Nostalgia Bakureh bersama Tek Yuni

Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project

Kegiatan Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project dari tanggal 1-7 Juli 2018 yang di fasilitasi oleh Komunitas Gubuak Kopi, mengantarkan saya pada tradisi bakureh. Bakureh yang saya temukan dalam sebuah blog yang mempublikasi Kamus Minang adalah jadi kuli[1]. Lain halnya kalau kita pergi ke Solok. Pertemuan saya dengan beberapa warga di Nan Balimo, Solok, mengantarkan saya pada makna lain dari istilah bakureh.

Sekitar dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 Yuni 2018, saya dan rekan saya sesama partisipan menemui Tek Deh, seorang petani sawah yang bertempat tinggal di daerah Tembok. Bakureh menurut Tek Deh artinya bertuju pada gotong royong bersama dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Misalnya bekerja untuk memanen padi, Tek Deh dan rekan-rekannya yang lain, akan disewa oleh yang punya tanah pertanian  yang luas untuk menggarap dari awal sawah tersebut, mulai dari manyiangi  atau membersihkan rumput-rumput liar di dekat batang padi; lalu mambajak sawah, kalau dulu aktivitas ini menggunakan kerbau tetapi untuk sekarang banyak petani menggunakan mesin, barang kali dengan mesin bisa lebih cepat; selanjutnya mananam padi, dan manyabik padi (memotong padi yang siap untuk dipanen).

Nurul Haqiqi, atau biasa disapa Kiukiu saat mempresentasikan temuannya. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Dari obrolan saya dengan beliau, ternyata Tek Deh sendiri juga mempunyai sawah, dan juga menyewa orang lain utuk menggarap sawahnya. Ada hubungan timbal balik di sini. Bayaran yang diberi oleh Tek Deh kepada orang yang menggarap sebidang sawahnya ini, tentunya tidak sebesar keuntungan Tek Deh yang menggarap sawah milik orang lain, yang terbilang lebih besar. Walaupun seperti itu, jalinan kerjasama dan saling menguntungkan tetap terjaga di sini. Untuk pekerjanya juga tidak perempuan saja, biasanya laki-laki juga ikut bakureh dengan bayaran yang sama.

Setelah obrolan, dan memperhatikan ibu-ibu dan bapak-bapak yang umumnya berprofesi sebagai petani ini, saya bisa memahami cara mereka tetap menjaga kebersamaan dan adat, terlihat dari mereka tetap menjaga kata-kata sindiran atau kiasan untuk bahan candaan, dan tidak terlihat diskriminasi di sini. Saat ibu-ibu bisa membantu pekerjaan laki-laki tidak masalah, tapi seumpama ibu-ibu ini tidak bisa membantu pekerjaan laki-laki juga tidak masalah.

Setengah jam sudah saya bercerita sembari memperhatikan keadaan sekitar sini, kami mememutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Kampai Tabu Karambia masyarakat Solok biasanya menyebut kampung ini dengan istilah KTK saja (baca:ka-te-ka). Perjalanan saya menuju KTK melalui perjalanan yang sangat menyenangkan, perjalanan melewati beberapa kampung, sebelum sampai di KTK membuat imajinasi saya bebas, coretan di dinding menjadi media penyampai kreatifitas anak-anak ranah Minang, kata-kata carut marut yang dianggap tabu oleh masyarakat Minang bisa dengan mudah kita temui. Selain itu gonjong Rumah Gadang masih sering kita temui terutama di daerah Sambilan Korong, tapi suramnya Rumah Gadang ini tidak lagi dijaga dengan baik, banyak rumah yang sudah rusak parah, tidak diurus dan parahnya malah ditinggalkan. Padahal kita sudah mengetahui bahwasannya di Minangkabau kita mempunyai harato pusako (harta pusaka) yang bisa digunakan untuk memperbaiki Rumah Gadang, tetapi realitanya banyak Rumah Gadang yang terlihat tidak dijaga. Saya kira keadaan visual rumah gadang ini bisa mengantarkan kita pada cara memahami upaya kelestarian bakureh di daerah Sambilan Korong ini.

Sesampainya saya di rumah Tek Yuni daerah KTK, kami langsung disambut banyak tanaman hias di halaman rumah beliau, ada beberapa bunga yang malahan tidak pernah saya lihat lagi. Tek Yuni seorang perempuan tangguh yang sudah puluhan tahun ikut serta dalam bakureh, selain itu Tek Yuni juga aktif di bidang  bailau, ia juga sering terlibat di beberapa kegiatan di Gubuak Kopi untuk berbagi cerita tentang kesenian ilau.

