Lingkung Singkarak dalam Retrospeksi

Hampir keseluruhan fenomena sosial dalam catatan Albert Rahman Putra di buku Sore Kelabu di Selatan Singkarak (Forum Lenteng, 2018) dekat dengan saya secara personal. Saya menghabiskan masa kecil hingga dewasa di nagari Saniangbaka, bagian selatan Danau Singkarak. Saya masih bisa mengingat amis ikan Bilih yang baru dikeluarkan dari lukah, mengingat bagaimana bentuk putaran arus di muara pertemuan Batang Lembang dengan Danau Singkarak, dan merasakan manisnya limau dari Kacang yang dibawakan teman-teman saya sewaktu sekolah menengah atas di daerah Singkarak.

Saya hapal betul dengan ragi sisik ikan Bilih karena sering membantu orang membuka lukah, manarik ikan dari mata jaring, juga pernah menggunakan putas dan lanet—racun dicampur kelapa busuk atau tahi manusia—untuk menangkap ikan Bilih. Kerap saya ikut bersama mamak pada sepertiga malam untuk menanggap rinuak di muaro (muara Batang Lembang) hingga pagi dan ikut serta manjojo (menjual) keliling kampung. Saya juga ingat ketika ikan Bilih melimpah dan harganya murah. Saya menyaksikan sendiri bagaimana ikan-ikan mati mengapung, bahkan ikan jenis sasau seukuran bayi manusia, saat belerang gunung Merapi keluar dari dasar danau.

Ingatan, kenangan, tentang apa yang pernah saya hidu dan cecap secara indrawi dari kecil hingga saya dewasa tentu berbeda perspektif dengan proses Albert dalam mencatat—tetapi saya, dan tentu juga Albert, akan bersepakat menyebut apa yang sudah dicatatanya sebagai sebuah fenomena sosial di lingkung Singkarak yang luput dibicarakan. Saya merasa berada di dalam ruang fenomena tersebut. Sebelum saya membaca catatan Albert menganggap kenangan dan yang tampak adalah hal biasa, sampai luput untuk mencatatnya. Sedangkan Albert berusaha mendekati fenomena tersebut dengan perspektif ‘orang luar’ yang berupaya menjadi ‘orang dalam’. Sehingga apa yang dianggap biasa dan lumrah oleh ‘orang dalam’, tentu tidak bagi ‘orang luar’—tentu tidak bagi mereka yang datang ke sebuah daerah dengan membawa pulang beragam pertanyaan tentang fenomena yang ada.

Catatan Albert bagi saya adalah sebuah ketakterdugaan dan begitu juga dengan pertemuan saya dengannya. Posisi saya membicarakan kerja pencatatan Albert juga sebuah kebetulan belaka. Siapa kira, buku hasil riset, atau yang dibahasakan oleh Direktur Program AKUMASSA (Bernas) sebagai salah satu bentuk lain dari pengembangan jurnalisme warga (citizen journalism) dibicarakan oleh salah seorang warga yang sebenarnya berada pada lingkaran persoalan yang dicatat oleh Albert. Kebetulan-kebetulan ini pada akhirnya menjadi otokritik bagi saya secara pribadi untuk melihat kembali narasi-narasi kecil dari beragam fenomena yang selama abai bagi diri saya terhadap lingkungan saya. Kita memang pada setiap saat dihadapkan pada metanarasi (grand narrative) sebagai universalitas dan totalitas ilmu pengetahuan. Kerja riset alternatif atau jurnalisme warga kehadirannya memang untuk memberikan alternatif pengetahuan, melihat narasi-narasi kecil, dan meragui kembali metanarasi.

Kita dapat mereka-reka antusiasme pembaca tentang kehadiran sebuah narasi dengan memperbandingan kerja pencatatan Albert dengan sebuah pemberitaan media mainstream. Misal, apa pentingnya kisah mengenai Limau Kacang bagi orang-orang Kacang  dan bagi orang-orang di luar sana? Bagaimana jika diperbandingkan antusiasme warga Kacang sendiri atau orang-orang di Sumatera Barat pada kabar mengenai YF (29 tahun) warga Nagari Kacang yang ditangkap Densus 88 di Kota Bandung, 15 Agustus 2017, terduga jaringan terorisme yang berencana akan melakukan aksi ke Istana kepresidenan Republik Indonesia? Apakah orang mengetahui bahwa di Nagari Kacang ada limau nikmat yang luput dari lidah kita atau orang-orang lebih fasih membicarakan (dan mengingat) bahwa di Nagari Kacang ada terduga teroris?

