Mak Katik: Melihat Bakureh dalam Sastra

Pada hari kedua lokakarya Bakureh Project ini, partisipan memulai aktivitas seperti yang sebelumnya, dengan sahur bersama. Selanjutnya aktivitas kita mulai jam 11 pagi, seperti yang sudah diagendakan, agenda hari ini adalah materi kebudayaan Minangkabau oleh Musra Dharizal Katik Jo Mangkuto, atau yang biasa kami kenal dengan Mak Katik. Mak Katik adalah salah satu budayawan Minangkabau, dan juga sering diundang untuk mengajar terkait kebudayaan Minangkabau di sejumlah kampus seperti di Universitas Andalas (Unand), Malaysia, Hawai, dan lainnya. Dan malamnya dilanjutkan dengan menonton filem The Hidden Fortes (Akira Kurosawa, 1985).

Kita memulai aktivitas pagi ini dengan mereview kegiatan yang dilakukan di hari sebelumnya. Pada hari sebelumnya Albert Rahman Putra menjabarkan Sejarah dan Perkembangan Media. Delva membuka diskusi pagi ini dengan menanyakan pendapat dan pemahaman para partisipan mengenai tentang apa yang telah dibahas di hari sebelumnya, serta beberapa tugas yang diminta.

Delva Rahman saat memandu review bersama partisipan Bakureh Project. Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018

Sefni salah seorang partisipan mendiskusikan mengenai perkembangan perfileman Indonesia, dan juga sutradara-sutradara yang sempat di bahas sebelumnya. Sementara, Ade membahas mengenai Nam June Paik, Dziga Vertov, dan juga bagaimana film-film Dziga Vertov yang mengkritik pemerintah di masa itu. Dan berlanjut dengan penjebaran teman-teman partisipan lainnya.

Siangnya setelah istirahat dan juga sholat, kita melanjutkan kegiatan dengan Mak Katik. Khususnya mengenai adat, tradisi bakureh, sastra, dan sistem sosial di Minangkabau. Mak Katik membuka dengan bercerita mengenai bagaimana adab kita membaca, membaca dalam arti seluas-luasnya, membaca hal tersurat maupun tersirat. Mak Katik berpandangan sebaiknya kita membaca itu dengan menggerakkan bibir dan lidah, sekurang-kurangnya suara kita bisa di dengar oleh kita sendiri. Hal ini bisa membantu kita memperkayua kosa kata. Menurut Mak Katik inilah salah satunya yang membuat lemahnya penulisan di Minangkabau saat ini.

Dengan membaca juga, kata Mak Katik, kita bisa tahu bagaimana Bahasa Minangkabau itu ada sembilan suku kata, untuk di tulis dan di ucapkan boleh sembilan dan sepuluh suku kata tetapi yang untuk didendangkan wajib sembilan suku kata, tidak boleh lebih.

Ia mencontohkan:

La-ri ba-na ka-li-ang ba-tu
Ba-si-lang u-rang jo pang-ga-li
Du-duak ta-ma-nuang su-rang di-ri

Ketika dia dibawakan ke lagu Minang klasik, dia harus sembilan, dan ketika dia dibawakan minang pop dia boleh sampai 13 suku kata, demikian kata Mak Katik.

 Banang-banang suto den sulam den rendo

Mak Katik juga telah menerbitkan buku “5000 Pantun” dan sekarang sedang menggarap buku pantun yang yang baru. Mak Katik juga menjelaskan, Pantun Minangkabau ada beberapa bagian, pantun adat, pantun melayu, pantun minang, pantun bidarai.

Pantun adaik, harus punya sampiran dan juga bisa diurai, setiap suku kata dan setiap baris dan tidak boleh diubah-ubah, contoh.

 Kalauak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokan
Baok manurun kasaruaso
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang di patenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
 

Pantun Melayu sampirannya biasanya tidak selalu berkaitan dengan isi. Ia tidak perlu diurai sebagai kias yang bermakna untuk mendukung isi.

Si jirong manngali lambah
Babaju baludu gandun
Kok tadorong ambo manyambah
Sakali gawa baribu ampun

Pantun Minang harus dekat sampirannya dan sesuai dengan maknanya. Artinya sampiran tidak boleh sembarangan, harus berkaitan dengan isi.

Putuik badantiang tali rabab
Putuih disingguang langan baju
Indak guno dicari sabab
Abih untuang cari dahulu

Pantun bidarai (berderai), suku kata terakhir biasanya tidak sama.

Mak Katik, saat menyampaikan materinya di Lokakarya Bakureh Project. Foto: Arsip Gubuak Kopi, 2018

Mak Katik juga menyinggung sedikit mengenai bakureh dalam artian tolong-menolong dalam masak memasak. Berkaitan dengan bakureh ini, Albert menanyakan mengenai adab tentang makanan berdasarkan upacaranya. Misalnya, apakah pesta pernikahan kematian memiliki menu makanan khusus?

Menjawab itu, Mak Katik membahas terlebih dahalu mengenai Adat nan Ampek  (adat yang empat) yakni: Adaik sabana adaik (adat yang sebenar-benar adat), adaik taradaik (Adat yang teradat), adaik istiadaik (Adat istiadat), adaik yang diadaikan (Adat yang diadatkan). Dan terjadinya adaik yang empat ini ada 4 sebab pula, yakni alam takambang jadi guru, kitabullah, adaik maniru manuladan, dan adat di susun oleh adat sabatang panjang. Namun pada prakteknya ada yang melalui kesepakan ada pula yang meniru saja tanpa memahaminya.