Bertemu Tek Yuni, di kediamannya, di Kelurahan Kampai Tabu Karambia. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Bakureh menurut Tek Yuni adalah silaturahmi, karna di bakureh lah kita bisa lebih bisa mengenal satu sama lain, dan mempertemukan saudara jauh. Di sini saya akan membahas bakureh dalam alek baminantu (perayaan pernikahan sepasang kekasih). Proses awalnya menuju bakureh, Niniak Mamak akan pergi maminang (meminang) ke rumah perempuan, yang dimusyawarahkan antara lain, tanggal pernikahan, musyawarah pemakaian adat untuk pernikahan kalau seumpama calon anak daro (calon mempelai wanita) dan calon marapulai (calon mempelai laki-laki) dari adat yang berbeda satu sama lain, penentuan alek ketek (pesta kecil) atau alek gadang (pesta besar). Setelah dapat kesepakatan ini dan Niniak Mamak sama-sama menyampaikan hasil musyawarah ke keluarga masing-masing, barulah ibu-ibu beraksi.

Strategi bakureh yang turun menurun inipun direalisasikan, diawali dengan aktivitas mamanggia (memanggil) dari rumah ke rumah, menginformasikan bahwasanya ada pesta pernikahan dan bakureh pada hari yang ditentukan oleh si Pangka (keluarga perempuan). Biasanya waktu bakureh untuk alek ketek (pesta kecil) H-1 sebelum pernikahan, atau bisa jadi H-3 sebelum pernikahan kalau seumpama alek yang digelar adalah alek gadang (pesta besar). Perbedaanya alek ketek dengan alek gadang ini pada jumlah hari. Dalam alek gadang jumlah hari bisa sampai satu minggu, kalau alek ketek kadang hanya satu hari. Lalu perbedaan selanjutnya terletak pada tahapan  mandabiah jawi di alek gadang (memotong sapi di pesta pernikahan besar).

Prosesnya si Pangka pergi berbelanja kebutuhan lauk pauk untuk pesta ini, jadi ibu-ibu yang ikut bakureh hanya meracik bumbu dan memasak saja. Begitulah pembukaan penjelasan dari Tek Yuni, yang mengingatkan saya pada Mak Katik, seorang sastrawan Minang, dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi, ia mengatakan ada lauk pauk yang wajib untuk baralek dan mempunyai makna tersendiri, yang diungkapkan oleh Mak Katik dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi seperti, hati bagoreang maknanya dua hati pasangan kekasih dijadikan satu, bukan hanya secara lahiriah tetapi juga secara batiniah, paragede kantang maksudnya berangkat dari cara pembuatan menu ini sendiri di bagian terahir pragede kantang ini akan dibaluri dengan putih telur. Bagian terakhir pembuatan ini menandakan sepasang kekasih yang disatukan oleh cinta sudah menikah, karupuak jangek juga memberikan pemaknaan kepada pasangan ini akan raso jo pareso saling jaga menjaga satu sama lain, samba pangek ikan maknanya melihat dari visual menu ini. Menu ini dibuat dengan cara ikan yang digulai menggunakan sedikit kuah, dan kuah yang sedikit ini lah yang menjadi makna dalam kehidupan si pengantin. Kalau seumpama si pengantin ini hidup dengan keadaan yang kekurangan di harapkan akan tetap menikmatinya. Ibarat sebuah ungkapan yang berkembang di Minangkabau, “kok bansaik iduik, makan tetap lamak” (kalaupun hidup miskin, makan tetap enak), selanjutnya ada lagi samba bakuah dan goreang maco, dan  randang.

Sembari saya mengingat-ingat obrolan dengan Mak Katik ini saya berfikir Minangkabau sungguh banyak hal tersimpan yang menarik untuk digali. Saya juga tidak bisa memastikan makna-makna di atas hanyalah sebuah karangan, atau memang sangat disadari oleh masyarakatnya, saya pun baru tahu. Tapi, menarik juga sebenarnya mengkaji bagaimana makna itu disematkan di sana.

