Category Archives: Sinema Pojok

Sinema Pojok: Program reguler berupa pengadaan aktivitas dan ruang tontonan alternatif dengan menayangkan film-film dunia yang berkualitas dan diakui secara kritik, dalam rangka menyebarkan pengetahuan tentang media dan film. Program ini juga diniatkan sebagai ruang temu dan diskusi bagi masyarakat dan pecinta film yang ada di Solok dan sekitarnya.

Sinema di Pojok Kampung Kita

Pada 25-26 Maret 2017 lalu, di beberapa titik, di Kelurahan Kampug Jawa, Solok, berlansung kegiatan “Sinema di Pojok Kampung Kita” Penayangan ini diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi, bersama Pusat Pengembangan (Pusbang) Film, Kementrian Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia, dalam rangka merayakan Hari Film Nasional 2017.

Kegiatan ini dibuka dengan penayangan Darah dan Doa, karya Usmar Ismail (1950), pada pukul 16.00 WIB di Galeri Gubuak Kopi, di Kelurahan Kampung Jawa. Darah dan Dan adalah film yang pertama kali dibuat (diproduseri dan disutradarai) oleh orang Indonesia. Usmar Ismail sendiri adalah seorang kelahiran Bukittinggi, 21 Maret 1921. Ia dikenal sebagai pelopor perfilman Indonesia. Pada tahu 1950, ia mendirikan PERFINI (Perusahaan Film Nasional), serta memproduksi film pertama, yakni Darah dan Doa di bawah nama PERFINI pada tahun yang sama. Tanggal 30 Maret 1950, adalah hari pengambilan gambar pertama dari film Darah dan Doa, yang kini disebut sebagai Hari Film Nasional oleh Dewan Perfilman Nasional pada taun 1962. Continue reading

Literasi Komunitas Filem

Perkembangan aktivisme dan aktivitas seputar sinema di daerah-daerah tidak lepas dari peran komunitas yang ada di dalam dan sekitarnya. Adalah tugas komunitas untuk membaca dan memahami persoalan yang ada di sekitar mereka: menemukan referensi sinema yang berkualitas, dan menggiring diskusi yang produktif di antara masyarakat, baik itu dalam melihat persoalan sosial politik, ekonomi, dan sebagainya. Entah itu akan bermuara pada produksi-distribusi atau dalam bentuk aksi-aksi publik lainnya. Sebelum itu, tentu setiap pelaku komunitas harus memiliki bekal pengetahuan sinema itu terlebih dahulu. Hingga saat ini, umumnya produksi dan distribusi pengetahauan sinema, secara dominan, masih terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja. Tapi kita tidak boleh lupa, ia nyatanya juga dapat tumbuh dan hidup di kawasan yang sangat kecil, contohnya adalah kawan-kawan di Purbalingga yang telah melakukanya dengan sangat baik (Festival Film Purbalingga). Di tangan pegiat filem Purbalingga, aktivitas dan aktivisme sinema tumbuh menyatu dalam kehidupan masyarakatnya. Continue reading

Meneguk Film Menyelami Kehidupan

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan (cetak) oleh Harian Haluan, edisi 4 September 2016, dalam rubrik Budaya. Artikel ini ditulis oleh Juli Ishaq Putra (pengasuh rubrik budaya Harian Haluan) terkait presentasi Albert Rahman Putra dalam forum komunitas di rangkaian “Social/Kapital – ARKIPEL: Jakarta International Documentary and Experimental Film Festval, 2016”. Artikel ini dipublikasi kembali sebagai bagian dari digitalisasi koleksi arsip Gubuak Kopi.


SEJAUH ini, di manapun, baik di rumah melalui televisi, di layar bioskop, di layar tancap, maupun lewat saluran kanal youtube, banyak penikmat film yang memosisikan diri sebagai pribadi yang butuh hiburan dari beragam sinema yang mereka saksikan atau tonton. Padahal, menurut Albert Rahman Putra, Peneliti Seni dan Media dari Komunitas Gubuak Kopi yang berbasis di Kota Solok, sudah waktunya film dipahami sebagai cara alternatif untuk memahami berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan.

