Bakureh Dimulai dari Mamanggia

Pada hari keempat Lokakarya Bakureh Project yang digelar oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tangggal 1 Juni 2018 lalu, cuacanya terasa lebih panas dari yang biasanya. Kegiatan Lokakarya ini berlangsung selama tujuh hari, tiga hari pertama kami beraktifitas di dalam kelas dengan berbagai materi. Sedangkan hari keempat hingga hari keenam kami akan mengumpulkan data-data di lapangan.

Zekalver sebagai fasilitator kami memilih lokasi sekitar Tembok, Kelurahan Nan Balimo, Kecamatan Tanjung Harapan yang tak jauh dari sekretariat Gubuak Kopi. Narasumber pertama kami ialah Ibu yang menjual gorengan. Ibu tersebut sedang meramu “Godok Ketan” yang terbuat dari beras ketan yang sudah dimasak kemudian dibentuk menjadi bulat dan diisi dengan parutan kelapa. Setelah itu, godok dilumuri tepung yang telah dicampur dengan air dan bumbu lalu digoreng. Menurut Ibu tersebut, hanya dia satu-satunya orang yang bisa memasak “Godok Ketan”.

Lai ado pulo nan mambuek sarupo godok ko di Solok tu ha. Tapi yo ndak ado nan salamak godok iko doh,” (ada juga yang membuat godok di solok, tapi tidak ada yang seenak bikinan saya) jelas Ibu tersebut sambil meniriskan godok-godok yang berwarna hitam dibalut warna keemasan itu.

Ketika saya menyinggung perihal bakureh kepada si Ibu, beliau menjawab,”Iko lah bakureh mah diak,” (Ini juga dapat disebut bakureh, dek) jawabnya. Saya menangkap bahwa bakureh yang dimaksud ialah bekerja. Secara harfiah bakureh dapat diartikan sebagai bekerja atau berkuli, namun saya pernah mendengar bahwa bakureh di Solok dipahami sebagai kegiatan gotong royong masak-memasak dalam sebuah perhelatan. Defenisi tersebut didukung oleh Pak Kalek yang saya temui di hari kelima, beliau merupakan salah satu ninik mamak yang ada di Suku Caniago di Banda Panduang, Kelurahan Tanah Garam. Beliau menjelaskan bakureh merupakan sebuah tradisi memasak bersama yang dilakukan oleh kaum Ibu-Ibu dalam acara baralek.

Kemudian saya melanjutkan perbincangan dengan Ibu penjual gorengan itu tentang tradisi bakureh dalam baralek. Beliau menjelaskan, dikampungnya di Kampuang Payo, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok, tradisi itu masih ada. Ketika seseorang akan baralek maka ia akan mamanggia (mengundang) tetangga dan warga kampung (yang perempuan) untuk bersama-sama membantu memasak di rumahnya. Kemudian, sehari sebelum hari alek orang yang diundang akan hadir membawa beras, piring, pisau, dan perkakas dapur lainnya. Penjelasan ini sejurus dengan materi yang disampaikan dua hari yang lalu oleh Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto atau yang lebih akrab dipanggil Mak Katik, Sabtu 2 Juni 2018. Beliau menjelaskan bahwa pada masa saisuak (masa lampau), ketika diselenggarakannya baralek, kaum ibu akan membawa perkakas dapur dan bahan-bahan memasak lainnya ke rumah yang melakukan perhelatan. Demikian pula dengan yang disampaikan oleh Ibu Suwarna selaku Bundo Kanduang di Tembok, pada sebuah kelas di Gubuak Kopi.

Kalau dahulu iyo mambaok piriang, kuali, kukuran gai pai bakureh manolong masak-mamasak tu. Kini kan indak.” (Kalau dahulu membawa piring, kuali, alat memarut kelapa untuk pergi menolong masak-memasak. Sekarang sudah tidak lagi) jelas Bundo. Asumsi yang terbangun oleh saya pribadi ketika mendengar penjelasan Ibu yang menggoreng godok itu dan teringat penjelasan-penjelasan Bundo Suwarna serta Mak Katik, bahwasanya potret bakureh zaman lampau masih ada dan dapat kita temukan di zaman milenial sekarang, seperti di Kampuang Payo.