Kembali pada perbincangan dengan Tek Yuni, beliau juga menjelaskan sebelum bakureh mulai, apak-apak (bapak-bapak) akan mendirikan rumah kajang (tempat semi permanen yang dibangun untuk bakureh), dan juga mencari kayu. Nah, saat proses bakureh bapak-bapak ini tetap membantu, tapi cuman bantu mamangua karambia (memarut kelapa). Saat saya membicarakan ini dengan Tek Yuni, ia mendadak bernostalgia,

“Ha, kalaa saisuak mah bakureh ko alaik-alaik mamasak dunsanak nan manolong bakureh nan mambaok, mode piriang, kukuran, kuali, sendok, batu lado. Rami dulu tu nan bakureh, indak nampak si miskin si kayo do, data kasadonyo tapi untuak kini lah serba instan, kok lado alah ado nan bagiliang di pasa, karambia lah bisa bali santan nyo sajo”

(Ha, kalua dahulu bakureh ini alat-alat masak saudara yang menolong bakurehyang membawa, seperti piring, alat parut, kuali bisa dikatakan penggorengan, sendok, batu menggiling cabai. Ramai dulu yang bakureh, tidak terlihat si miskin dan si kaya, semuanya setara, tapi untuk sekarang serba instan, kalau cabe sudah ada yang halus di pasar, kelapa sudah bisa beli santannya saja).

Dan pada saisuak (dahulu) bakureh dilaksanakan pada malam hari, dan dari si pangka minta tolong tukang saluang (pemain saluang, alat musik tradisional), dan tukang dendang (penyanyi) untuk menghibur ibu-ibu yang bakureh ini. Tetapi untuk saat ini bakureh beralih ke siang hari, dan jarang si pangka memberikan hiburan kepada nan bakureh.

Sembari meracik bumbu dan memasak ibu-ibu ini mulai menggosip “tabaco nan indak-indak” (mengatakan yang tidak-tidak), seperti yang diceritakan oleh Tek Yuni sambil tersenyum, katanya di bakureh ini selain mengenali saudara jauh kita, juga menjadi ajang cari jodoh biasanya diawali oleh orang tua yang punya anak laki-laki membanggakan anaknya yang misalnya seorang polisi dan sekarang sedang berada di tanah Jawa, nanti ada saja yang juga menceritakan anak gadisnya misalnya seorang dokter, di sinilah terjadi kesepakatan ibu-ibu ini menceritakan dulu anaknya pernah pacaran, tapi suaminya tidak setuju, dan banyak lagi, sampai nanti ada yang berpantun-pantun spontan, bisa jadi isi pantun ini menyindir, menertawakan, tapi tidak sedikit yang benar-benar tersinggung, ambil hati omongan yang sebenarnya untuk penghibur saja, tapi permasalahan kecil ini biasanya tidak berlangsung lama.

Kegiatan bakureh ini bukan hanya masyarakat Minang saja, tapi orang yang mempunyai suku di luar Minang turut diundang untuk ikut, misalnya di satu kampuang (kampung) kebetulan ada orang Batak dan ibu-ibu yang mengundang ini juga mengunadang orang Batak ini. Dan saat bakurehnya tidak ada rasis yang dibangun, tidak ada pembeda antara orang Minang dan orang Batak ini, selagi mau tolong menolong  atau silaturahmi.

Pada awalnya fungsinya membantu orang yang baralek tetapi tidak mempunyai keuangan yang mencukupi, karena pada dahulunya taraf ekonomi masyarakat Minang menengah ke bawah, untuk kemudian bakureh terulang-ulang dan ada aturan-aturan yang tidak sengaja dibangun dan saat ini di sebut tradisi. Tapi di satu sisi lain menurut Tek Yuni kalau gotong royong untuk panen padi tidak di sebut bakureh, walaupun yang panen ini juga mengadakan masak-masak.

Di sini saya coba untuk memahami, bakureh menurut Tek Yuni ini realisasinya hanya pada upacara pernikahan dan upacara kematian, perbedaan yang sangat terlihat pada lauk-pauk yang hendak disuguhkan, kalau lauk-pauk pesta pernikahan menyatukan dua pasangan keksih, lauknya ada tujuh seperti yang saya jelaskan sebelumnya, sedangkan untuk baralek datuak lauknya juga ada tujuh tetapi bedanya rendang diganti dengan kalio. Ada juga upacara akikah anak tapi yang datang bakureh induak bako si anak membuat samba duo baleh (lauk pauknya ada dua belas) enam manis dan enam pedas. Jadi, kalau upacara kematian juga berbeda, di Minangkabau melepas kematian masih ada upacara yang di gelar, seperti upacara mangaji manigo hari (mengaji tigo hari), mangaji manujuah hari (mengaji tujuh hari), dan mangaji manyaratuih hari (mengaji seratus hari). Lauk pauk yang dibuat oleh ibu-ibu bakureh hanya ada emapat macam yakninya kalio dagiang, toco (gulai yang dicampur dengan buncis), godok-godok (cemilan, biasanya berbentuk bulat tidak beraturan, tepung yang dicampur dengan pisang atau ubi dan digoreng), sarang bareh (juga bentuk bulat tidak beraturan terbuat dari tepung beras dan rasanya manis).