Jadi yang sebenarnya dibawa dalam pesta pernikahan, khususnya tradisi meminang (melamar) itu adalah nasi lamak. Karena nasilamak setiap butirnya melekat satu sama lain, bersaudara, menggambarkan keterikattan kita sebagai makluk sosial. Namun adanya tingkatan adat salingka nagari, makanya di beberapa daerah ia juga bisa bertukar dengan lamang. Karena nagari juga memiliki kebijakan atas dasar kesepakatan untuk membuat adab-adab khusus.

Menurut dari Mak Katik arena yang dibangun dengan cara adat nan sabatang panjang banyak yang sudah direbut oleh bisnis pelaminan dan catering (ketring). Ajang masak-memesak itu adalah ajang penyitaan oleh ketring. Dahulu tiga hari sebelum acara pernikahan, orang sudah mulai persiapan untuk masak-memasak dalam perhelatan, mulai dari menyiapan bumbu-bumbu dan bahan-bahan untuk dimasak dan juga menyiapakan kajang (dapur dadakan berupa tenda sederhana). Tetapi zaman sekarang banyak hal-hal yang seperti itu sudah hilang, hanya di wilayah-wilayah tertentu yang masih memakai adat seperti itu. Mak Katik juga menyinggung mengenai masakan apa saja yang wajib dimasak di dalam perhelatan, yaitu: Randang, kalio hati, pangek lawuak, goreng maco karupuak ubi, paragedel kantang, karupuak jangek, samba kuah.

Randang adalah pangulu samba (tuannya lauk), memasak rendang tidak boleh dikacau sembarangan atau digayung. Memasaknya harus diaduk secara tulak rayiah sasakali lenong (ditolak dan ditarik sendoknya, sesekali diputar dikuali) prinsip ini sama halnya dengan prinsip musyarawah niniak mamak. Panghulu tidak boleh menimba hitungan dalam nagari dan dalam kaum, seperti itu membuat perundingan dalam berdiskusi, jangan ditolak saja semua argumentasi orang dan jangan juga di tarik semuanya, kita harus memilah dan memilih.

Kalio Hati, (gulai hati) kenapa memasak hati, di dalam pernikahan atau perkawinan yang dipertemukan itu hati, baik hati yang jadi pengantin maupun hati dari kedua belah pihak keluarga besar. Pangek Lauak (daging ikan yang digulai kering), kenapa pangek lauak? Meskipun hidup di dalam berkeluarga besok hidup menderita, miskin dan lainnya. Dalam keseharian kami akan tetap damai saja dan tidak akan ada masalah.

Goreng maco karupuak ubi. itu menyimbolkan masyarakat banyak. Paragedel, itu simbol kalau orang ini sudah berkeluarga, lebih merujuk pada hal bertambahnya satu lapis status seseorang. Karena paragedel adalah adonan kentang yang kemudian dibaluti dengan gerongan telor. Karupuak jangek (kerupuk kulit kerbau), yang merasakan sentuhan pertama itu kulit.

Hal serupa juga dilakukan pada Alek Pangulu, bedanya semuanya dari kerbau. Di dalam Alek Pangulu banyak persaratan untuk kerbau yang dijadikan masakan. Dari bentuk fisik sampai ciri-ciri yang yang jadi persaratan, karena kerbau ini yang akan mencerminkan si penghulu. Biasanya kerbau yang mada, yakni ketika ekornya dicubit dia tidak menyepak. Menurut Mak Katik ini merupakan analogi dari sifat pemimpin itu sendiri. Jangan sampai ada masalah sedikit ia menyepak orang-orang.

Dalam diskusi ini, Sefni salah satu partisipan menanyakan mengenai adat dalam kematian, tentang manigo hari, manujuah hari, manyartuih hari, dll, itu ada pula dalam adat sebatang panjang? Menurut Mak Katik ini juga berkaitan dengan kayakinan beragama agama, satu hari bibit di dalam rahim itu jadi apa, tiga hari jadi apa, dan seterusnya. Jadi inilah jadi dasar adat dalam kematian tadi ini. Mamulangan puruak ka asa (memulangkan yang sudah jadi ke asalnya) secara hakikat, susuatu yang sudah jadi ini dipulangkan dengan do’a ke asalnya, dari ada jadi tidak ada. Dan itu menjadi pertanyaan terakir diskusi dengan Mak Katik. Selanjutnya kami istirahat sejenak untuk Sholat dan lainnya.

***

Seusai Ashar, kami pun melanjutkan kegiatan di hari kedua ini dengan berdiskusi bersama mengenai materi yang di berikan Mak Katik tadi. Albert membuka dengan mempertajam pembahasan terakait adat salingka nagari yang dibahas oleh Mak Katik sebelmnya.

Kemudian, Sefni membahas mengenai salah satu materi dari Mak Katik, yang mengatakan Adat basandi syarak, sarak basandi kitabullah” dipahami bahwa adat Minangkabau ini berasal dari agama Islam. Jadi sebelum Islam masuk, disebut apa Minangkabau ini? Menurut albert, sebenarnya ini yang harus kita kritisi, maksudnya, ada sesuatu yang harus kita pertanyakan kembali, ada narasi lain dari itu, bahwasanya Minangkabau ini sudah ada sebelum Islam, kita ada agama lain sebelumnya, dan Islam masuk setelah itu dengan tidak gampang pula.

 

Volta Ahmad Jonneva (Kinari,1995) lulusan Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Salah satu pendiri Layar Kampus, sebuah inisiatif ruang tonton alternatif di kampusnya. Tahun 2018 lalu, ia juga terlibat sebagai tim kuratorial pameran Kultur Sinema - ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. 2019, ia mengkuratori sebuah pameran stikel bertajuk "Lem In Aja" bersama Rumah Ragam di Kota Padang. Ia juga merupakan salah seorang partisipan program Milisifilem di Forum Lenteng Jakarta (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.