 

Gapura memasuki kawasan usaha tani terpadu di Kampung Payo, Tanah Garam, Kota Solok. (Foto: Sefni/Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Ibu itu sudah menekuni pekerjaannya kurang lebih dua tahun. Sekali waktu, Ibu tersebut berbicara dengan rekan sesama menggoreng di dapur kecil yang kira-kira berukuran 2×3 meter. Ada yang menarik perhatian saya ketika mereka berbicara. Kata-kata yang mereka lontarkan tak satupun yang saya kenal, saya pahami, dan yang saya mengerti. Asumsi saya bahasa yang mereka gunakan mungkin bahasa asli Payo. Kampuang ini menjadi semakin menarik menurut saya, selain tradisi masa lampau yang masih terjaga, tetapi masyarakatnya juga menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh penduduk lokal Kampuang Payo. Walaupun demikian, cara mamanggia menyita perhatian saya.

Kemudian kami bergerak mencari narasumber atau informan berikutnya. Tak jauh dari kedai gorengan, saya dan kawan-kawan memilih berhenti di kedai pabukoan (istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal, merujuk makanan dan minuman untuk berbuka puasa). Makanan dan minuman yang dijajakan sangat menggugah selera. Beberapa di antaranya ada yang masih asing bagi saya. Seperti halnya bubua cande[1]. Penjualnya bernama Ante Yet, begitulah sapaan akrabnya.

Ante Yet tidak hanya menjual pabukoan seperti bubua cande, tapi juga kolak pisang, kolak ubi, kolak dalimo, lopis dan bakwan. Ia juga menjajakan samba (lauk-pauk), ayam goreng balado, samba lado tanak seperti kalio jariang dicampur dengan teri kecil dan kentang kecil, dan samba lado atau sambal cabe yang dicampur dengan petai serta telur puyuh.

Ante Yet menjelaskan bahwa bakureh merupakan tradisi masak-memasak saat baralek. Dia menambahkan sembari melayani pembeli. “Biasonyo nan dimasak pas baralek tu yo samba nan biaso, tapi kini ko lah samba buruak-buruak ko se lai nan di masak, itu nan katuju dek urang-urang kini, kayak toco tu lah jarang dimasak lai nyo,”(Biasanya yang dimasak ketika kenduri itu ialah samba yang biasa tapi sekarang sudah samba yang disukai oleh masyarakat saja yang dimasak) jelasnya.

Di hari kelima ternyata tak kalah panasnya dari kemaren. Tujuan observasi kami kali ini ialah Kampuang Payo yang berada nun jauh di atas bukit. Sebelum berangkat Olva menyarankan agar terlebih dahulu mampir ke rumahnya, dan siapa tahu nanti mamanya bisa membantu kita untuk menentukan orang yang akan kita temukan di Payo. Kami mengamini dan langsung berangkat menuju rumah Olva. Menjelang petang kami sampai di rumah Olva. Kami mendapati tiga orang ibu-ibu sedang bersantai diteras rumah. Setelah kami berkenalan, saya memulai obrolan dengan menu makanan ketika beralek.

Ibu Yet, ia adalah ibu dari rekan saya sesama partisipan Bakureh Project, Olva. Ia menjelaskan “Kalau toco kini lah hampia ndak ado dibuek urang lai pas baralek. Kini kalau baralek tu nan dibuek katiko bakureh, randang, kalio, sampadeh, pergedel, pangek kuniang, gulai cubadak.” (Sekarang kalau kenduri itu yang dimasak ketika bakureh ialah randang, kalio, sampadeh, pergedel, pangek kuniang dan gulai cubadak). Penjelasan terkait samba yang wajib ada ketika baralek tersebut, hampir sama dengan penjelasan Mak Katik tentang panghulu samba yaitu, randang, kalio, pangek, goreng maco, pergedel kentang, karupuak jangek dan samba kuah. Kemarin, Ante Yet juga menyinggung hal tersebut bahwa sekarang sudah ada banyak tambahan menu seperti soto. Dahulu soto tidak ada, namun karena perubahan zaman, sekarang kita akan menemukan soto di beberapa tempat baralek.

