Bakureh hingga Adab Berpakaian

Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project

Sore itu, Senin, 4 Juni 2018, saya bersama beberapa kawan melakukan observasi pertama mengenai isu-isu bakureh yang ada di Kelurahan Kampai Tabu Karambia (KTK), Kota Solok. Observasi ini bagian dari Lokakarya Daur Subur, sebagai tahap awal dari Bakureh Project. Sebuah upaya yang digagas oleh Gubuak Kopi, sebagai penelusuran dan mengembangkan nilai-nilai gotong royong masyarakat pertanian di Solok. Sebelum observasi, menjelang siang, sekitar pukul 11.00 WIB kami diberi materi bakureh oleh narasumber bersama Buya Khairani, beliau adalah salah satu pemuka adat di Kota Solok. Sayangnya saya tidak bisa mengikutinya karena saya masih berada di kantor dan saat itu belum mendapatkan izin untuk pulang. Sekitar jam setengah satu siang barulah saya kembali ke Kantor Gubuak Kopi untuk melanjutkan ketertinggalan saya. Hal pertama yang saya cari adalah meminta rekaman materi kuliah Buya Khairani kepada Ogy, ia adalah salah seorang fasilitator dalam Lokakarya Bakureh Project, lalu memfoto hasil catatan teman sesama partisipan lokakarya.

Saya tidak mengikuti materi yang diberikan oleh Buya Khairani, saya mendengarkan materi beliau melalui rekaman suara yang direkam oleh fasilitator. Yang saya pahami dari materi tersebut bahwa bakureh itu secara harfiahber-kuras’ atau menguras tenaga, ada memakai modal materi ada juga  memakai tenaga, ini adalah bentuk dari bergotong royong yang naluriah manusia yang dibawa sejak lahir, demikian ungkap Buya Khairani. Maka lahirlah prinsip adat yang menyatakan adat hiduik di dunie tolong-manolong, adat mati janguik-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu urang miskin (adat hidup di dunia tolong menolong,  adat meninggal saling melayat, adat berkecukupan saling bertenggang rasa, adat kaya saling membantu yang kurang mampu). Menurut Buya Khairani bakureh mengeluarkan segenap tenaga untuk menolong orang karena lillahi ta’ala. Jika kita menolong orang dengan ikhlas, maka kita akan dapat balasan yang setimpal. Seperti istilah “julo-julo” atau arisan, kita akan mendapatkan giliran yang sama.

Aktivitas panen di Gurun Mutiara, Kota Solok. (Foto: Dyah/Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Setelah itu barulah kami dibagi dalam beberapa tim, di sini kami dibagi tiga kelompok untuk melakukan observasi. Saya ditemani Kiukiu salah seorang partisipan lokakarya “Bakureh Project” dan Ogy sebagai fasilitator. Kami melakukan observasi ke daerah KTK, karena kekurangan kendaraan maka kami menunggu kendaraan terlebih dahulu. Sekitar jam empat sore barulah kami mulai observasi, dalam perjalanan menuju KTK kami melihat sekumpulan masyarakat yang melakukan kegiatan manyabik padi (menyabit padi) pada salah satu sawah di Gurun Mutiara, karena penasaran melihat kegiatan mereka kami memutuskan untuk berhenti. Saya berjalan didekat sepetak sawah yang telah dipanen, di sana ada dua orang ibu-ibu yang mangipeh padi (mengipas padi), guna untuk memisahkan padi yang berisi dengan padi ampo (padi kosong), serta sampah. Lalu, kami berjalan menuju sekumpulan ibu-ibu yang sedang bercengkrama. Kami bertanya kepada salah satu ibu yang bernama Buk Des.

Menurut buk Des bakureh merupakan ajang masak bersama-sama yang juga termasuk dengan bergotong-royong. Menurut Buk Des makna bakureh di Solok, bukan mencari nafkah. Seperti halnya pergi ke sawah dilakukan secara bergotong-royong tetapi pergi ke sawah diberi upah, sementara bakureh tidak diberikan upah hanya suka rela saja. Buk Des bercerita bahwa lamanya ke sawah sekitar 4 bulan dari membajak,  bertanam, mayiang (menyiang), sampai memanen, nantinya mereka akan dibayar sekitar 1,2 juta rupiah.

