terutama mereka yang datang dengan tujuan liburan? Mengapa mereka tidak memilih tempat lain untuk liburan. Setahu saya, dahulu pada abad ketujuh, memang banyak bangsa Arab yang datang ke Nusantara dengan tujuan penyebaran agama Islam mengikuti jalur perdagangan.[1] Namun ternyata, hingga saat ini mereka masih rutin ke negeri ini, seakan-akan salah satu agenda yang wajib mereka lakukan. Sampai penduduk setempat melahirkan istilah Musim Arab.
M Sibawaihi, teman asal Lombok yang juga mengkuti workshop akumassa bernas bersama saya, mengatakan bahwa di kota asalnya, tepatnya di Kecamatan Ampenan, juga ada yang namanya Kampung Arab. Kampung Arab di Ampenan berada di daerah pesisir, daerah pelabuhan tua. Keberadaan Arab di sana sangat erat kaitannya dengan perdagangan dan penyebaran agama Islam di masa lampau. Begitu juga Kampung Arab di Gresik, Surabaya, para pengusaha Arab yang sekaligus melaksanakan misi penyebaran Agama Islam ini sudah ada di sana sejak abat 18. Mereka menikah dengan penduduk lokal dan meninggalkan nama Arab mereka, menggantinya dengan nama-nama lokal.[2] Di daerah Kampung Arab Palembang, orang-orang dari jazirah Arab tersebut terkonsentrasi di sepanjang Sungai Musi yang waktu itu menjadi pusat perdagangan Sriwijaya.[3] Para pengusaha Arab di Palembang itu juga menetap dan menikah dengan penduduk lokal.
Menurut Sibawaihi, di Kampung Arab di tempat asalnya, budaya Arab tidak sekental yang ada di Cisampay yang lebih terlihat sebagai migrasi budaya. Lebih dari sekedar alkulturasi (kedatangan budaya asing tanpa mengganggu budaya lokal asli), seperti yang terjadi di Palembang dan Gresik. Di Cisampay, Cisarua, budaya Arab tersebut terasa begitu kental, terutama karena hampir semua plang nama menggunakan bahasa Arab. Saya ingat keterengan Pak Ujang, dan KH. Rifqan Asyari, seorang pemimpin sebuah pondok pesantren di daerah itu, yang mengatakan bahwa orang-orang Arab Saudi di Cisampay itu tidak menetap. Mereka datang musiman. Lalu mengapa orang-orang Arab itu malah datang ke daerah pegunungan semacam Puncak? Dan mengapa pula ada “musim” Arab, yang menunjukan bahwa mereka datang dengan rutin pada waktu-waktu tertentu? Apakah karena Puncak adalah kampung halaman mereka sehingga, seperti pada musim mudik di Indonesia, mereka akan selalu pulang ke kampung halaman mereka pada waktu-waktu tertentu?
Informasi yang menarik, saya dan teman-teman sesama peserta workshop dapatkan dari salah seorang pemandu wisata. Dia mengatakan bahwa biasanya ketika di Arab sedang musim panas, orang-orang Arab itu akan bertanya melalui e-mail, apakah di Jabal sudah musim hujan. Jabal, yang berarti gunung, adalah sebutan khusus orang Arab untuk daerah yang sering disebut sebagai Kampung Arab itu. Jabal ahdhor (gunung hijau), jabal al jannah (gunung surga), semacam impian bangsa Arab akan suasana gunung yang hijau, aliran sungai, udara dingin, bunga-bunga cantik, dan bidadari-bidadari surga. Impian tersebut mereka temukan di Cisampay.
Cisampay berada di pebukitan, memiliki udara sejuk pemandangan hijau nan indah. Dari sana, kita bisa melihat Gunung Gede dan juga Gunung Salak. Keindahan alam Cisampay, bagi orang-orang Arab, adalah suatu kemegahan yang mereka idam-idamkan. Mereka sangat kegirangan melihat air, bahkan mereka akan mengambil foto sungai kecil yang ala kadarnya.[4] Biasanya, yang datang ke Kampung Arab, Cisarua, ini adalah orang-orang Arab yang berduit. Menurut Pak Ujang, mereka akan menyewa vila untuk beberapa minggu, ada juga yang memiliki vila pribadi. Orang-orang Arab tersebut juga senang berbagi, bersedekah, mengundang yasinan dan makan bersama di vila mereka.
Kesenangan para wisatawan Arab lainnya adalah mencari oleh-oleh spesial, yaitu madu dan potongan kayu yang memilki aroma wangi asal Papua atau Kalimantan. Kayu ini biasanya disebut orang-orang setempat Kayu Garut (Kayu Gaharu). Oleh-oleh tersebut juga tersedia di beberapa tempat di Kampung Arab. Masyarakat lokal melihat ini sebagai salah satu peluang untuk dijadikan mata pencarian mereka. Biasanya, harga kayu wangi itu bisa mencapai satu juta rupiah per-kilogram. Nominal tersebut, bagi orang-orang Arab, tidak begitu mahal karena di daerah mereka barang-barang tersebut sulit ditemukan. Selain itu, mereka juga bisa menikmati liburan di tengah suasana yang banyak diimpikan oleh banyak orang Arab, suasana yang tidak mereka temukan di Arab.