Di depan  teras kira-kira berjarak 2 meter terdapat kolam ikan lele, sesekali ikan lele tersebut riuh seolah-olah mendengarkan hasil percakapan kami. Zekalver, seorang penggiat di Gubuak Kopi lebih akrab dipanggil Skal dikesehariannya. Ia juga menambahkan bahwa ia pernah pergi baralek dan menemukan sate sebagai hidangan yang disuguhkan oleh yang punya hajat. Untuk tambahan menu makanan ketika baralek di sekitar tempat tinggal Ibu Yet di Banda Panduang, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah seperti, mi goreng, samba lado tanak, samba lado mudo dan abuih buncih.

Di era milenial yang serba instan ini juga tidak dapat dipungkiri ikut memberi pengaruh terhadap kebiasan dan tradisi bakureh di tengah-tengah masyarakat Solok. Ante Yet misalnya menceritakan bahwa,”Di satiok alek kini lah pakai catering, tapi lai ado juo nan mamakai bakureh, ado juo nan manggabuang nyo, kadang ndak cukuik kalo dek catering tu doh,” (Di setiap kenduri sekarang sudah pakai catering tetapi ada juga yang memakai bakureh dan ada pula yang menggabungkannya, terkadang jasa catering tidak mampu melayani semua tamu undangan yang datang) jelasnya.

Berbincang dengan Ante Yet saat menjajakan ‘pabukoannya’, di Tembok Raya, Kota Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Berbincang dengan Ante Yet saat menjajakan ‘pabukoannya’, di Tembok Raya, Kota Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Ante Yet saat menjajakan ‘pabukoannya’, di Tembok Raya, Kota Solok. (Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018)

Lain lagi dengan penjelasan Ibu Yet, beliau berkata catering hanya untuk orang-orang kaya saja, sedangkan kaum menengah masih menggunakan tradisi bakureh dalam baralek. Ibu Yet juga menambahkan, biasanya yang pakai catering itu orang-orang PNS karena dia sibuk dan jarang ikut bakureh. Hal serupa dipertegas lagi oleh Bapak Kalek Bandaro Malin,

Alek ko ado duo, alek adaik jo alek biaso. Alek adaik ko pakai niniak mamak badatuak-datuak, sedangkan alek biaso yo pakai niniak mamak juo tapi ndak ado aleknyo doh.” (Kenduri itu ada dua, ada kenduri adat ada kenduri biasa. Kenduri adat itu menyediakan ruang untuk ninik mamak badatuak-badatuak, sedangkan kenduri biasa kadang juga pakai ninik mamak tapi tidak ada kenduri adatnya) terang Bapak Kalek Bandaro Malin.

Perubahan-perubahan tersebut adalah bentuk pertarungan kebiasan dan tradisi melawan arus perubahan zaman dan teknologi yang sangat cepat. Tidak hanya pada acara baralek atau perhelatan bahagia saja, bakureh juga dilakukan oleh kaum ibu di kampuang Banda Panduang ketika kemalangan. Di Banda Panduang terdapat dua peringatan untuk sesorang yang sudah meninggal; pertama, manujuah hari (peringatan di hari ketujuh setelah almarhum meninggal). Kedua, manyaratuih hari (peringatan 100 hari setelah almarhum meninggal). Pada kedua perayaan tersebut jenis makanan dan tata caranya tidaklah sama. Umumnya menu masakan terbagi atas dua yaitu samba dan cemilan. Untuk manujuah hari, kaum ibu akan bakureh dengan membawa kompor, penggorengan, kuali, sendok besi dan sebagainya (sesuai kebutuhan). Biasanya hanya tetangga terdekat saja, seperti ungkapan Minangkabau, “…Kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan,” maksudnya adapun kabar baik (bahagia) dikabarkan dan diinformasikan kepada seluruh masyarakat dan mengundangnya untuk hadir dalam perhelatan tersebut. Sedangkan kabar buruk (seperti kematian dsb) tidak dikabarkan secara luas hanya dari mulut ke mulut saja, dan masyarakat tidak diundang, hanya spontanitas dari masyarakat saja untuk takziah dan melayat ke rumah duka. Selain membawa perkakas memasak, juga ada kaum ibu yang membawa beras dan telur. Untuk samba yaitu, toco, gulai cubadak, kalio dan pergedel. Sedangkan untuk cemilan yaitu, serabi, nasilamak dan goreng pisang batu.