Dari kerja pencatatan Albert kita mengetahui informasi yang luput dari pembicaraan berbagai pihak. Salah satunya bahwa, di Nagari Kacang pernah ada limau yang menjadi kebanggaan dan varietas yang diunggulkan Dinas Pertanian Kabupaten Solok, dan periode 1970—1980an banyak dikirim ke luar daerah Sumatera Barat. Saya pikir Albert tidak sedang berbual-bual dengan catatannya. Tidak sedang mengada-ada dengan melebih-lebihkan bagaimana salah seorang warga yang dulunya petani limau mendeskripsikan wanginya limau Kacang dalam tulisan bertajuk Limau Kacang (hlm. 124 – 139): “Kito bukak di siko, tabaun harumnyo sampai ka mushola tu,” kata salah seorang warga yang diwawancara Albert (hlm. 126). Saya sendiri, beberapa waktu lalu sebelum pulang ke Padang cukup kaget oleh pertanyaan salah seorang bapak yang berusia 70 tahun mengenai limau Kacang. Bapak tersebut merantau pada tahun 1957 bersama orangtuanya dan pernah bekerja belasan tahun pada kedutaan Indonesia di Abu Dhabi mempertanyakan limau Kacang pada saya ketika saya mengatakaan bahwa saya berasal dari daerah Saniangbaka.

Penelusuran Albert mengenai limau Kacang dengan menghimpun beragam data dari informan dari berbagai lapisan masyarakat mengantarkan pencatatannya pada beragam informasi unik. Informan diberikan posisi sebagai subjek terlibat dan tidak hanya objek. Sehingga informasi-informasi unik yang selama ini barangkali tidak akan dibuka untuk orang-orang di luar warga nagari itu sendiri dapat dibuka untuk Albert. Sehingganya muncul mitos tentang kantuik gunuang, tentang boneka-boneka dan kasur dari Batu Limbak hingga Kacang yang sebebarnya berasal dari Jawa, kisah stiker “limau kacang” pada mobil yang membuat aman perjalanan lintas Sumatera, sampai pada pertemuannya dengan adik Mursal Esten dan ingatan-ingatan kolektif pengenai peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dst.

Kita diajak untuk mengetahui bagaimana warga Kacang menyikapi dan usaha menyikapi gagal panen limau Kacang pada periode 1980-an, bagaimana mereka mengupayakan agar kebun limau mereka tetap bertahan, termasuk pandangan mereka terhadap kebijakan pemerintah. Saya mengandaikan pola pencatatan ini sebagai pengisi kekosongan terhadap kebiasaan tradisi lisan (oral) akan peristiwa-peristiwa penting yang tidak sempat dicatatat dan hanya menjadi kenangan semata. Semacam retrospeksi, mencatat dan menganalisa lagi peristiwa-peristiwa di masa lalu, untuk kemudian analisis tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan fokus penelitian hari ini.

Pencatatan Sebagai Alternatif Kelisanan

Dari buku Sore Kelabu di Selatan Singkarak kita mungkin tidak akan berharap muluk-muluk. Misalkan dengan berharap bahwa catatan mengenai limau Kacang akan dilirik pemerintahan terkait dan fenomena dalam catatan tersebut akan dievaluasi lalu direkomendasi untuk kembali menjadikan limau Kacang sebagai varietas diunggulkan oleh pemerintahan Kabupaten Solok. Satu hal terpenting, dan mestinya menjadi pemikiran utama dari pembaca, bahwa tradisi pencatatan personal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bersama mengenai pentingnya menuliskan peristiwa-peristiwa kecil di sekitar kita yang kita anggap lumrah dan biasa selama ini. Sumatera Barat, atau dalam konteks kebudayaan Minangkabau, pada dasarnya tradisi pencatatan semacam ini memang berbanding terbalik dengan tradisi oral. Dalam artian, tradisi pencatatan, meskipun ada tapi sangat minim. Hal ini berimbas juga pada bagaimana masyarakat Minangkabau memperlajari peristiwa-peristiwa di masa lampau untuk dijadikan kajian perbandingan pada masa depannya.

