Tag Archives: Singkarak

Seminar dan Workshop dalam Rangkaian Festival Tepi Ayer

Komunitas Nuraga Budaya akan menggelar Festival Tepi Ayer di kawasan wisata tepi danau Singkarak, tepatnya di Tanjung Mutiara, Nagari Batu Taba, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Festival ini dibentuk dan diproses melalui kerja kolektif dan kolaboratif, antara komunitas dan masyarakat dengan berbagai stakeholder lintas sektoral. Tepi Ayer adalah suatu peristiwa bersama dalam rangka merayakan dan mensyukuri atas proses dari merawat, menjaga dan memelihara bumi beserta isinya, khususnya air sebagai sumber dari beragam rantai ekosistem lingkungan dan budaya.

Continue reading

Yang masih mengangkang di Singkarak

Sudah lebih dari 20 tahun lalu bangunan-bangunan terus tumbuh hingga hari ini di bibir Danau Singkarak. Sebagian besar bangunan adalah kedai-kedai kuliner yang menawarkan makanan, mi instan, minuman, dan lainnya. Para pedagang berusaha menguasai sisi strategis untuk menikmati lanskap danau dan membangun kedainya. Sebagian kedai dibuat permanen sebagian lagi tidak. Biasanya akan ramai ketika musim libur lebaran, ada yang memilih lanjut ada yang membongkarnya kembali. Tentu saja bangunan-bangunan ini dilarang oleh pemerintah, sebab dianggap merusak lingkungan, tapi bagi warga ini adalah peluang mencari nafkah. Tahun demi tahun bangunan terus bertambah, tidak tahu, apakah suatu hari nanti, bibir danau yang panjang itu, tidak tersisa lagi untuk pengunjung yang ingin menikmati tanpa masuk ke kedai.

Continue reading

Lanskap Singkarak Setelah Batu Bara

Penghujung tahun 2020 kegiatan Gubuak kopi akan ditutup dengan Kurun Niaga #2. Pada tahun ini Gubuak Kopi melibatkan 7 orang seniman Anggraeni Widhiasih (Jakarta), Autonica (Yogyakarta), Verdian Rayner (Solok), Volta A Jonneva (Kinari), Teguh Wahyundri (Solok) Boynistill (Solok), BDX (Jawi-Jawi). Saya, Badri, dan Albert dalam aktivitas ini terlibat sebagai fasilitator. Teman-teman ini kita minta untuk membaca ulang jalur niaga di Sumatra Barat. Para seniman ini dibekali catatan dari proyek Kurun Kiaga tahun lalu, dan diajak ke beberapa lokasi untuk melihat lebih dekat daerah yang bersinggungan dan melihat kontur alam Solok dari ketinggian. Setiap seniman menuangkan impresinya dalam bentuk sketsa sebagai refleksi dari hasil pengamatan jalur niaga tersebut.

Continue reading

Sepoi Sore Selatan Singkarak

Akhir tahun 2017 lalu, jalur penghubung antar nagari di selatan Danau Singkarak kembali bagus. Sebelumnya jalanan ini rusak parah dan menimbulkan debu, akibat ramainya truk pengangkut hasil tambang Galian C di Paninggahan. Debu diterpa angin menyelimuti hijau dedaunan dan padi di tepian jalan. Kini jalur yang tepatnya berada di wilayah nagari Saniangbaka ini telah kembali diperbaiki. Kendaraan berjalan dengan lancar, dan mulai muncul aktivitas lari sore di sekitaran lokasi, dengan pemandangan indah ini. Continue reading

Yang Belum Selesai dari Oktober di Muaro Pingai

Jalan lintas selatan Danau Singkarak, yang melewati Nagari Sumani, Saniang Baka, Muaropingai, dan Paninggahan ini, pada tahun 2013 hingga awal 2017, mengalami kerusakan dan menimbulkan debu di daerah sekitaran jalan. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh ramainya aktivitas mobil pertambangan galian C di Nagari Paninggahan. Tidak sedikit warga yang mendapat penyakit ISPA akibat debunya. Protes telah dilakukan berkali-kali dan akhirnya berhasil juga. Tambang ditertibkan. Sejak 2017 lalu, jalan ini sudah mulai diperbaiki kembali, dan ada beberapa ruas jalan yang masih belum. Video ini adalah perjalanan pengendara motor yang merekam jalan Muaropingai pada akhir Oktober 2017 lalu.
Continue reading