Obrolanpun tetap berlanjut pada mitos-mitos seperti “jan dikaruak-karuak samba, beko tibo inyiak” (lauk tidak boleh dikacau-kacau, nanti datang harimau) Tek Yuni lebih memaknai kepada kalau seumpama lauk pauk yang sudah masak terlalu sering diaduk, terlebih yang terbuat dari santan akan cepat basi. Tapi perumpamaan ini masih tetap dipakai fungsinya sampai saat ini, lebih untuk mengingatkan, contoh lain seperti “nasi badarai, tando anak daro indak perawan” (nasi yang belum terlalu masak, menandakan pengantin perempuan sudah tidak perawan) sebenarnya ini lebih mengingatkan kepada yang memasak nasi, untuk kedepannya lebih berhati-hati lagi, bisa jadi nasi ini saat dimasak kekurangan air. Dalam hati saya secara tidak langsung menyetujui yang dikatakan Tek Yuni ini, dan mungkin akan saya lanjutkan lebih dalam nantinya. Tetapi tidak sedikit masyarakat yang percaya akan hal-hal mitos ini.

Senja pun makin memperlihatkan cahayanya, Tek Yuni masih bercerita. Pembahasan sampai ke penyesalan yang terjadi pada saat ini, pergeseran makna bakureh menurut saya telah terjadi. Tek Yuni menyayangkan saat ini orang yang diundang untuk  bakureh menjadi peluang untuk mencari uang walaupun hanya beberapa orang saja, dan saat ini orang-orang bakureh yang tidak dibayar hanya bakureh sampai jam makan siang, sedangkan yang dibayar sampai pesta pernikahan selesai, kalau dulu bayarannya memakai beberapa potong daging rendang. Dan yang mengikuti bakureh kebanyakan dari ibu-ibu yang sudah menikah, ada juga anak gadis yang ikut tapi cuman beberapa.

Cerita dari Tek Yuni sebenarnya juga hampir sama  ketika saya bertemu dengan Bundo Kanduang Tembok (3/6) tetapi Bundo Kanduang lebih banyak menjelaskan kepada posisi ibu-ibu bakureh ini. Di dalam bakureh tetangga yang ikut hanya sampai pukul sebelas saja, untuk sampai sore yang bakureh itu adalah si pangka. Di saat bakureh ini juga ada semacam negosiasi yang terjalin. Contohnya seperti ketika ada satu ibu-ibu tidak bisa ikut acara pesta pengantin hanya bisa ikut bakureh saja, biasanya si ibu sudah membawa beras dan amplop yang isinya uang. Dengan begitu ketidak hadir si ibu ini di saat pesta pernikahan tidak menjadi bahan gosip bagi ibu-ibu yang hadir.

Kata beliau terkadang saat bakureh ada saja yang menjadi bahan gosip terutama bagi yang sering tidak memenuhi undangan bakureh, dan ini bisa berimbas ke keadaan lingkungan sosialnya. Bisa saja ibu ini dikucilkan, yang kemudian menurut saya akan memancing konflik sosial.

Bagi Bundo Kanduang, bakureh adalah kebersamaan dalam nilai-nilai adat sedangkan  Mak Katik mengatakan bakureh adalah menguras tenaga baik tenaga secara fikiran atau tenaga secara fisik dengan cara gotong royong, tradisi bakureh berawal dari rasa saling memberikan keselamatan, adakala dilaksanankan di saat duka dan suka.