Continue reading

Peran Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema

Perkembangan sinema sampai sekarang tak luput dari pihak-pihak yang berkontribusi untuk mengembangkan pengetahuannya, salah satu pihak yang memegang peran penting dalam hal ini adalah komunitas. Meskipun bukan organisasi resmi, komunitas kerap dijadikan wadah untuk melakukan aktivitas di bidang perfileman sebagai sarana apresiasi, eksibisi, forum diskusi, dan lain-lain. Dalam realitanya, program yang dijalankan oleh komunitas sering kali memiliki tantangan tersendiri baik dalam konteks eksternal maupun internalnya.
Bertempat di GoetheHaus, Jakarta, pada tanggal 20 Agustus 2016 ARKIPEL social/kapital – 4th Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival menggelar program Forum Festival, Panel ke-5 yang bertajuk “Komunitas dan Pengembangan Pengetahuan Sinema”. Pada bagian terakhir dari forum festival ini hadir deretan panelis penggiat filem dalam komunitasnya, yaitu Albert Rahmat Putra, Dimas Jayasrana, Fauzi Rahmadani, dan Yuli Lestari, dan dimoderatori oleh Hafiz Rancajale, salah satu pendiri Forum Lenteng dan ruangrupa.

Dimas yang pernah mendirikan filmalternatif.org dan menjadi programer di IFI Jakarta, dan kini adalah pegiat Festival Film Purbalingga menyebutkan kegiatan utama komunitas adalah berdiskusi dan berdialog untuk menyebarkan pengetahuan mengenai sinema. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masyarakat Indonesia masih minim exsposure kepada sinema karena terbatasnya jangkauan kepada media tersebut. Sebagai alternatifnya, perlu diadakan festival filem, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat menyebarkan pengetahuan mengenai sinema, seperti sejarah dan wacana estetika. Dimas juga merasa terbantu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sehingga arus pertukaran informasi terkait filem menjadi cepat dan mudah.

Kemudian, Fauzi yang pernah menjabat menjadi Direktur Program Layar Kamisan Jember, Koordinator JAFF Community Forum, serta Ketua Divisi Litbang UKM Dewan Kesenian Kampus, menceritakan keadaan komunitas produksi filem di Jember yang menjamur, namun masih sulit ditemui komunitas yang menyediakan ruang putar filem bagi masyarakat. Sedangkan di Banyuwangi, pemutaran filem dijadikan sebuah sarana untuk diskusi suatu isu yang sensitif bagi kalangan tertentu. Tak jarang, kegiatan ini ditekan oleh pihak-pihak yang merasa terancam. Fauzi  berpendapat bahwa perlu adanya diskusi terarah dan struktur untuk membahas suatu isu tersebut.

Albert, yang merupakan pendiri dan penggiat komunitas Gubuak Kopi dan aktif berkegiatan di Solok, Sumatera Barat, menyebutkan bahwa tugas utama komunitas adalah memahami persoalan yang ada dan menemukan referensi sinema yang cocok untuk dijadikan umpan dalam diskusi. Komunitas harus pintar dalam menggiring perhatian publik untuk sadar akan kebudayaan sinema, tak terkecuali di daerah. Pengalaman Albert sendiri adalah membuat layar tancap di daerah-daerah dan melakukan diskusi ringan pasca menonton untuk menyalurkan pengetahuan sinema kepada masyarakat setempat. Namun, hal ini bukanlah mudah karena sebagian penonton akan enggan untuk berdiskusi. Adalah tugas besar dari komunitas sinema untuk menyadarkan bahwa filem bukanlah sekadar hiburan, tetapi juga sebagai teks yang perlu diuraikan.

Di Malang, realita kegiatan produksi filem kebanyakan dilakukan oleh pelajar untuk melengkapi tugas sekolah. Oleh karena itu, Yuli beserta komunitasnaya, Kine Klub UMM, membuat acara yang bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan apresiasi terhadap filem, salah satunya eksibisi filem. Namun, kegiatan-kegiatan seperti ini ditanggapi kurang baik oleh pihak eksternal. Sekolah-sekolah, misalnya, menentang siswanya untuk mengikuti karena dirasa tidak akan memberikan manfaat baik kepada siswa maupun sekolah. Padahal, dengan mengadakan screening dan apresiasi, ada umpan balik yang diberikan oleh penonton yang bisa membantu membangun karya di masa depan.

Forum Festival ARKIPEL social/kapital, Panel 5 kala itu, dikunjungi oleh 50 peserta yang mempunyai antusiasme dan keingintahuan tinggi. Itu ditandai dengan total 8 pertanyaan yang diajukan. Topik modal materiil untuk keberlangsungan komunitas disinggung dalam pertanyaan, dan kemudian ditanggapi oleh penanya selanjutnya dengan menanyakan bagaimana menjaga keberlangsungan komunitas itu sendiri. Dimas memberikan strategi seperti donasi, sinema berbayar, program sekolah sinema jangka pendek bertarif. Yuli menambahkan bahwa perlu mendekati birokrat dan menyisihkan uang pribadi. Sementara itu, untuk masalah keberlansungan, Albert menyatakan perlu bagi komunitas untuk melakukan penelitian dan evaluasi, dan Dimas lebih menekankan kepada inisiatif dan intensitas kegiatan yang dijalankan. Moderator kemudian menambahkan bahwa modal materiil bisa dilakukan dengan metode alternatif. Bagian terpentingnya adalah bagaimana membangun kepercayaan di tingkat lokal dan masyarkat.

