Kesenian sebagai Media Pelestarian

Rabu, 6 Juni 2018 merupakan hari ke-enam Lokakarya Bakureh Project. Pagi ini setelah Sahur, beberapa partisipan lokakarya yang didampingi fasilitator berangkat menuju ke Nagari Kinari untuk mengikuti kegiatan ‘bakurehatau masyarakat lokal di sana menyebut membantai. Saat itu kawan-kawan partisipan melakukan observasi lapangan ke sana, seperti yang direkomendasikan oleh salah seorang fasilitator yang kebetulan sekali putra daerah Kinari. Kampung ini berjarak tempuh kurang lebih setengah jam dari pusat lokakarya atau Kantor Komunitas Gubuak Kopi.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Bakureh Project berangkat dari fonomena tradisi bakureh masyarakat Solok, dalam hal ini identik dengan tradisi masyarak bersama. Namun, yang menjadi fokus dalam proyek seni ini adalah nilai-nilai gotong royong. Hal ini dulunya berkembang di berbagai daerah di Minangkabau, dengan istilah yang beragam, bahkan spesifik berdasarkan jenis gotong royongnya. Kali ini kita bertemu tradisi bakureh di Kinari. Khususnya dalam agenda Mambantai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk agenda berbuka bersama jama’ah Mesjid Nurul Hidayah sekaligus Do’a Aqiqah beberapa anggota masyarakat di Jorong Bungo Harum, Nagari Kinari, Solok. Meskipun butuh perjuangan melawan rasa kantuk, Volta, Zekal, Ade, Nahal, Sefni dan Olva tetap berangkat dengan dengan sepeda motornya.

Sayang sekali saya tidak bisa turut serta subuh itu. Tapi menarik menyimak presentasi dan cerita dari kawan-kawan yang datang ke sana. Di Kinari, tradisi bakureh masih terasa sebagai kekuatan sosial masyarakatnya. Sebagian besar warganya terlibat dalam proses itu dengan beragam tugas. Dan mereka menikmatinya bersama.

***

Sepulang kawan-kawan dari Kinari sekiranya pukul 10.45 WIB, Hendra Nasution yang akrab dipanggil Bang Ehen dihubungi oleh rekan saya Albert, yang merupakan ketua Komunitas Gubuak Kopi, untuk memastikan posisi keberadaannya sudah sampai di mana. Karena dijadwalkan pada hari ini Bang Ehen memberikan materi terkait Bakureh dari segi penciptaan atau penafsirannya dalam bentuk karya seni Seni Pertunjukan, terkusus ke seni tari. Seperti yang telah Bang Ehen kerjakan tahun lalu, menjadikan ia mengembangkan nilai-nilai dari tradisi bakureh sebagai landasan penciptaan karya Tari.

Seperti yang dikonfirmasikan pada Bang Ehen beberapa minggu lalu, saya dan Delva Rahman berangkat ke Padangpanjang. Pada waktu itu, seperti yang direkomendasikan Albert, kami perlu menemui Bang Ehen untuk memulai diskusi terkait tradisi bakureh dan kerja-kerja yang telah dilakukannya. Menarik mengetahui lebih lanjut kegiatan yang dikembangkan Bang Ehen untuk dibedah lebih dalam. Waktu itu saya dan Delva meminta kesediaan Bang Ehen untuk menjadi pemateri dalam kegiatan Lokakarya Bakureh Project, dan ia bersedia mempresentasikan konsep karyanya tersebut di depan kami dalam kegiatan ini.

Setelah semua anggota memasuki ruangan, proyektor yang sudah tersedia dinyalakan selanjutnya dipaparkan dilayar putih yang ditempelkan di dinding galeri Gubuak Kopi. Albert membuka kegiatan dengan memperkenalkan Bang Ehen yang sudah menempuh jenjang pendidikan strata-satu dan pasca-sarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dan kini sudah diangkat menjadi Dosen yang membidangi kajian seni tari tradisi di prodi Seni Tari. Dalam pengantarnya Albert menjelaskan, ada beberapa upaya dalam pelestarian ataupun pengembangan tradisi. Selain cara kerja media yang telah kita pelajari beberapa hari yang lalu, juga bisa dilakukan dengan menafsirkannya dalam karya seni. Seni trari misalnya, katika tradisi ataupun persoalan setelah ia dikemas menjadi sebuah karya, setidaknya mampu menarik atensi publik untuk menindaklanjuti persoalan tersebut. Selanjutnya, waktu diserahkan kepada pemateri Hendra Nasution yang mempresentasikan “Bakureh Sebagai Spirit Lokal Kota Solok”.