Lebih jauh lagi, Mak Katik menjelaskan fungsi dari bakureh ini antara lain melatih kebersamaan, saling memberikan informasi, transfer nilai-nilai lokal, dan mengetahui seluk beluk kekerabatan.  Di era yang serba modern ini membuat beberapa hal aturan-aturan tradisi bakureh yang alami terbentuk ini bergeser. Saya fikir pergeseran aturan-aturan tersebut di sebabkan karna adanya peluang bisnis, dan faktor ekonomi, perumpamaannya seperti ini: saya ingat waktu kecil satu plastik ukuran ¼ nasi goreng masih saya dapatkan dengan harga Rp.250 saja, kalau sekarang harga nasi goreng yang saya temui paling murah Rp. 2.000. Berangkat dari hal kecil ini menurut saya yang untuk kemudian membuat pergeseran aturan-aturan dalam bakureh terjadi.

Untuk penutupan hari ini saya bertanya kepada Tek Yuni hal apa yang paling terasa ketika pergesaran aturan-aturan bakureh ini, Tek Yuni menjawabnya sambil memandang lurus ke depan sambil berkata silaturahmi tidak sehangat dahulu lagi, ditambah dengan kehadiran ketring (catering) juga lebih memperlihatkan kasta di tengah masyarakat, walaupun ibu-ibu ini tetap bakureh, tapi tentu tidak seperti dulu lagi, tidak ada lagi tetangga-tetangga yang membawa batu lado sendiri, pangukua karambia sendiri, kuali sendiri, dan sebagainya.

Kurang lebih setengah jam sudah saya berkunjung ke rumah Tek Yuni, obrolan tetap berlanjut seputar kegiatan sehari-hari Tek Yuni, ya, seperti itulah yang sering saya alami, kalau sudah ngumpul baik itu yang tua dengan yang muda, tetap terjalin komunikasi seputar permasalah kehidupan masing-masing. Dan saya rasa begitulah secara alamiah obrolan saat bakureh terjalin.

Keadaan waktu memaksa saya dan kawan mohon izin untuk bergerak kembali ke markas Gubuak Kopi, di tengah perjalanan saya masih memperhatikan keadaan sekitar membuat saya bersyukur hidup di sini dengan garis matrilineal di era milenial ini. Sawah Solok yang terhampar luas dengan burung bangau yang membuat koreo secara alami, lagi-lagi saya hanya mengibaratkan mungkin seperti ini bakureh, aturan-aturan yang secara alami tercipta sendirinya.

Perjalanan pulang saya ini, secara tidak langsung mempertemukan saya dengan seorang siswa dan temannya di salah satu SMA di Kota Solok ini, saya hanya bertanya ringan, apa mengetahui tentang tradisi bakureh, mereka jawab, tahu. Tapi pemaknaan yang dijelaskan kepada saya bakureh bukan untuk masak-masak saja tapi juga untuk bekerja mencari uang.

Datuak Tan Ali di Kediamannya. (Foto: Kiukiu/Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Hari kedua membuat saya kembali ke Tek Yuni yang kemudia juga mengantarkan pertemuan saya dengan Datuak Tan Ali. Menurut Datuak Tan Ali bakureh adalah gontong royong, tidak hanya di saat masak-memasak di saat upacara suka atau duka saja. Tetapi gotong royong membersihkan jalan juga disebut bakureh, karena pada dahulunya masyarakat Minangkabau mempunyai rasa sosial yang tinggi, salah satu contoh visualnya  pagar rumah masyarakat di sini hanya sebatas dada saja.

“Nan namonyo bakureh ko gontong royong, baiak itu padusi atau nan laki-laki”, (yang disebut bakureh ini adalah gotong royong, baik dia perempuan, ataupun laki-laki), ucap Datuak Tan Ali.

Pertemuan demi pertemuan dengan pemangku adat atau dengan pelaksana bakureh itu sendiri membuat saya paham bahwa banyak sekali makna atau arti dari kata bakureh ini, tetapi ada satu hal yang bisa saya ambil poinnya, bakureh adalah jalinan mesra masyarakat Minangkabau, bakureh juga salah satu tradisi yang bisa menjaga kelestarian gontong rotong, rasa tanggung jawab dan rasa bermusyawarah. Karena pada dasarnya kita di sini terbiasa dengan turun temurun melalui lisan, yang membuat anak cucu nya semakin kritis menghadapi era milenial ini.