Masalah regenerasi juga disinggung dalam pertanyaan, karena regenerasi juga menjadi faktor utama untuk keberlanjutan komunitas itu sendiri. Fauzi menyebutkan bahwa belum ada jawaban yang tepat untuk mengatasi masalah regenerasi. Poin menarik dari Dimas adalah komunitas mempunyai hak untuk mempertahankan status quo karena komunitas bukanlah badan resmi. Semua hal diserahkan kepada kesadaran dari komunitas itu sendiri. Forum ini kemudian ditutup dengan kesimpulan dari Hafiz bahwa yang menentukan identitas komunitas adalah kepublikannya, yang bisa dihitung secara kuantitatif dengan jumlah orang yang berpartisipasi dalam kegiatan yang ada, ataupun kualitatif dari isu-isu yang ditawarkan dan dianggap penting. Banyak cara alternatif untuk menjaga komunitas sekaligus menyebarluaskan pengetahuan mengenai sinema, seperti lokakarya, dan proyek bersama dengan pihak-pihak eksternal. Saat Forum Festival Panel 5 ini ditutup oleh moderator, tampak beberapa peserta masih ingin bertanya dan berdiskusi, namun urung karena waktu yang telah usai.

 


Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di arkipel.org dengan judul Festival Panel 5 oleh Nadia AdilinaNadia Adilina(lahir di Jakarta, 18 Maret 1996), mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Menaruh perhatian pada bidang seni visual

Di Pasar, Kita Bersinema

Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan sinema yang bertepatan di Hari Film Nasinonal. Dalam hal ini, Komunitas Gubuak Kopi, menjadikan perayaan Hari Film Nasional ini, sebagai check poin untuk mengevaluasi perkembangan sinema kita dari tahun ke tahun. Sinema di Pojok Pasar Kita, adalah perayaan pertama yang dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi. Kali ini Komunitas Gubuak Kopi merealisasikan kegiatan ini bersama Rumah Kreatif, salah satu kelompok yang juga berbasis di Solok.

Doc. Ngobrol Santai Soal Film Bersama Paul Agusta, kuliah umum Kelas Warga, masih bagian dari perayaan "Sinema di Pojok Pasar Kita di Gubuak Kopi, 24 Maret 2016. (foto: dokumentasi Komunitas Gubuak Kopi)

Doc. Ngobrol Santai Soal Film Bersama Paul Agusta, kuliah umum Kelas Warga, masih bagian dari perayaan “Sinema di Pojok Pasar Kita di Gubuak Kopi, 24 Maret 2016. (foto: dokumentasi Komunitas Gubuak Kopi)

Dalam kesempatan pertama ini, kita mengajak masyarakat para pecinta film ataupun umum, untuk membaca kembali situasi perkembangan kebudayaan sinema di Solok, secara khusus, dan Sumatera Barat, secara umum. Kita mengajak publik menyoroti keberadaan bioskop terakhir di Kota Solok, yakni Bioskop Karia yang telah dirubuhkan pada tahun 2014, dan kini telah berganti dengan bangunan toko. (baca juga: Nostalgia Layar Kejayaan, 2014) Bioskop ini dirubuhkan atas rembukan berbagai pihak, baik itu dari si pemiliki perusahaan, pegawai, investor, dan pemberi subsidi. Bioskop Karia Solok, dalam hal ini hanyalah salah satu bioskop yang kalah dalam monopoli distribusi film di Indonesia. Menarik pula, tidak ada keinginan dari pemerintah untuk mengambil alih gedung ini.

Dalam hal ini kita tidak pula ingin menyebut-nyebut bioskop yang tua ini adalah ‘barang antik’, ataupun dulu bioskop ini lah sumber pendapatan terbesar di Solok, seperti yang sering disebut orang yang menyayangkan keruntuhan bangunan itu. Berdasarkan wawancara saya bersama bapak Haji Nasionalis, seorang projectionis Bioksop Karia Solok, sempat ada usaha negosiasi dari pihak perusahaan bersama pemerintahan untuk mengambil alih gedung ini. Namun, pemerintah atau pemangku kebijakan saat itu, menilai bahwa Bioskop ini tidak lagi memiliki lagi nilai ekonomis, malah sering kali disebut sebagai tempat maksiat. Saya sendiri, menilai persitiwa ini pertanda ketidak-berpihakan pemerintah terhadap kebudayaan sinema, dan yang lebih malang lagi adalah ketidaksadarannya pemerintah untuk melihat sinema sebagai sebuah kebudayaan. Mungkin akan berbeda kalau “bioskop” lebih dikenal dengan “taman budaya” atau “taman belajar” atau “gedung kebudayaan” dst.