Sedangkan untuk peringatan manyaratuih hari, kaum ibu tidak membawa perkakas namun membawa bareh dan pitih (uang). Sedangkan sumandan membawa gantuang-gantuang yang berisi nasilamak, pisang goreng dan kue-kue. Untuk samba masih sama. Adapun yang berbeda ialah cemilannya yaitu, lamang dan pinyaram.

Sembari itu, di tempat terpisah Pak Kalek Bandaro Malin dan Pak Ilyas Pandeka Rajo sedang bercengkrama di kedai Pak Ngah. Kami menghampiri beliau dan memperkenalkan diri. Pak Kalek menjelaskan bakureh merupakan sebuah tradisi memasak bersama yang dilakukan oleh kaum Ibu-Ibu. Perbincangan kami kemudian mengarah pada aktifitas mamanggia (mengundang) pada perhelatan alek gadang. Pak Kalek begitu sapaan akrab beliau, menjelaskan, ”Kalau mamanggia disiko, nan padusi bajalan kaki manuruik rumah mamak nyo, nan kilaki manuruik ka rumah niniak mamak jo kendaraan bisa jo oto atau jo onda,” (Jika mamanggia disini, perempuan akan berjalan kaki menuju rumah mamaknya, yang laki-laki menuju rumah mamaknya dengan kendaraan roda empat atau motor) ungkap Pak Kalek.

Pernyataan Pak Kalek menjadi titik terang atas pencarian saya. Beliau menambahkan, “Tu diagiah pitih pambali minum untuak urang nan pai mamanggia ko, ado nan 250 ribu baduo, ado juo 300 ribu baduo, nan kini antah baralah”,(Itu diberikan uang untuk membeli minuman kepada orang yang pergi mamanggia, ada yang 250 ribu untuk berdua, ada juga 300 ribu untuk berdua, tapi sekarang entahlah), lanjutnya. Otak saya dipenuhi tanda tanya, perihal cara mamanggia yang dilakukan oleh perempuan dengan berjalan kaki sedangkan laki-laki menggunakan kendaraan. Pertanyaan tersebut sempat saya utarakan kepada Pak Kalek, namun beliau berucap,

”Yo lah sajak ninik mamak nan tadahulu lah mode itu juo,” (Ya sejak zaman nenek moyang kita sudah begitu aturannya)

Di hari keenam yang merupakan hari terkahir kami untuk observasi di lapangan, kami memutuskan berbincang dengan Bundo Kanduang Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Tanjung Harapan, beliau kerap disapa dengan Bundo Wi oleh warga sekitar. Kami memutuskan untuk tidak ke Kampuang Payo. Saya ingin menuntaskan pembahasan mengenai tata cara mamanggia dalam baralek. Sedangkan rekan saya Olfa akan mengupas bakureh pada kemalangan. Sesampainya kami di rumah beliau waktu menunjukkan pukul 15.30 Wib, ketika beliau sedang duduk santai di teras bersama cucunya.

Beliau menjabarkan perihal alek yang ia ketahui. “Alek di solok tabagi duo, alek biaso jo alek gadang. Alek gadang ko ado alek baminantu salamo 7 hari jo alek malakek an gala. Kok alek biaso yo alek baminantu nan 3 hari atau sahari salasai.” (Alek di solok terbagi dua, alek biasa dan alek gadang. Alek gadang terdiri dari kenduri baminantu selama 7 hari dan kenduri malakek an gala).

Tiga hari observasi di lapangan, saya menemukan beragam informasi yang sangat luas, informasi tentang bagaimana alek dan jenis hidangan yang disuguhkan serta tata cara dalam pelaksanaannya memperkaya pengetahuan saya dan juga pembaca tentunya. Rasa penasaran saya berlabuh kepada Bundo Wi, bundo menjelaskan bahwa untuk baralek gadang tata cara mamanggia memang berbeda dengan alek yang biasa. Bundo Wi memulainya dari pakaian orang yang pergi mamanggia,

Baju nan padusi baju kuruang basiba warna hitam, tingkuluak hitam, sendal dengan tumit 3 cm, mambaok payuang hitam nan diguluang kain,” (Baju perempuan ialah baju kurung basiba warna hitam, penutup kepala warna hitam, sendal dengan tinggi 3 cm, membawa payung hitam yang dibalut dengan kain) jelasnya.