Orang-orang Arab tersebut merasa nyaman berada di Kampung Arab ini. Mereka merasa berada di kampung mereka sendiri. Walaupun faktanya, mereka hanya datang dengan tujuan wisata, ke salah satu tempat di Indonesia, bukan ke kampung halamannya. Tapi sepertinya, usaha masyarakat setempat untuk membuat mereka (wisatawan Arab) nyaman berada di sana, sengaja atau tidak, membuat Cisampay terlihat seperti kampungnya orang Arab. Toko-toko di sepanjang jalan Cisampay ini menyediakan banyak kebutuhan-kebutuhan orang-orang Arab. Belum lagi beberapa toko memiliki penjaga yang bisa berbahasa Arab. Seperti salah seorang penjaga money changer yang sempat berbincang dengan teman saya, Anib dan Aboy, misalnya. Seorang mantan TKI, asal Ambon dan pernah berkerja di Arab itu bisa berbahasa Arab dengan fasih. Masyarakat lokal memberi banyak kenyaman pada wisatawan Arab tersebut. Mereka sangat sulit berkomunikasi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Makanya, banyak toko-toko yang mempekerjakan orang-orang yang memliki kemampuan bahasa Arab.[1]
Keberadaan Kampung Arab ini, sedikit banyak, tentu memberi keuntungan pada masyarakat lokal dan juga pendatang lokal yang bisa berbahasa Arab. Namun, selain itu, pernah juga diberitakan bahwa ‘kenyamanan’ yang didapat tidak hanya berupa usaha para pedagang yang mempermudah komunikasi, tapi mereka juga disediakan perempuan-perempuan cantik yang mereka datangkan dari daerah-daerah tetangga, yang membuat Jabal Jannah mereka semakin “lengkap”. Dari beberapa media, saya tahu ternyata hal itu memang benar terjadi. Bahkan yang paling ramai dibicarakan adalah isu kawin kontrak. Seperti yang saya kutip dari media online satu ini:
Maraknya kawin kontrak di kawasan Puncak Bogor, antara wanita lokal dengan wisatawan Timur Tengah, membuat pihak Kecamatan Cisarua gerah. Langkah pencegahan, pihak kecamatan dibantu kepolisian Sektor Cisarua, Danramil dan tokoh masyarakat dan agama melakukan operasi Rabu (8/6/2011) malam.
Operasi yang melibat ratusan personil gabungan ini, berhasil menjaring tujuh wanita yang diduga menjadi istri sementara pria Timur Tengah. Mereka terjaring saat berada di Vila Tjok di kawasan Tugu Utara Puncak Bogor.[2]
Media tersebut juga mengutip pengakuan orang-orang yang terjaring dalam operasi tersebut. Misalnya pengakuan dari seseorang bernama Suci, media tersebut menyebutkan bahwa Suci mengaku dikontrak dan menerima bayaran sebanyak 7 juta ripuah perminggunya. Dari jumlah tersebut, ia hanya dapat setengahnya saja, dan setengah lagi untuk “mami”. Sementara pengakuan Deviani, warga Cibeureum, mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan kawin kontrak, melainkan hanya melayani tamu Arab yang dibayar Rp 700 ribu sekali kencan atau Rp 2,5 juta untuk satu hari.
Fakta-fakta itu, tentunya, membuat risih beberapa penduduk lokal. Si pemandu wisata yang sempat diwawancarai oleh para peserta worskshop akumassa bernas, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa memang ada beberapa wisatawan atau imigran Timur Tengah, yang secara umum adalah pemuda, yang melakukan banyak perilaku menyimpang di daerah tersebut, seperti mabuk, suka main perempuan, dan hal-hal yang melanggar norma masyarakat lainnya yang mencemarkan nama Cisampay. Pemandu wisata yang kami wawancarai itu sudah menjalani profesinya sejak tahun 2000. Dia menjelaskan bahwa perilaku menyimpang yang dimaksud, dulunya memang marak di Kampung Arab, terutama di Warung Kaleng (Cisampay Sindang Subur). Adapun perempuan-perempuan yang dijadikan penghibur tersebut bukanlah masyarakat lokal, mereka didatangkan dari daerah-daerah tetangga, seperti Cibeureum. Hal inilah yang sebenarnya paling membuat masyarakat lokal asli menjadi risih. Seperti pengakuan seorang camat yang saya kutip dari sebuah berita:
Camat Cisarua, Drs Teddy Pembang menuturkan, semua yang terjaring didata lalu diberi bimbingan rohani. Mereka juga diminta untuk membuat surat pernyataan, untuk tidak kembali lagi menghuni kawasan puncak guna menjajakan diri.