Bakureh ini bisa dikatakan sudah ada sebelum agama Islam masuk, masyarakat Minangkabau tentunya dahulu masih sangat percaya dengan tahayul-tahayul saya kira berkaitan dengan perjalanan saya pada hari ketiga, saya bertemu dengan  Mintuo Gabak dan Buk Deh yang juga berpuluh tahun ikut bakureh, beliau pernah mengalami hal yang tidak biasa beras yang ditanak tidak masak, lauk pauk yang baru disalin ke wadah beberapa jam kemudian dikerubungi ulat, sampai anak daro (mempelai perempuan) mengalami pingsan selama tiga jam, untuk kemudian Mintuo Gabak dan Buk Deh memanggil dukun untuk manawa (menetralkan) rumah, lauk pauk, dan anak daro ini. Sesudah dukun ini manawa barulah semua kendala yang dirasakan kembali pulih.

Menurut Mintuo Gabak dan Buk Deh kejadian ini kemungkinan karena ada orang yang tidak menyukai alek (pesta) ini. Di beberapa tempat sampai saat ini hal-hal seperti tidak bisa dipungkiri  memang terlihat nyata. Walaupun ada tahayul seperti ini dibangun oleh masyarakat Minang pada dahulunya untuk kebutuhan menjaga.

Kelas bersama Hendra Nasution, dalam rangkaian Bakureh Project. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Saya teringat kehadiran Pak Hendra Nasution, salah seorang dosen ISI Padangpanjang, saat mengisi sebuah kelas di Gubuak Kopi. Salah satu karya tarinya mengangkat tentang tradisi bakureh ini. Tari ini kemudian menjadi media penyampai untuk informasi bakureh dan media untuk tetap menjaga kelestariannya. Pertunjukan tari tentang tradisi bakureh ini sudah dipentaskan di  beberapa negara tetangga, baik nasional maupun internasional. Di beberapa tempat ia sudah mengadakan worksop tentang bakureh ini. Pertunjukan berbasis riset ini tentunya sudah mulai dilirik oleh masyarakat yang berkesempatan hadir melihat langsung pertunjukan ini. Dan riset yang dilakukan oleh pak Hendra ini yaitu di Koto Baru salah satu nama daerah di Solok.

Hal yang sangat inti yang disampaikan dalam karya ini adalah spirit dalam bakureh ini, dan menurutnya bakureh ini sendiri adalah masak bersama yang dilakukan oleh masyarakat Solok, yang di dalamnya ada kerjasama. Selain itu, hal yang didapatkan oleh Pak Hendra ini sedikit berbeda dari observasi saya dan salah seorang partisipan, perbedaannya terletak pada lauk pauk untuk baralek ini.

“Kalau pada dahulunya lauk pauk untuk baralek hanya ada tiga macam yaitu rendang, sambal merah, dan sambal kuning, “ucapnya. Yang kemudian kami pahami dari visual warna sambal yang dijelaskan pak Hendra ini sama halnya dengan warna marawa, sejenis warna dan bendera di Minangkabau, yakni merah, kuning, dan hitam.

Banyak hal yang bisa kita gunakan untuk media penyampaian tentang bakureh ini, selain mengeksplorasi ke dalam karya seni, kita juga bisa menggungakan media sosial. Di era milenial ini tentu kita sudah tidak kabur lagi dengan penggunaan internet, banyak aplikasi yang bisa kita unduh untuk tempat kita bisa menuangkan sesuatu, bisa secara visual ataupun audio visual.

Mataharipun kembali bersetubuh dengan kegelapan, bulan tanpa malu berbisik pada bintang untuk menemani perjalanan manusia di bumi ini. Tentu matahari dan bulan menjadi saksi menemani pergeseran-pergeseran peradapan dunia ini. Dan sampai saat ini mereka masih setia menyaksikannya.

Solok, 7 Juni 2018


[1]Blog sarasah http://sarasah-nan.blogspot.com/2012/02/kamus-minang.html?m=1

Nurul Haqiqi (Jakarta, 1994), biasa di panggil Kiukiu dan Tubafalopi. Lulusan Program Studi Teater ISBI Aceh. Juga aktif di beberapa organisasi kampus dan komunitas seni di Sumatera Barat. Ia adalah salah seorang partisipan Bakureh Project yang digagas oleh Gubuak Kopi (2018). Pada tahun 2019 ia menerbitkan buku puisi pertamananya berjudul Aku Malu Jadi Manusia bersama Rua Aksara. Tahun 2019, ia dan kawan mendirikan kelompok belajar Sekolah Gender di Padang. Bersama kelompok ini, ia aktif mengembangkan kesadaran tentang kesetaraan gender di lingkup Sumatera Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.