 

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)Sulit pula menyalahkan pemangku kebijakan begitu saja. Di sini bioskop atau kebudayaan sinema memang semata-mata hanya dipahami sebagai “industri komersil” semata. Hal ini juga dipahami serupa oleh sebagaian besar masyarakat dan pemangku kebijakan di berbagai daerah di Indonesia. Di sini pemahaman mengenai sinema sebagai sebuah “kebudayaan” hampir tidak mendapat tempat. Pendidikan sejarah dan perkembangan sinema, itu barang kali yang kita tidak dapat selama itu. Infrastruktur, barang kali ada, namun prakteknya selalu mendahulukan kepentingan komersial semata. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan tradisi rezim sebelum reformasi yang sangat lama membungkam kritik dan hal-hal yang bersifat aktivisme. Seiring dengan itu, kita sadar kebudayaan yang tidak eksotis, menjual, membangun mental kritis, hampir tidak mendapatkan tempat. Bahkan latah itu masih kita rasakan hingga sekarang.

Sengaja kita memilih Hari Film Nasional, untuk mengkampanyekan kesadaran ini: terlepas dari term film komersil atau tidak, film dan sinema juga harus kita sadari sebagai sebuah kebudayaan. Setidaknya pada kesempatan ini, kita bicarakan kembali cita-cita mulia “bapak perfilman” kita Usmar Ismail, tentang apa itu film Indonesia. Di antaranya, cita-cita mengembangkan sinema sebagai pembangunan kebudayaan dan persatuan. Kita bisa melihat kondisi saat itu, Indonesia sebagai negara baru membutuhkan yang namanya “kebudayaan bersama” yang bisa meningkatkan rasa persatuan kita. Lebih dari itu, kita sangat mengapresiasi kesadaran Usmar Ismail yang melihat dan mengkampanyekan sinema sebagai kebudayaan. Dari sini kita bisa tarik kembali secara runut apa itu sinema, film, dan perkembangannya di berbagai belahan dunia. (baca juga: Kurangnya Budaya Diskusi Film di Kota Kami, 2015)

Berangakat dari kesadaran itu, Komunitas Gubuak Kopi melalui program penayangan ‘bioskop alternatif’: Sinema Pojok, berupaya menghadirkan ruang berbagi pengetahuan sinema itu. Di sini kita menayangan sinema-sinema yang akui secara kritik maupun riset sebagai sinema-sinema penting di dunia. Selain itu kita juga berupaya mengembangkan kebudayaan sinema atau kebudayaan menonton kita dalam bentuk “layar tancap” yang memberi kita peluang untuk berakrab-akrab dan bertemu. (baca juga:Nostalgia Kultur Sinema di Batu Kubung)

Malam itu, di depan pasar semi modern Kota Solok, diseberang RTH Kota Solok, ratusan masyarakat mampir, mampir untuk menonton, sekedar beramai-ramai, mencari hiburan, dan sebagainya. Tidak lupa, selebaran dan orasi film sebagai kebudayaan selalu kita galakan.

Daftar dan pengantar film yang ditayangkan, baca disini: (Poster) Sinema di Pojok Pasar Kita

Sampai bertemu di penayangan reguler kita berikutnya, maupun di perayaan tahun mendatang.


Koleksi foto lainnya:

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daiel)

Doc. Sinema di Pojok Pasar Kita. (foto: Rony Daniel)

12439441_208671079509694_1019947303066623476_n

Sinema di Pojok Pasar Kita, Merayakan Hari Filem Nasional

12472450_208671126176356_8704009580733779629_n12495091_208671402842995_5587602572770735194_n12512402_208671212843014_5145640093917254537_n12512672_208671892842946_3307136200522977463_n12919873_208671112843024_2898393481506900537_n12923223_208671059509696_447543117575641457_n12923238_208671609509641_465643295559716328_n12928431_208671646176304_5344149188955099201_n12936733_208671096176359_4433226739973927311_n

Koleksi Foto: Roni Daniel


12885980_593193500845485_5271279836998687727_o12891149_593193507512151_447930775805996813_o12440605_593194807512021_810362862850346923_o

Koleksi foto dari Papa Dzaki

Baca juga: hariansinggalang.com: Komunitas Gubuk Kopi Adakan Nonton Bareng

SINEMA DI POJOK PASAR KITA

Selamat Hari Filem Nasional!

Dalam rangka merayakan hari filem nasional pada 30 Maret mendatang, Komunitas Gubuak Kopi bersama Rumah Kreatif Solok menggelar agenda penayangan filem di Pasar Raya Kota Solok dan di Taman Belajar Gubuak Kopi.