“Kalau marah, saya sangat marah. Kenapa? Karena kalian telah membuat aib bagi wilayah yang saya pimpin. Kalian semua ini bukan warga saya tapi berasal dari luar Puncak. Jika mengulangi dan tertangkap, akan saya kirim ke panti sosial Pasar Rebo Jakarta Timur,” kata Teddy.[3]
Di Warung Kaleng, dulunya, menurut si pemandu wisata, terdapat beberapa vila yang menyediakan tempat-tempat disco, hingga akhirnya terkena imbas demo mahasiswa pada tahun 1999. Katanya, fenomena kawin kontrak marak antara 1995 sampai 2005. Namun faktanya, hal itu masih saja terjadi hingga tahun 2011. Kuat dugaan karena adanya kongkalikong antara warga setempat yang berperan sebagai “mami” atau agen kawin kontrak, dengan aparat. Sesekali aparat juga melakukan razia untuk meredam hingar bingar yang disebabkan oleh warga negara asing tersebut. Namun, konon itu hanya dilakukan oleh aparat untuk memelihara sirkulasi keadaan yang berkaitan dengan ekonomi setempat. Begitulah keterangan yang kami dapat dari si pemandu wisata. Akan tetapi dia juga menjelaskan bahwa belakangan, penyimpangan sudah mulai berkurang, terutama sejak adanya Undang-Undang yang mengatur khusus tentang perkawinan dan kemigrasian. Keterangan mengenai Undang-Undang ini lebih jelas bisa dilihat dalam PPRI Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Keimigrasian.
Beberapa pengelola vila setempat, menurut si pemandu wisata lagi, juga sudah berupaya menjaga nama baik Cisampay ini. Mereka melakukan antisipasi untuk meminimalisir kemungkinan hal buruk itu dengan hanya mengijinkan tamu-tamu keluarga saja.
“Di Warung Kaleng sekarang tidak semua vila memberi peluang hal buruk tersebut terjadi. Beberapa vila di Warung Kaleng hanya boleh disewa bagi tamu yang datang dengan tujuan wisata bersama keluarga,” begitulah kira-kira penjelasannya, seperti yang diceritakan oleh Zikri dan Remi.
Menurut si pemandu wisata, Kampung Arab juga sudah melebar sampai ke arah Cibeureum, Ciburial, hingga Cipanas. Jadi, wisatawan Arab muda yang suka disco, tari perut, dan main cewek itu, “berpindah” ke vila-vila yang bisa menerima mereka di sana.
Kembali pada permasalahan “musim Arab”. Penggunaan istilah ini memang tidak jauh berbeda dengan penggunaan kata “musim” pada musim layangan, musim mudik, ataupun musim durian. Ketiganya berusaha menunjukan adanya kecenderungan terhadap suatu aktivitas atau subyek yang hadir secara terpola dalam kurun waktu dan tempat tertentu, secara berulang-ulang. Musim Arab yang awalnya adalah fenomena wisata, perlahan terlihat sebagai migrasi budaya seiring usaha masyarakat lokal membuat wisatawan tersebut merasa nyaman. Migrasi budaya inilah yang akhirnya membuat Cisampay juga dikenal dengan sebutan Kampung Arab meskipun Kampung Arab-nya Cisarua ini agak sedikit berbeda dengan kampung-kampung Arab lainnya yang lestari karena awal tradisi penyebaran agama Islam melalui jalur perdagangan.
[1]Migrasi : Esensi Hijrah dalam konteks Islami (http://akumassa.org/kontribusi/bogor-jawa-barat/migrasi-esensi-hijrah-dalam-konteks-islam/)
[2]Kampung Arab dalam Perdapan Gresik (http://kampungarabsurabaya.blog.com/2013/03/14/kampung-arab-dalam-peradaban-gresik/)
[3]Lebih Dekat dengan Kampung Arab (http://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=5810:lebih-dekat-dengan-kampung-arab&catid=140:expresi&Itemid=86)
[4] Lihat http://istianasari.blogspot.com/2012/04/para-pencari-isteri-muda.html
[5]Para Pencari Istri Muda (http://istianasari.blogspot.com/2012/04/para-pencari-isteri-muda.html)
[6] Media Pos Kota (http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/06/09/7-wanita-diduga-istri-kontrak-pria-timteng-ditangkap
[7] Lihat http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/06/09/7-wanita-diduga-istri-kontrak-pria-timteng-ditangkap
Artikel ini, sebelumnya dipublikasi di akumassa.org dengan judul Musim Arab: Wisata Surga Hingga Ke Kawin Kontrak diselesaikan oleh Albert Rahman Putra di Solok, 4 Agustus 2013, merupakan bagian dari kumpulan tulisan akumassa bernas yang pertama, hasil workshop Program akumassa bernas di Cisarua, Bogor, 20-23 Juli 2013.