Bertemu Tek Yuni di kediamannya, Kelurahan Kampai Tabu Karambia, Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Di tempat kedua kami pergi mendatangi rumah Tek Yuni, pelaku budaya lokal yang aktif memberi pelatihan tentang tradisi Ilau di KTK. Ilau adalah salah satu fenomena budaya menangisi kematian anak di perantauan, dengan beberapa adab khusus. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi kesenian lokal di KTK, dan Tek Yuni adalah salah seorang pegiatnya. Tek Yuni mengatakan bakureh merupakan ajang silaturahmi oleh para tetangga maupun para sumandan (ipar). Bakureh tak hanya pada acara baralek (pesta pernikahan) saja, juga acara mangaji (mengaji), batamek kaji (katam quran), aqiqah, batagak panghulu (penangkatan pimpinan adat). Untuk peserta bakureh sendiri tidak hanya orang Minang saja, orang Batak ataupun orang luar Minang  yang tinggal di daerah tersebut boleh ikut dalam bakureh, asalkan mereka mampu bersilaturahmi. Sebelum bakureh biasanya si pangka (keluarga inti) memanggil orang untuk ikut pergi bakureh ke acara mereka. Biasanya untuk para sumandan diberikan siriah, sedangkan tetangga hanya lewat lisan saja. Untuk pakaian mamanggia (memanggil/mengundang) tersebut memakai baju kuruang basiba dengan kain serong (sarung) didalam sama tingkuluak ketek (selendang kecil).

Baju kuruang basiba merupakan pakaian diidentikan dengan pakaian khas kaum perempuan Minangkabau, khusunya di Solok. Baju kuruang atau baju basiba inilah yang dipakai oleh bundo kanduang sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang. Biasanya baju basiba longgar, tidak membentuk lekuk tubuh, dan panjangnya hingga ke lutut. Untuk acara pernikahannya sendiri sumandan memakai baju kuruang basiba dan tingkuluak kain panjang sementara besannya memakai baju kuruang basiba dan tingkuluak silodang. Sumandan merupakan istri dari mamak (paman). Tek Yuni menjelaskan kenapa sumandan memakai tingkuluak kain panjang, adalah untuk menandakan dia sudah menjadi menantu orang.

 

Sebelumnya, pada hari kedua lokakarya kami diberi materi oleh Mak Katik, beliau adalah seorang budayawan, seniman dan tokoh adat Minangkabau yang juga dikenal karena kepiawainnya dalam bidang sastra Minang. Sebelum masuk ke tema bakureh Mak Katik memberi pengantar tentang adab membaca, bahwa ketika membaca haruslah dengan suara lantang agar dapat di dengar oleh tubuh sendiri agar dewasa nanti tidak kekurangan kata. Aturan-aturan ini menengenai sistem sosial ini pada dasarnya tidak pernah tertulis. Ia terangkum dalam sastra, yang biasa disiarkan secara lisan oleh orang-orang tua terdahulu.

Menurut Mak Katik seluruh permainan ‘anak nagari’ melatih bakureh atau mengajarkan mencari jati diri agar menjadi generasi yang mandiri. Setiap anak kecil di Minang selalu diajarkan berupaya sejak dini, keuntungan yang didapat setelah dewasa menjadikan mereka anak yang mandiri. Mak Katik juga menjelaskan bahwasanya bakureh adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu dengan cara gotong royong. Beliau juga berpendapat bahwa ada beberapa perbedaan dalam memakai kain serong (kain sarung), dalam falsafah adat Minang, jika kainnya diikat ke depan berarti masih seorang anak gadis, jika diikatkan kebelakang berarti sudah berkeluarga, sementara jika sudah menjanda kainnya dilipat dua ke depan. Saya tidak tahu pasti kenapa perbedaan itu sedemikian rupa dipertegas, dan apakah masih relevan untuk kita terapkan sekarang. Tapi menarik juga mengatahui tentang adab-adab berpakaian ini.

 

Pada lokakarya hari ketiga kami diberi materi oleh Buk Suarna, beliau adalah seorang bundo kanduang di Tembok. Buk Suarna juga berpendapat bahwa bakureh adalah kerja sama dalam suatu masyarakat. Beliau juga menjelaskan bahwa ketika mamanggia di daerah Tembok tuan rumah memakai kain-kain serong dan membawa kampia siriah/tas yang terbuat dari daun pandan untuk meletakkan daun sirih. Menurut Buk Suarna pakaian tersebut talah menjadi turun-temurun sejak dahulu. Buk Suarna mengatakan untuk pergi meminang kita membawa dua orang Bundo Kanduang dan satu orang nianiak mamak (orang yang dituakan dalam satu kaum) untuk membuat hitungan. Untuk meminang biasanya membawa nasi lamak, serta pisang. Dahulu bararak (arak-arakan) berjalan dari rumah induak bako ke rumah, sekarang anak daro diarak dari rumah induak bako menggunakan kendaraan bermotor. Ketika bakureh tiap orang membawa peralatan-peralatan seperti, pangukuran, kuali, dan sebagainya. Biasanya tiap kaum memiliki perlengkapan lengkap dan bisa dipakai ketika membutuhkan.