Rubuhnya gedung bioskop tua di sudut persimpangan pasar raya Kota Solok penghujung 2012 lalu, hingga saat ini terkenang sebagai simbol tidak adanya perhatian dan keberpihakan pemerintah sebelumnya terhadap kultur sinema di Solok. Tapi persoalannya memang tidak sesederhana itu, mudahnya akses ke ibu kota (Padang, yang nyatanya lebih maju), kegagalan perusahaan (bioskop) dalam monopoli filem, serta maraknya vcd/dvd bajakan dan hadirnya filem-filem bioskop di televisi, sering kali dianggap sebagai penyebab utama punahnya bioskop ini. Pembiaran ini (merubuhkan bioskop) salah satunya merupakan bukti tidak berkembangnya pengetahuan sinema di kota kecil yang dulu sangat ramai ini. Pemahaman di atas, barang kali menunjukan bahwa bioskop/sinema/filem semata-mata dianggap barang industri, yang kemudian oleh istilah pasar “galeh ndak laku, tapaso mangguluang lapiak” (kalau barang dagangan tidak dibeli, mau tidak mau gulung tikar).

Mimpi mengenai ruang tayang yang nyaman (bioskop) untuk para pegiat sinema lokal memang perlahan padam, tapi itu tidak berarti mustahil dan hambatan besar. Setelah beberapa kali melakukan penayangan dan diskusi filem, Komunitas Gubuak Kopi pada tahun 2015 meluncurkan progrom yang kami sebut Sinema Pojok. Sebuah ruang distribusi dan pengembangan pengetahuan sinema. Kegiatan ini berlanjut menjadi agenda penayangan filem reguler – dua minggu sekali, hingga sekarang. Menghadirkan filem-filem sejarah, fiksi, dokumenter, eksperimental, klasik, dan filem-filem yang diangap penting dalam sejarah sinema dunia. Pada perhelatan hari filem nasional kali ini Sinema Pojok akan kembali hadir di tengah masyarakat Solok dengan agenda yang sedikit unik, yang pertama adalah mengingatkan kembali siapa dan dari mana bapak perfileman nasional berasal, dan kemudian mengambarkan pemahaman sinema yang tidak cuma soal hiburan dan pasar.

Silahkan hadir!

leftlet


 

Berikut Pilihan Filem dan Jadwal Tayang:

HARIMAU TJAMPA (1953)

trailer filem Harimau Tjampa

Sutradara: D. Djajakusuma | Produser: Usmar Ismail (Perfini) | 97 Menit | Bahasa: Indonesia | Subteks: English

Sinopsis:

Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman (Bambang Hermanto) berguru silat di kampung Pau. Mula-mula ia meminta pada Datuk Langit (Rd Ismail), tetapi dimintai bayaran tiga kerbau. Akhirnya ia belajar pada seorang guru yang dilihatnya berhasil mengalahkan musuhnya dalam sebuah perkelahian. Guru ini memberi syarat agar silatnya tidak dipergunakan dengan sembarangan, dan Lukman pun berjanji. Berulang kali janji itu dilanggar, tetapi selalu dimaafkan oleh gurunya itu, hingga ia tamat memperoleh ilmu silat. Janji ini dilanggar lagi saat ia tengah berjudi. Bandar judi yang menghalangi percintaannya secara tidak sengaja tertusuk pisaunya sendiri. Lukman pun masuk ke dalam penjara. Di dalam penjara itu diperoleh kepastian bahwa pembunuhan itu atas perintah kepala negeri, yaitu Datuk Langit. Lukman meloloskan diri dari penjara untuk membuat perhitungan. Datuk Langit diringkus dan diserahlan ke polisi sebagai pembunuh, sedangkan Lukman juga menyerahkan diri buat menjalani sisa hukumannya

Tayang pada:

  • Rabu, 30 Maret 2016
  • 19.30 wib
  • Area Parkir Pasar Raya Semi Modern Kota Solok (Depan Taman Kota/sebelah pasar daging)

 

DARAH DAN DOA (1950)

trailer filem Darah dan Doa

Sutradara: Usmar Ismail | Produksi: Perfini | 128 menit |Bahasa: Indonesia | Subteks: English

Sinopsis: 

Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long March) prajurit divisi Siliwangi RI, yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula, dari Yogyakarta ke Jawa Barat setelah Yogyakarta diserang dan diduduki pasukan Kerajaan Belanda lewat Aksi Polisionil. Rombongan hijrah prajurit dan keluarga itu dipimpin Kepten Sudarto (Del Juzar). Perjalanan ini diakhiri pada tahun 1950 dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.