Kelisanan memang telah menjadi identitas Minangkabau. Kita dapat merujuk studi Jane Drakard mengenai peran kerajaan di pusat Sumatera abad ketujuh belas hingga abad kesembilan belas dan ia memberikan istilah A kingdom of words[3]  untuk Minangkabau. Studi tersebut membahas bagaimana otoritas dan wewenang kerajaan direpresentasikan melalui kuasa simbolik. Kekuasaan di sini menjadi diskursif, di mana otoritas tekstual melalui mengatasi kekuatan militer dan Minangkabau diakui bukan karena otot militer melainkan karena kehebatan retorik istana. Kuasa simbolik atas otoritas tersebut termakhtub dalam sebuah tambo yang dipercaya oleh masyarakat Minang sebagai kitab asal-usul.

Tambo memang menjadi bagian dari bagaimana masyarakat Minangkabau memanifestasikan kehidupannya sehari-hari. Perihal ini pula yang menjadi pembeda masyarakat Minangkabau dengan suku-suku lain di Indonesia. Tsuyosi Kato (2006) mengungkapkan bahwa tambo merupakan pengganti dari keabsenan aksara di Minangkabau yang menyebabkan masyarakatnya tidak tepat dalam pencatatan sejarah sendiri. Keabsenan ini sampai masuknya agama Islam, di mana diperkenalkan tulisan dan sistem penanggalan arab pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Berbeda dengan Orang Batak Toba, terang Kato, yang patrilineal dan mempunyai tradisi pencatatan sehingga dapat menceritakan kembali wabah penyakit, perang, dan pembentukan kampung-kampung berdasarkan generasi; misalnya sepuluh generasi yang lalu terjadi wabah penyakit sehingga nenek moyang kami pindah dari perkampungan yang lama di utara ke perkampungan yang baru di seberang sungai. Ketepatan inilah yang jarang ditemukan pada masyarakat Minangkabau[4].

Menurut Kato, walaupun orang Minang tidak mementingkan pencatatan sejarah, masyarakat Minangkabau mempunyai minat yang kuat untuk mengetahui asal-usul suku bangsa dan bentuk ideal dari masyarakatnya. Sebagai ganti dari catatan-catatan dan daftar-daftar dinasti, orang Minang mewarisi masa silam tambo (secara harfiah cerita-cerita dari masa-lalu atau historiografi tradisional). Tambo, yang pada mulanya diceritakan secara lisan, dan kemudian ditulis dalam huruf Arab merupakan himpunan cerita-cerita tentang asal-usul an peraturan Adat (hukum Adat). Tambo menguraikan tentang pembentukan Alam Minangkabau, menentukan batas-batasnya, dan merinci hubungan darek dan rantau. Selanjutnya tambo menerangkan lahirnya adat dan menguraikan aturan-aturan dan hukum-hukum mengenai kemasyarakatan, hubungan antar individu dan perilaku wajar. Pada periode tersebut, tradisi perncatatan juga mulai berkembang ke dalam manuskrip-manuskrip mengenai pengtahuan agama. Tidak terkecuali mengenai fenomena alam dan kisah mengenai kondisi masyarakat pada periode tertentu, tentu hal ini tidak banyak.

Kita bisa melihat bagaimana hari ini orang kembali melirik manuskrip-manuskrip tua tersebut dalam kajian filologi untuk mengetahui fenomena gempa, tsunami, banjir, dst. yang pernah terjadi di daerah Minangkabau. Termasuk dengan merujuk catatan asing yang juga sumbernya sangat sedikit. Misalnya, laporan penjelajah Perancis, Du Puy, tentang gempa dan tsunami yang melanda Padang pada 10 Februari 1797. Pramono, filolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, mengatakan bahwa terdapat kecendrungan budaya Minangkabau untuk melupakan ingatan-ingatan buruk termasuk persoalan gempa. Namun ada cerita lisan yang menurut Pramono, masih direkam oleh Tuanku Kadhi Abdurrasyid, pewaris Surau Lubuk Ipuh, Kanagarian Kurai Taji, Kecamatan Nan Sabaris, Padangpariaman, mengenai mitologi seekor kerbau yang menyangga bumi dengan tanduknya[5].