Pada observasi hari kedua saya tidak terlalu mendapatkan banyak informasi mengenai bakureh. Kami melanjutkan kembali observasi ke rumah Tek Yuni. Di sana Tek Yuni mengarahkan kami untuk pergi menemui Datuak Tan Ali salah seorang tokoh adat di Solok. Sebenarnya kami kurang menemukan jawaban mengenai bakureh saat mengobrol bersama beliau. Datuak Tan Ali berpendapat bahwa bakureh merupakan gotong-royong bersama masyarakat. Dahulu sebelum gotong-royong orang-orang mengumumkan dengan menggunakan canang, semacam alat musik logam, sambil berkeliling di kampung pada malam hari.

Datuak Tan Ali mengatakan pada zaman dahulu tinggi pagar rumah masyarakat Minang  hanya sebatas dada saja, agar bisa melihat kondisi tetangga terdekat begitupun sebaliknya, akan tetapi keadaan kini dengan kondisi tembok pagar rumah yang tinggi, sehingga kita sulit mengetahui kabar tetangga terdekat kita.

Dari yang diceritakan Datuak Tan Ali saya membayangan bahwa dulu mereka memukul canang yang terbuat dari logam kuningan emas, bentuknya lebih besar dari talempong dan lebih kecil dari gong. Mengapa mereka mengumumkannya pada malam hari, supaya warga di daerah sana tidak lupa bahwa besok mereka akan bergotong-royong bersama-sama. Jika ada yang tidak bisa ikut maka mereka wajib membayar denda tergantung pada kesepakatan bersama.

Observasi berikutnya, saya diajak oleh partisipan lain untuk bergabung menuju ke daerah Kinari. Sesampainya di sana kami diajak untuk berbuka bersama dalam acara aqiqahan anak nagari. Saya sangat kagum akan tradisi gotong-royong yang dimiliki oleh masyarakat Kinari saling membantu satu sama lain untuk menyelenggarakan acara tersebut, baik anak kecil, tua, ataupun muda antusias dalam kegiatan tersebut. Saya sangat terkesan oleh bapak-bapak yang menghidangkan makanan, bahkan menghidangkan makanan untuk para wanita tua. Menarik melihat ini, karena dalam keseharian sekarang kita melihat urusan masak dan hidang-menghidang selalu diajarkan sebagai tugasnya kaum perempuan.

Sebelum kami berbuka bersama di Kinari, pagi harinya, kami ikut membantu masyarakat sana memasak. Senangr rasanya mengalami peristiwa bakureh itu, yang di lingkungan saya cukup jarang ditemukan. Setelah berbuka saya mencoba bertanya kepada seorang ibu-ibu tentang tradisi bakureh. Di Kinari, bakureh disebut dengan pai mamasak-masak, sedangkan kata bakureh sendiri disebut bekerja mencari uang. Berbeda dengan yang dipahami di Kota Solok, yang secara keadaatan adalah wilayah Nagari Solok. Di sana bakureh adalah gotong royong, dan memang makana kata ini pun sudah bergeser sekarang. Saya sedikit tertarik pada perbedaan adab berpakaian di daerah ini yaitu ketika mamanggia untuk memasak, si pangka memakai baju kuruang baludru warna hitam, di daerah Kinari untuk para lelaki tiap suku pasti berbeda-beda warna bajunya, misalnya untuk suku Sipanjang pakaiannya berwarna hijau sedangkan suku Jambak berwarna merah, begitu pula suku lainnya.

Dalam observasi awal ini, banyak beberapa hal menarik untuk digali lebih lanjut. Hal ini pada dasarnya ada di sekitar kita, memang banyak yang mulai pudar, tapi banyak juga yang pernah saya rasakan. Selama ini seperti saya terlalu abai memahami hal-hal yang berkaitan dengan adab dan gotong royong ini, sehingga tidak pernah mengkritisi kepunahannya. Selama beberapa bulan ke depan, bersama Bakureh Project, saya dan kawan-kawan berusaha mendalami persoalan ini, sebagai upaya mengkritisi perkembangan zaman di kampung masing-masing. Perlu pula ditegaskan bahwa, ini tidak dalam rangka menolak perubahan dan perkembangan zaman itu sendiri, melainkan upaya untuk kritis terhadap perubahan itu sendiri.

Solok, 7 Juni 2018

Dyah Roro Puspita Asmarani (Solok, 1996), biasa disapa Roro. Lulusan Informasi Perpustakaan dan Kearsipan di UNP. Pernah aktif berkegiatan di Teater Oase, Unit Kegiatan Kesenian UNP. Pernah terlibat dalam pertunjukan pantomime “Coolartboration” UKKES UNP (2015). Dan terlibat dalam pertunjukan “Teater Di Kampung Jawa” yang diselenggarakan Gubuak Kopi (2016). Pada tahun 2018 ia juga mengikuti program Daur Subur untuk Bakureh Project di Solok. Saat ini bekerja sebagai pegawai kontrak di ATR/BPN Kota Solok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.