Tag Archives: Usmar Ismail

Gotong Royong Enam Jam di Jogja

Catatan Penayangan Sinema Pojok: Enam Djam di Djogja (Usmar Ismail, 1951)

Sabtu, 28 Juli 2018, Komunitas Gubuak Kopi melalui program Sinema Pojok memutarkan filem Enam Djam di Djogja karya sutradara Usmar Ismail yang diproduksi tahun 1951. Filem Enam Djam di Djogja memang dihadirkan dengan cara fiktif. Alasannya dibuat dengan cara fiktif karena merasa dokumen-dokumen yang ada masih belum lengkap dan takut akan berpotensi menyinggung berbagai pihak nantinya, akan tetapi keberadaannya saat itu sangat diterima oleh masyarakat Indonesia dengan masih ditayangkannya filem ini hingga era tahun 1980-an di TVRI. Filem ini dikatakan sebagai filem perjuangan Indonesia kedua, setelah filem perjuangan pertama yang juga disutradarai oleh Usmar Ismail dengan judul Darah dan Doa diproduksi satu tahun sebelumnya (1950). Continue reading

Sinema Pojok: Tamu Agung

Tamu Agung | Usmar Ismail | 1955 | 82 menit | Indonesia | Hitam Putih | Bahasa Indonesia

Sabtu, 25 Agustus 2018
20.00 WIB

Filem Tamu Agung berlatar belakang di sebuah Desa pinggiran kabupaten yang kurang makmur masyarakatnya bernama Desa Sukaslamet. Tamu Agung adalah filem drama komedi Indonesia yang diproduksi tahun 1955 dan disutradarai oleh Usmar Ismail. Filem dengan genre komedi politik ini mengisahkan kisruh yang terjadi di tengah-tengah masyarakat menjelang kedatangan seorang tamu agung dari Jakarta. Sebelumnya, oleh sekelompok pejabat tingkat desa telah mengatur kedatangan tamu penting itu. Para pejabat beserta masyarakat Desa Sukaslamet sangat mengharapkan kedatangan tamu agung itu dengan harapan sang tamu agung dapat menolong mereka mengatasi masalah ekonomi karena desa mereka yang masih tertinggal. Continue reading

Sinema Pojok: Enam Djam di Djogja

Enam Djam di Djogja | Usmar Ismail | 1951 | 108 menit | Indonesia | Hitam Putih | B. Indonesia.

Sabtu, 28 Juli 2018
20.00 WIB

Filem ini memiliki latar belakang bagaimana perjuangan masyarakat, tentara, dan pemerintah Indonesia bekerjasama dalam mengusir pendudukan Belanda di Jogjakarta pada tahun 1949 setelah proklamasi. Filem diawali dengan kalimat pembuka yang menyampaikan tujuan filem ini diproduksi. Berikutnya, adegan dimulai dengan tokoh Mochtar berjalan menuju sebuah rumah kontrakan. Mochtar adalah seorang wartawan yang kemudian memutuskan untuk jadi pasukan gerilya dan merancang strategi gerilya bersama rekan-rekannya. Selain Mochtar, diceritakan juga kisah Hadi (pimpinan pasukan tantara) yang merancang strategi bersama rekan-rekannya di sebuah desa. Sementara Endang (laskar wanita) juga ikut membantu menjalankan strategi gerilya rakyat Indonesia secara diam-diam menjadi kurir pesan rahasia. Continue reading

Sinema Pojok: Lagi-lagi Krisis

Lagi-Lagi Krisis | Usmar Ismail | 1955 | 108 menit | Indonesia | Hitam Putih | B. Indonesia

Sabtu, 14 Juli 2018
20.00 WIB

Keluarga Husin hidup bertetangga dengan Jaka seorang perwira yang memiliki istri keturunan ningrat dan ibu mertua seorang janda yang suka mengatur. Suatu hari Husin tiba-tiba mendapat ilham untuk mensiasati kehidupan yang sedang krisis dengan menjadi seorang dukun. Dipasang sebuah papan nama di depan rumanya, hingga banyak orang yang datang untuk meminta bantuan kepada Husin sang dukun. Diantara orang-orang yang datang, produser film dan calon artis berhasil membuat Husin berusaha keras untuk membantu mewujudkan niat mereka berdua. Continue reading

Penayangan Asrama Dara

Sabtu, 23 September 2017
20.00 WIB
Di Simpang Kamboja, Kampuang Jao, Kota Solok.

________________

Asrama Dara, Usmar Ismail, 1958.
125 Menit // Bahasa Indonesia // subteks: English.

Asrama Dara adalah sekumpulan persoalan kebudayaan dalam menghadapi transisi kebudayaan modern di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Persoalan ini dibahas dengan semangat maju melalui presepektif sekelompok wanita dengan latar masalah yang berbeda yang tinggal di satu atap.

Sinema Pojok: Asrama Dara

Asrama Dara, Usmar Ismail, 1958.
125 Menit // Bahasa Indonesia // subteks: English.

Asrama Dara adalah sekumpulan persoalan kebudayaan dalam menghadapi transisi kebudayaan modern di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Persoalan ini dibahas dengan semangat maju melalui presepektif sekelompok wanita dengan latar masalah yang berbeda yang tinggal di satu atap.