Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan (cetak) oleh Harian Haluan, edisi 4 September 2016, dalam rubrik Budaya. Artikel ini ditulis oleh Juli Ishaq Putra (pengasuh rubrik budaya Harian Haluan) terkait presentasi Albert Rahman Putra dalam forum komunitas di rangkaian “Social\/Kapital – ARKIPEL: Jakarta International Documentary and Experimental Film Festval, 2016”. Artikel ini dipublikasi kembali sebagai bagian dari digitalisasi koleksi arsip Gubuak Kopi.<\/span><\/p>\n SEJAUH ini, di manapun, baik di rumah melalui televisi, di layar bioskop, di layar tancap, maupun lewat saluran kanal youtube, banyak penikmat film yang memosisikan diri sebagai pribadi yang butuh hiburan dari beragam sinema yang mereka saksikan atau tonton. Padahal, menurut Albert Rahman Putra, Peneliti Seni dan Media dari Komunitas Gubuak Kopi yang berbasis di Kota Solok, sudah waktunya film dipahami sebagai cara alternatif untuk memahami berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan.<\/p><\/blockquote>\n <\/p>\n Albert bersama Gubuak Kopi menilai pentingnya menghidupkan pemahaman masyarakat terhadap budaya \u201cSebagian besar penonton memosisikan diri sebagai hadirin yang datang untuk terhibur. Kami coba memutar film dan berdiskusi setelahnya, tapi penonton banyak tak tertarik, mereka lalu kecewa. Dari sini kami memulainya. Pekerjaan rumah bagi pegiat film, yang paling utama adalah mengubah persepsi masyarakat mengenai film,\u201d ucapnya kepada Haluan, Rabu (31\/8). Beberapa kegiatan lain dilakukan untuk menunjang misi Gubuak Kopi antara lain dengan program reguler berupa ruang diskusi yang membahas kandungan film, melatih intensitas menonton, dan meningkatkan interaksi antara pegiat film dan masyarakat. Selain itu juga mendirikan media komunikasi berupa blog, melatih kebiasaan review film atau acara penayangan.<\/p>\n Ditambah dengan upaya peluasan jaringan yang fokus pada pertukaran pengetahuan, pengalaman, strategi, kemasan program dan sebagainya. Pada dasarnya menurut Albert, penyebaran ilmu perfilman dapat diampu oleh negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang terkait. Namun, karena masih minimnya perencanaan ke arah itu, membuat para pegiat film harus memikul pekerjaan dengan beban lebih berat. \u201cPemerintah, khususnya di daerah-daerah, sebenarnya sudah menunjukkan perhatiannya, dan sudah punya sarana untuk ini, tapi cenderung masih mempertimbangkan sisi komersil. Seperti festival film yang diadakan, yang kebanyakan bertema pariwisata dengan misi mengangkat pariwisata, sedangkan untuk tema lain macam pendidikan masih minim,\u201d katanya lagi.<\/p>\n Yang ia takutkan dengan program-program pemerintah yang cenderung kaku seputar perfilman tersebut, membuat masyarakat hanya mengetahui dan memahami film berdasarkan teks, tanpa ada keinginan menelusuri lebih dalam mengenai kebenaran fakta-fakta yang diungkap dalam film tersebut. Terlebih lagi dalam-film-film dokumenter dan film-film berbau sejarah. Contoh, kayakinan akan kebenaran tunggal di tengah-tengah masyarakat mengenai peristiwa G30 September\/PKI, yang diadopsi mentahmentah dari film berjudul sama, yang diputar setiap tahun oleh pemerintah di masa lalu.<\/p>\n Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema<\/a><\/p><\/blockquote>\n
\n
\nsinema, melalui beragam kegiatan seputar perfilman, seperti pemutaran layar tancap dengan film-film yang bisa memicu atensi masyarakat, agar lebih memahami film lebih dari sekedar hiburan belaka.<\/p>\n<\/p>\n