Hal ini memperlihatkan keanggunan dari yang mamanggia, selain itu juga payung dapat digunakan untuk berteduh ketika panas yang begitu terik atau hujan.

Nan padusi tu yo bajalan ka rumah mamak, untuak mangecek an bini mamak. Tapi yo diagak kama se nyo ka mamanggia dan itu pun indak banyak dan harus salasai sahari tu juo, samisal duo atau tigo rumah sajo per urang,” (Perempuan itu berjalan ke rumah mamak untuk menyampaikan keoada istri mamak. Tetapi diatur kemana saja mamanggia dan itu pun tidak banyak dan harus selesai hari itu juga, semisal dua atau tiga rumah saja per orang) tambahnya.

Orang yang bertugas mamanggia tersebut membawa kampie dan siriah. Biasanya yang mendapat tugas mamanggia ialah Sumandan atau Induak Bako dari orang yang memiliki hajat.

Sakali jalan tu ado banyak nan ka mamanggia tapi pai nyo baduo-duo. Ado agak 20-30 urang nan mamanggia hari tu.” (Sekali jalan itu ada banyak yang ikut mamanggia tetapi perginya berdua-dua. Kira-kira ada 20-30 orang yang ikut mamanggia) jelas Bundo Wi.

Sedangkan laki-laki,”Kok baju nan kilaki tu mamakai baju taluak bulango jo deta, nan pai tu mamak jo anak pisang manuruik ka rumah niniak mamak mambaok rokok buliah jo onda atau oto,” (Baju nan laki-laki itu memakai baju taluak bulango dengan deta, yang pergi ialah mamak dan anak pisang menuju ke rumah ninik mamak membawa rokok, boleh pergi dengan motor atau mobil) sambung Bundo Wi.

Perihal uang yang diberikan kepada masing-masing orang yang pergi mamanggia itu tergantung kemampuan yang punya hajat dan tidak ada aturan yang mengikat. Nah, untuk mamanggia khalayak umum seperti dunsanak sasuku, tetangga dan sebagainya dilakukan oleh Si Pangka. Pakaian yang digunakan boleh apa saja, yang penting sopan.

Baju kuruang jo jilbab untuak nan padusi, nan kilaki mamakai baju koko.” (Baju kurung dan jilbab untuk yang perempuan dan baju koko untuk yang laki-laki).

Jadi untuk mamanggia ninik mamak dan tokoh adat haruslah dengan pakaian adat dan aturan adat pula, sedangkan untuk khalayak umum dilaksanakan biasa saja. Bundo Wi melanjutkan, bahwa ketika memakai baju adat itu sangat sakral sehingga perilaku dan sikap juga harus dijaga. Terlebih ketika memanggia menemui ninik mamak harus memakai baju adat yang lengkap. Bundo Wi juga menceritakan keresahannya akan anak-kemenakan  yang sudah mulai meninggalkan tradisi, beliau prihatin dengan baralek pada zaman sekarang yang pelaminan diletakkan diluar rumah, itu bukanlah tradisi orang Solok. Pelaminan itu ada di dalam rumah dan disediadakan ruang untuk ninik mamak untuk badatuak-datuak (sejenis pidato adat). Tidak hanya itu ketika bararak, juga telah jauh melenceng dari tradisi yang diwariskan oleh ninik mamak terdahulu seperti baju anak daro yang panjang dan ada pula orang yang memegangnya di belakang. Sungguh memprihatinkan, sekarang Bundo Kanduang se-Kota Solok sedang menuliskan tradisi adat Solok ke dalam sebuah buku yang mana akan disebarkan kepada seluruh warga Solok, demi terjaganya tradisi urang Solok.

Sefniwati
Solok, 7 Juni 2018


[1] Bubur yang diracik dari bahan dasar tepung beras dan dimasak dengan gula anau (aren), sehingga mengahasilkan warna kecoklatan dan sangat kental

Sefniwati (Padang Pariaman, 1992). Biasa disapa Sefni, lulusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Universitas Andalas, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam, Universitas Andalas. Pernah terlibat sebagai Fasilitator Lapangan dalam Program Kemakmuran Hijau MCAI pada konsorsium Wanakita dengan lead Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) (2017). Ia merupakan salah satu partisipan Program Daur Subur - Bakureh Project di Gubuak Kopi (2018).

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.