Film ini lebih difokuskan pada Kapten Sudarto yang dilukiskan bukan sebagai pahlawan tetapi sebagai manusia biasa. Meski sudah beristri di tempat tinggalnya, selama di Yogyakarta dan dalam perjalanannya ia terlibat cinta dengan dua gadis. Ia sering tampak seperti peragu. Pada waktu keadaan damai datang, ia malah harus menjalani penyelidikan, karena adanya laporan dari anak buahnya yang tidak menguntungkan dirinya sepanjang perjalanan

Tayang pada:

  • Kamis, 31 Maret 2016
  • 19.30 wib
  • Taman Belajar Gubuakkopi
  • Jalan Yos Sudarso, no 427, Kelurahan Kampung Jao, Kota Solok. (TK Alquran lama/Belakang Andeska motor)

 

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (2012)

trailer filem Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan

Sutradara: Hafiz Rancajale | Produksi: Forum Lenteng | 158 Menit | Bahasa: Indonesia | subteks:

Sinopsis:

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) mencoba membaca gagasan pengarsipan filem yang ada di dalam pikiran Misbach Yusa Biran sebagai seorang tokoh yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengawetkan wacana dan memaknainya kembali sebagai sumber sejarah perfileman Indonesia yang disimpannya di Sinematek Indonesia.

Tayang pada:

  • Kamis, 31 Maret 2016
  • 19.30 wib
  • Taman Belajar Gubuakkopi
  • Jalan Yos Sudarso, no 427, Kelurahan Kampung Jao, Kota Solok. (TK Alquran lama/Belakang Andeska motor)

 

Mari hadir dan ramaikan!

cover lakang

 

DOC. SINEMA POJOK 8

Demokrasi di SMU 31 Peking

Sabtu, 12 Maret 2016 lalu Komunitas Gubuak Kopi di Sinema Pojok menayangkan sebuah filem dokumenter pendek karya sutradara Joris Ivens. Ini adalah kesekian kalinya Sinema Pojok memutarkan karya-karya sutradara brilian berkebangsaan Belanda ini. Ivens dari banyak karyanya itu sering menjadikan filem sebagai alat melancarkan misi propagandanya, dan tentu dengan muatan estetika yang menarik. Di tangan Ivens, filem menjadi bahasa yang puitis dalam menyajikan realitas. Realitas yang ia rasa penting untuk diketahui publik. Malam itu di Sinema Pojok filem Ivens “The Football Incident; Highschool no 31 Peking” ditayangkan dan memberi pelajaran yang cukup menarik.

Seperti halnya Indonesia Calling, The Football Incident adalah rekaman real time yang sarat dengan konsep ideologi. Filem ini merekam apa yang terjadi setelah seorang murid SMU 31 Peking (Cina), menendangkan bola pada gurunya yang telah membunyikan Bell (tanda masuk kelas). Cameraman yang mengaskan kehadirannya menemui siswa tersebut menanyai kejadian itu. Tidak hanya Si Murid, ia juga menemui Si Guru. Keduanya saling memberi tanggapan soal kejadian itu, dan kemudian dua pembelaan itu bertemu dalam diskusi sebuah kelas.

Dalam pertemuan dengan guru, Cameraman melontarkan beberapa pertanyaan menarik, dan barang kali sangat ideologis. “apakah murid-murid ini dikenai hukuman?”, Guru tersebut menjawab “tidak,”. Guru itu pun menjelaskan, saat ini situasinya sangat berbeda, kalau dulu dalam kejadian seperti ini jangankan dihukum, murid tersebut bisa saja dikeluarkan. Namun sekarang zaman segera berubah, hal itu tidak lagi sesuai dengan apa yang dia ajarkan ketua Mao Zedong, REVOLUSI BUDAYA.

***

Pihak guru menilai tindakan yang dilakukan muridnya itu adalah kesengajaan atas kekesalan. Begitu juga beberapa murid lainnya, tapi ada juga yang membela murid penendang bola ini, dan menilai kejadian itu sebagai ketidak-sengajaan. Mereka secara terpisah, masing-masing menilai secara subjectif, di sinilah barang kali kita bisa melihat betapa besar peran Mao merevolusi Tiongkok pada masa itu.

Sejumlah literatur mencatat Mao tidak memiliki record revolusi yang sempurna. Revolusi yang disebutnya “Lompatan Jauh Kedepan” telah membuat ratusan masyarakat meninggal dunia. Tapi kita tidak akan membahas persoalan itu panjang lebar. Sumbang terbesar Mao terhadap masyarakat Cina modern, bagi saya salah satunya bisa kita lihat dalam praktik revolusi yang diabadikan Ivens kali ini. Mao percaya segala sesuatu harus dinilai secara objectif. Setiap kebenaran harus dinyatakan dengan fakta-fakta yang mendukung kebenaran, itu artinya tidak ditentukan dengan “prasangka kebenaran”. Untuk itu perlu adanya sebuah diskusi yang memberikan analisa-analisa objektif mengenai kebenaran itu.