Peluncuran dan Diskusi Buku: Sore Kelabu di Selatan Singkarak

Pada Rabu, 21 Februari 2018 lalu, Komunitas Gubuak Kopi bekerja sama dengan Forum Lenteng (Jakarta) menggelar kegiatan “Peluncuran dan Bedah Buku –Sore Kelabu di Selatan Singkarak, karya Albert Rahman Putra, di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang, Sumatera Barat. Buku kumpulan tulisan ini diterbitkan oleh Forum Lenteng. Di dalamnya penulis merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan sejak 2015 hingga 2017. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi liungkungan, peseteruan warga, keberadaan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818. Continue reading

[PELUNCURAN DAN BEDAH BUKU] – “SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK”

AKUMASSA BERNAS #1
“SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK”
penulis: Albert Rahman Putra
penerbit: Forum Lenteng
Rabu, 21 Februari 2018
Pukul 19.30 WIB
di Galeri Kubik Koffie
narasumber:
Andini Nafsika (Moderator), Otty Widasari (Editor/direktur program akumassa), Albert Rahman Putra (Penulis), Esha Tegar Putra (Pembahas)
Dalam buku kumpulan tulisan berjudul SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK ini, Albert merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi lingkungan, peseteruan warga, keberadan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818.
penyelenggara:
Komunitas Gubuak Kopi adalah kelompok studi budaya nirlaba yang berbasis di Solok. Kelompok ini berdiri pada tahun 2011, befokus pada pengembangan pengetahuan seni dan media di tingkat lokal, melalui kegiatan lokakarya literasi media, kolaborasi seni lintas disiplin, dan pengarsipan alternatif berbasis komunitas.
informasi:
0813 6543 9027 (Delva)
@gubuakkopi
___________________
Makalah Esha Tegar Putra: Lingkung Singkarak dalam Retrospeksi

PROFIL NARASUMBER

Andini Nafsika (Moderator)

lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Padang (UNP). Penulis puisi dan aktif berkegiatan di Teater Serunai Laut, dan Ruang Diskusi Shelter Utara Kota Padang.

Otty Widasari (Editor/direktur program akumassa)
Seorang seniman, kurator, dan penulis yang berbasis di Jakarta. Dia juga merupakan salah satu pendiri dari Forum lenteng, dan Direktur AKUMASSA, program pengembangan masyarakat  yang menggunakan media (video, fotografi, gambar, dan teks) sebagai alat untuk mengungkap masalah sosial budaya, dan juga Pemimpin Redaksi masyarakat secara online di jurnal www.akumassa.org. Otty juga salah satu pendiri Footage Journal (www.jurnalfootage.net), sebuah jurnal tentang video dan filem. Sejumlah karya filem dan idenya telah dipresentasikan diberbagai festival nasional dan internasional.

Albert Rahman Putra (Penulis)
Biasa disapa Albert, lulusan Jurusan Seni Karawitan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik tradisi, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Selain itu, ia juga aktif mengkuratori sejumlah pameran dan pagelaran seni di Sumatera Barat.

 Esha Tegar Putra (Pembahas)
Biasa disapa Esha, merupakan seorang sastrawan, penyair, dan kritikus sastra. Lulusan Pascasarjana program Sastra Indonesia, di Universitas Indonesia (2018). Ia dan beberapa kawan merupakan penggagas Padang Literary Biennale (2014). Beberapa buku yang telah ia lahirkan antara lain: Pinangan Orang Ladang (2009); Sarinah (2016). Selain itu, sejumlah karya puisi, cerpen, dan esainya telah dipublikasi di sejumlah media lokal dan nasional, seperti harian Kompas dan koran Tempo. Ia juga sering diundang selaku narasumber di sejumlah iven sastra tingkat nasional

_____

Orkes Taman Bunga, adalah sebuah kelompok musik yang mengusung tema keseharian dalam syair-syairnya, yang dibalut manis dan satir dengan irama orkes dangdut minang. Kelompok ini beridiri pada tahun 2012, berbasis di Padangpanjang, dan telah mempertunjukan karya di berbagai kota di Sumatera Barat dan Riau.

Letusan di Riaknya Danau

Kira-kira dua minggu setelah lebaran (2015), suasana Singkarak yang sebelumnya ramai sudah berangsur normal. Jalanan sudah mulai sepi lagi, hanya sampah-sampah yang bertambah banyak. Siang hari, saya mampir di sebuah kedai nasi di tepian Danau Singkarak di daerah Tikalak. ‘Riak Danau’, begitu tertulis di depan warungnya. Di sana, saya bertemu seorang perempuan paruh baya. Dia adalah pemilik warung itu. Continue reading