Perlahan dan tegas Bang Ehen mempresentasikan gagasannya slide demi slide. Berawal dari ide yang merupakan prosesi budaya di kota Solok. Ia dengan rekan dosennya berinisiatif untuk melakukan “kajian seni pertunjukan untuk penunjang pariwisata” kususnya di bidang tari yang mana kegiatannya berupa penelitian untuk diajukan pada Kemenristek Dikti (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi). Tujuan karya yang diajukan ini untuk mengangkat tradisi bakureh menjadi sebuah karya tari agar dapat memupuk keinginan generasi muda khususnya di Kota Solok, supaya lebih menyadarai bahwa tradisi bakureh dapat dijaga melalui karya-karya baru.

Pada tahun 2018, merupakan tahun kedua kegiatan ini terangnya. Proposal yang disahkan tahun 2017 itu, dijalani selama 3 tahun. Berarti akhir kegiatan yang dilakukannya sampai tahun 2019. Menurut Bang Hendra, tradisi bakureh merupakan kegiatan masak-memasak secara bersama dalam satu perhelatan seperti pernikaan, aqiqah, upacara adat, ataupun kegiatan masyarakat di Kota Solok, dalam spirit kebersamaan. Salah satu dari tradisi masyarakat Kota Solok ini sudah semakin memudar dan sudah banyak ditinggalkan, karena tergantikan dengan hal-hal yang simpel seperti dari tradisi masak memasak saat ini memanfaatkan catering.

Alasan tersebut hanya sebatas tidak ingin direpotkan dengan melibatkan orang banyak atau masyarakat sekitar tempat tinggal. Ide tersebut muncul untuk membangkitkan kembali spirit bakureh pada masyarakat atau pelakunya sendiri. Ia menginterpretasi tradisi tersebut menjadi karya tari. Kemudian ia presentasikan dalam beberapa festival, namum, belum ada kesempatan untuk dipresentasikan di Solok.

Pada mulanya, manajemen pertunjukan karyanya meminta surat izin dari LPPN (Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional) ISI Padangpanjang, dilanjutkan dengan koordinasi pada Dinas Pendidikan serta Dinas Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Solok dan kemudian riset lapangan pun dilaksanakan terangnya. Bagi sebagian orang mungkin mengetahui prosedur tersebut. Lanjut ia menemui tokoh masyarakat seperti Bundo Kanduang, Niniak Mamak, pelaku bakureh dan lain sebagainya yang dirasa berkaitan sekaligus mengumpulkan data sebanyak tentang tradisi Bakureh ini. Hal yang dituju untuk pengumpulan data-data yaitu agar karya yang diciptakan tersebut mempunyai landasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait garapan karya nantinya.

Selain dokumen dan konsep karya yang Ia terangkan, foto-fotopun tak lepas dari slide yang terpapar di layar presentase Bang Ehen. Sekaligus menerangkan pertunjukan yang sudah Ia lalui seperti pertunjukan awal karyanya ini ditampilkan di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Pertunjukan kedua dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki, (TIM) Jakarta. Terakhir, di tahun 2017 pada event Pasa Harau Art And Culture Festival, di Kabupaten Limapuluh Kota. (lihat juga: Pengembangan Sprit Bakureh ke Dalam Seni Pertunjukan)

Slide terakhir sudah diterangkan pula oleh Bang Ehen. Kawan-kawan peserta diarahkan pada sesi diskusi dan tanya jawab. Sebagai pembuka acara Albert memantik diskusi dengan melemparkan pertanyaan terkait pertimbangan si-koreografer memilih gerakan atau pola koreografi yang ia ekpsplorasikan menjadi karya tari.