Dalam kebudayaan masyarakat Tiongkok sebelumnya, seorang guru yang tidak menerima perlakukan tersebut dengan mudah saja mengklaim persoalan itu sebagai sebuah kesalahan, lalu menguhukum murid tersebut. Tapi bagi Mao, tindakan tersebut tak lain usaha melestarikan dogma sebagai kebenaran yang tak perlu dipertanyakan. (baca juga: Merubah Pelajaran Kita, Mao Zedong 1941) Sekalipun guru tersebut dapat menjelaskan alasan-alasan bahwa yang dilakukan murid tersebut adalah salah, ia tetap saja meniadakan kenyataan adanya penyebab lain kenapa anak ini berbuat salah. Artinya terdapat kebenaran lain yang dibiarkan menjadi misteri. Inilah yang menjadi persoalan banyak kasus di berbagai tempat, termasuk di Solok.

Saya ingin menceritakan sebuah pengalaman. Sewaktu sekolah, salah seorang guru sedang memaparkan pada kami cara kerja petani dalam mengolah padi. Di papan tulis ia menuliskan “rice milling” lalu menjelaskan “rice” itu padi, “miling” itu susu (mungkin maksudnya milk), susu itu putih, maka rice miling adalah menjadikan padi menjadi putih itu artinya menjadi beras. Seluruh murid tertawa termasuk saya. Saya sadari waktu itu saya tidak sedang “menjadi siswa yang baik” mungkin bisa dibayang situasi belajar dalam kelas yang dipimpin guru ini, isinya kurnag lebih menjabarkan isi buku kemudian analisa-analisa sekenanya, itu adalah hal yang membosankan.

Guru itu menunjuk saya dan teman sebangku saya, melempari kami dengan spidolnya. Waktu itu dari sekian banyak orang yang tertawa sepertinya memarahi saya memang memiliki potensi aman bagi guru tersebut untuk mengalihkan analisanya yang ia sendiri sebenarnya sadar itu keliru. Ia memarahi saya karena tertawa dan terus bicara dengan teman sebangku sedari tadi ia perhatikan, dan saya akui itu. Tapi pengakuan itu ternyata tidak cukup barang kali ia punya masalah lain yang semakin buruk dengan tertawaan tadi. Ia menjadi-jadi memarahi saya, menyebut hari-hari sebelumnya, kemudian merembes membaca segala kekeasannya terhadap sisa di kelas. Guru ini keluar kelas dan tidak kembali, konon ia pingsan, dan besoknya kepala sekolah memanggil orang tua saya dan teman saya ke kantor. Kepala sekolah lebih tertarik menasehati saya dihadapan orang tua ketimbang membongkar kenapa saya bersikap demikian. Di situasi sebelum Mao, barang kali saya sudah dikeluarkan dari sekolah.

***

vlcsnap-2016-03-09-11h13m55s129

dicapture dari filem “The Highschool Incident” Joris Ivens

Kembali pada cerita yang direkam Ivens. Guru dan murid-murid berkumpul dalam kelas untuk membicarakan persoalan bola yang ditendang itu. Setidaknya pada masa itu terlihat bagaimana guru dan murik memiliki hak yang sama. Setiap murid, termasuk guru, memberikan analisa dan padangannya dalam mengamati persoalan ini. Ada yang membela temannya karena itu sebuah ketidak sengajaan, namun muncul analisa lain murid tersebut sengaja menhentikan bola ketika bell berbunyi segera setelah itu ia menendangkan bola dengan keras pada guru tersebut. Beragam pendapat terucapkan, sampai akhirnya murid yang menendang bola itu menganalisa sendiri apa yang dilakukannya dan mengakui, bahwa yang terjadi adalah benar ia menendang bola ke arah guru itu dengan sengaja.

Dengan jiwa besar guru tersebut mulai memahami ketidaksabaran selama ini, seperti yang ajarkan ketua Mao. Tanpa sadar ia membuat dirinya terlihat bersikap kurang adil. Diskusi selesai tanpa ada yang mendapat hukuman dan semua saling berjabat tangan. Contoh kecil ini adalah pelajaran penting dalam revolusi yang dikampanyekan Mao.

