Bararak Bersama Datuak Bandaro Hitam

Minggu, 1 Juni 2018, Bakureh Project kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Markas Komunitas Gubuak Kopi. FGD ini bertujuan untuk mengulas dan memperdalam materi masing-masing partisipan Bakureh Project, yakni sebuah proyek penelitian yang difasilitasi oleh Gubuak Kopi melalui program Daur Subur. Sebuah upaya membaca dan mengkaji kebudayaan masyarakat pertanian di Solok secara khusus, dan Sumatera Barat secara umum. FGD ini diselenggarakan untuk mempertajam sudut pandang mereka dalam membingkai isu. Kita juga mengundang narasumber untuk memberikan pembahasan dan materi. 

Menjelang siang, Pak Syahrial Chan, alias Datuak Bandaro Hitam, sudah berada di markas Komunitas Gubuak Kopi, memenuhi janjinya untuk memberikan tambahan materi pada FGD kita kali ini, khususnya terkait tradisi bakureh dan bararak (arak-arakan) di Solok.

Beliau dulu pernah menjadi guru SD, sempat kuliah di Akademi Seni Karawian Indonesia (ASKI) Padangpanjang, yang sekarang berganti menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Pak Chan mengawalinya dengan menjabarkan tentang proses bararak dalam acara pernikahan di dalam Nagari Kinari, Koto Baru, Solok. Beliau menerangkan bahwa, bararak dilakukan pada jalanan yang cukup besar, atau jalan utama kampung, karena bararak adalah media untuk memperkenalkan orang atau anak kemanakan telah menikah.

Pepatah minang menyebutkan “arak iriang salingka nigari” (berarak mengelilingi nagari ). Bararak dilakukan oleh kaum ibu-ibu dan bundo kanduang sembari diiringi oleh pemain musik tradisional. Ia biasanya dimulai dari rumah anak daro (mempelai perempuan) menuju ke rumah marapulai (mempelai laki-laki).

Pak Chan juga menjelaskan tentang tingkatan bararak dalam Nagari Kinari. Yang pertama bakajo, bararak ini biasanya dilakukan oleh orang yang mampu atau kaya. Orang Kinari menyebutnya Bararak Panjang. Yang kedua, Bajamba. Bararak ini biasanya hanya untuk ‘orang mampu’, masakan dalam acara baralek hanya memotong sapi; dan yang ketiga, Maantaan Kanji, alek ini hanya untuk orang biasa, masakan dalam acara ini biasanya daging kambing atau makan masakan biasa saja.

Dalam melaksanakan bararak, ada urutan yang harus dilakukan sebelum memulai berjalan. Hulu Balang  adalah salah satu orang nan ampek ( orang yang empat ), ada panghulu, malin, hulu balang dan manti. Dia orang yang akan mengatur barisan dalam acara bararak. Urutan yang paling depan adalah, Tangkuluak Tanduak, ini dari pihak laki-laki yang sama suku, urutan yang kedua anak Daro atau mempelai perempuan, belakangnya ada pengiring anak daro, biasanya wanita muda yang belum menikah, memakai sanggua sasak atau susuk sanggul. Di belakangnya andanpasumandan atau isteri paman, membawa baban atau hidangan makanan dan kue, setelah itu induak bako atau saudara dari ayah, membawa jamba gadang atau mengeruk ayam bakar di dalam nasi kuning, di belakannya induak bako  yang membawa lamang atau lemang dan barisan terakhir ada pemain musik untuk hiburan.

Ada mitos atau kepercayaan masyarakat, itu boleh dipercaya atau tidak, yaitu ketika jamba gadang dihidangkan anggota keluarga bergiliran mengambil daging ayam di dalam nasi kuning, ketika kita mendapatkan sayapnya, diyakini bahwa nantinya kita akan mendapatkan usaha atau rezeki melalui merantau, kalau kepalanya, kita akan menjadi pimpinan keluarga yang baik.

 

Pak Chan juga menyinggung tentang, pakaian bararak di Nagari Kinari: baju merah dipakai oleh kaum yang muda-muda sedangkan yang hitam dipakai oleh kaum ibu-ibu atau yang sudah tua, Pak Chan tidak menjelaskan maksud dari perbedaan warna tersebut. Beliau juga menjelaskan tentang lukuah atau kaluang (kalung adat) pada anak daro.

Liukuah ketek atau kalung kecil, maksudnya anak daro dibimbing oleh orang tuannya, ada lukuah manangah atau kalung yang sedang, maksudnya, anak daro menjaga diri sendiri atau hidup mandiri dan lukuah besar atau kalung besar, maksudnya anak daro dilindungi oleh kaum dan sukunya.

Setelah beberapa lama menjelaskan tentang bararak dalam lingkup Nagari Kinari dan menyinggung materi yang lainnya, tidak terasa waktu Zuhur terlewatkan, Pak Chan pun menyudahi pembahasan kita kali ini. Setelah cukup mendapatkan informasi yang dirasa perlu, diskusi pun kita akhiri dan dilanjutkan foto bersama.

Muhammad Riski (Solok, 1995), adalah salah satu pegiat seni di Komunitas Gubuak Kopi. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang (UNP). Selain itu ia juga aktif memproduksi karya seni mural dan stensil. Sebelumnya ia juga aktif menggarap program Minang Young Artist Project. Ia juga tengah sibuk mengelola karakter artist @sayhallo dan menjadi gitaris di band Papan Iklan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.