“Dari kegiatan bakureh tentunya banyak gerakan yang layak dieksplorasi sesuai dengan basic pada tarian yang akan diciptakan. Seperti sebelumnya, atau tema karya yang berangkat dari spirit tradisi itu sendiri, tentunya tidak semuanya dapat dieksplorasikan menjadi gerak tari”, terang Bang Ehen. “Salah satu gerak yang dieksplorasi yaitu berangkat dari gerak orang yang sedang mangukua karambia (memarut kelapa) dengan alat parutan duduk. Selain itu, aspek-aspek yang berlaku pada edukasi tari tentunya menjadi dasar utama untuk menciptakan gerakan yang dibarukan” tambahnya.

Selanjutnya  Nurul Haqiqi sebagai partisipan juga menanyakan jenis samba (lauk) yang dihasilkan dari tradisi Bakureh yang sudah diriset Bang Ehen. Cukup menarik pernyataan darinya, “bahwa samba yang diciptakan pada tradisi bakureh awalnya ada tiga jenis yaitu samba hitam yang dalam hal ini digambarkan dengan Randang; samba merah yang digambarkan dengan samba lado (sambel cabe); dan samba kuniang yaitu gulai-gulaian” terangnya. Layaknya warna marawa (bendera kebesaran masyarakat Minangkabau), darinya saya mendapatkan kesimpulan bahwa sikap dan karakter orang Minangkabau dapat digambarkan dari warna-warna yang dihadirkan berdasarkan prinsip itu Marawa sendiri, yakni menggambarkan orang yang berpendirian kuat, seperti yang pernah saya baca di Jurnal  Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau, karangan STS. Dt. Rajo Indo (2010).

Menariknya, kehadiran “tiga warna” tersebut saat ini sudah ada penambahannya yang menurut mereka ingin lebih variatif, seperti kehadiran semur, samba ayam kecap dan lain sebagainya, demikian tambah Bang Ehen.

Selain itu, tindak lanjut dari karya yang sudah ia ciptakan adalah untuk direvitalisasi kepada pemilik tradisi itu sendiri. Dari rencana awal, seperti keterangan Bang Ehen, memang sudah ditawarkan untuk menyajikan karya ini dalam bentuk bentuk pertunjukan, workshop di sekolah-sekolah, dan dalam bentuk buku yang di peruntukan pada masyarakat Kota Solok. Sayangnya, untuk pertunjukan beberapa persyaratan dari pendana (Kemenristek Dikti) karya ini bisa ditampilkan dalam iven-iven ruang lingkup nasional dan insternasional. Sayangnya di Kota Solok sendiri seperti yang sudah dijanjikan oleh Pemkot, bahwa baru di tahun 2020 akan diadakannya iven yang  berskala Nasional. Pada tahun ini, karya bakureh yang di garap oleh Hendra Nasution akan ditampilkan kembali pada di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selanjutnya juga konsep karya dan hasil penelitian akan dicetak dalam bentuk buku dan bisa juga dijadikan bahan ajar baik dalam sekolah maupun perguruan tinggi.

Selesainya workshop dari Bang Ehen, partisipan kembali melakukan observasi lapangan untuk melengkapi data yang dirasa kurang sebelumnya. Zekal, Sefni dan Olva melanjutkan observasi ke daerah Banda Panduang dan payo. Ogi, Roro dan Qiqi melanjutkan observasi ke daerah KTK. Volta, Nahal dan Ade melakukan persiapan mengikuti Buko Basamo di Kinari. Terakhir Icha  tetap di Kantor melanjutkan tulisannya.

Biasa disapa Joe atau Datuak atau Joe Datuak (Muaralabuh, 05 Mei 1989), saat ini aktif di Komunitas TAKASIBOE (Takaran Seni Boedaja) Solok Selatan sebagai Inisiator sekaligus Sekretaris Umum. Jenjang pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Fakultas Seni Pertunjukan Prodi Seni Karawitan dan tamat di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Selain itu sering berkeliaran diluar rumah keliling kampung untuk mencari teman yang sudah tua-tua untuk mencari informasi terkait Perkembangan Seni Budaya Tradisional di Daerah Domisili (Solok Selatan). Ia juga merupakan salah seorang partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur oleh Gubuak Kopi (2017); Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi, Gubuak Kopi, 2017; dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi PKAN Padang Sibusuk (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.