DOC. SINEMA POJOK 6

Mengenal dan memahami pesoalan lokal dengan wawasan global

Pada nomor Sinema Pojok ke 6, Komunitas Gubuak Kopi menghadirkan dua gaya filem yang berbeda. Filem pertama adalah “Bridge Go-Round” karya seorang experimental filemmaker asal Amerika: Shirley Clarke. Filem berdurasi 4 menit ini dirilis pada tahun 1958 di Amerika. Menyajikan footages sebuah jembatan besar di New York dari berbagai sudut. Gambar-gambar tersebut saling berdempetan dan tumpang tindih membentuk sebuah realitas baru, citraan visual yang imjinatif, bersama dua versi musik yang barangkali menghasilkan sensibilitas berbeda. Karya ini juga dimuat dalam koleksi “Treasures IV: American Avant-Garde Film, 1947-1986” oleh National Film Prefeserfation Foundation bersama 25 filem lainnya yang dianggap berperan penting dalam sejarah re-defenisi sinema di Amerika.

Dari karya Clarke salah satunya kita bisa melihat bagimana bahasa filem di era 50-an mengkorelasikan citraan visual dan bunyi. Seperti sebuah tarian yang semakin kompleks dengan sajian gerak dan musik. Konon Clarke sebenarnya hanya ingin menjadi penari, namun kemudian bakat itu disajikan dalam budaya sinema. Filem ini sengaja dipertontonkan di Sinema Pojok 6 sebagai pengenalan gaya-gaya dan perkembangan sinema dunia. Terutama mengisi kekosongan wacana pengetahuan sinema dunia di Solok (baca juga: Referensi Yang Buram).

Jpeg

Filem kedua yang diputarkan adalah Home, sebuah dokumenter panjang karya Yan Arthus-Bertrand, dirilis pada tahun 2009. Sebuah filem merekam perkembangan dan perubahan global yang terjadi di dunia. Filem ini secra estetis cukup menarik, bisa dikatakan semua gambar yang ia dapat diambil dari udara. Menghasilkan gambar-gambar yang menakjubkan atau gambar yang viewnya bisa dikatakan belum pernah dilihat banyak orang secara langsung. Dan di sisi lain filem ini mengajak kita, penonton, berada pada posisi mengamati bumiyang tampak sebagai sebuah objek yang semakin hari semakin kritis ditangan manusia rakus sebagai subjek.

Secara keseluruhan, filem ini menyajikan gambaran umum bagaimana kerakusan menjadi masalah bersama umat manusia yang hidup bergantung terhadap bumi. setiap citraan visual diiringi dengan narasi oleh seorang narator tunggal. Hampir sama sebenarnya dengan gaya dokumenter televisi umumnya, cendrung menggurui, dan membuat penonton pasif. Penonton terkesan seakan mendengar ceramah ketimbang ‘membaca sebuah teks’. Tapi isu yang dinarasikannya cukup mendalam, referensinya faktual. Tapi bagi saya filem ini masih menyisakan banyak misteri, terutama dengan jarak antara kamera dan kehidupan di bumi – sebagai objek, kita tidak melihat interaksi dan pola sosial secara objektif kotekstual – yang bagi saya adalah kunci untuk memahami persoalan ini. Keintiman, situasi politik, dan kesadaran budaya lokal saya kira adalah bagian penting untuk menilai persoalan ini.Jpeg

Jpeg

Filem Home sengaja diputarkan sebagai pengantar wacana lingkungan hidup dalam prespektif global. Dalam hal ini Komunitas Gubuak Kopi memoderasi penayangan ini untuk melihat persoalan lokal dalam pemahaman yang global, bahwa menjaga dan merawat bumi adalah tugas semua penduduk bumi. Apa yang menjadi masalah bersama dan apa yang bisa kita lakukan.

_____________

 

Mengenal Bahasa Puitis Ivens

Pada Jumat, 06 November 2015, lalu Komunitas Gubuak Kopi melalui Sinema Pojok mengadirkan tayangan spesial bertajuk: bahasa filem yang puitis. Dalam rangkaian kurasi sederhana itu dipilih beberapa karya Joris Ivens pada awal karirnya – yang juga masa awal kehadiran filem. Karya tersebut diantaranya: Movement Studies in Paris (Studi Gerak di Paris) diproduksi tahun 1927, Regen (Hujan) produksi tahun 1929, dan A Valparaiso diproduksi tahun 1965. Continue reading

Penayangan Indonesia Calling dan Lahirnya Kelompok Baraja Filem

Beberapa waktu lalu, melalui program penayangan filem reguler “Sinema Pojok” Komunitas Gubuak Kopi bersama kelompok anak-anak di Aia Mati, menayangkan filem Indonesia Calling atau Indonesia Memanggil. Sebuah dokumenter karya Joris Ivens yang dirilis pada tahun 1946. Filem ini merekam penggalangan solidaritas buruh pelabuhan di Australia, membantu buruh Indonesia dalam mempertahankan negara baru Indonesia. Continue reading