Adapun dua sumber catatan lokal yang seringkali dirujuk oleh penulis mengenai gempa adalah autobiografi karangan Muhamad Radjab berjudul Semasa Kecil di Kampung (1913-1928) yang memuat pengalaman gempa Sumbar pada 28 Juni 1926, serta buku Riwajat Hidup dan Perasaan Saja tulisan Moehammad Saleh tahun 1935. Meskipun dua catatan tersebut sanat minim menceritakan bagaimana peristiwa gempa tersebut, tapi dapat memperlihatkan bagaimana kondisi dan pandangan masyarakat mengenai gempa pada periode tersebut, termasuk bagaimana orang-orang dalam buku Mumamad Radjab (Balai Pustaka, 1974) pada periode itu tidak mempercayai lagi mengenai mitos bahwa gempa berasal dari telinga lembu, yang memikul Bumi ini, digigit nyamuk.

Tentang banjir, Pramono dalam tulisannya Naskah “Syair Taloe Tarandam 1890”[6] menuliskan bahwa salah satu atau satu-satunya yang baru ditemukan tentang catatan pribumi berkenaan dengan banjir di Sumatera Barat adalah naskah “Syair Nagari Talu Taloe Tarendam 1890”. Naskah tersebut tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Dalam Catalogue of Malay, Minangkabau, and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands (Volume One) yang disusun oleh Teuku Iskandar (1999: 583), dapat diketahui deskripsi singkat naskahnya. Naskah ini terdiri dari( 40 halaman yang ditulis di atas kertas Eropa dengan cap kertas Elephant  dan GUTHRIE & CO. Dalam setiap halaman terdapat 22 baris tulisan dengan jumlah keseluruhan mencapai 190 bait syair yang ditulis dengan aksara Latin.

Menurut Pramono, dengan seratus sembilan puluh bait syair, tentu tidak dapat mengisahkan selengkap-lengkapnya tentang bencana banjir yang sangat besar itu. Namun demikian, naskah “Syair Nagari Talu Taloe Tarendam 1890” merupakan catatan penting; sebuah catatan pribumi satu-satunya tentang bencana banjir di Talu yang pernah terjadi pada akhir abad ke-19. Catatan ini dapat dijadikan sumber untuk memetakan wilayah rawan banjir, terutama untuk di kawasan Talu. Selain itu, melalui catatan ini kita dapat belajar tentang bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana banjir[7].

Beberapa catatan bencana banjir besar di Sumatera Barat beserta foto-foto pada masa kolonial dapat ditemukan dalam beberapa sumber. Ada puluhan foto koleksi Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) yang menggambarkan bencana banjir di Lembah Anai dan Sumani (Solok) pada 1928. Harian Dagblad Radio, 29 Juni 1926 dan Harian Soeara Kota Gedang, tahun ke-XI, No. 7, Juli 1926 diberitakan bencana banjir di sekitar daerah Danau Singkarak. Jika lazimnya banjir disebabkan oleh tingginya curah hujan, maka banjir di wilayah ini disebabkan karena luapan air Danau Singkarak sebagai akibat dari gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter yang berpusat di Padangpanjang pada 28 Juni 1926. Catataan ini menjadi rujukan, sekaligus penanda peristiwa sama, bahwa pada 6 Maret 2007 pernah terjadi kejadian serupa di tempat yang sama. Luapan air danau Singkarak terjadi kembali akibat gempa dan membuat rusak areal sawah dan rumah warga di tepian danau Singkarak, khususnya di muara Batang Lembang.

Sumber-sumber di atas, khususnya catatan banjir di sekitar Sumani dan Singkarak serta foto-foto barangkali juga dapat dihubungkan dengan catatan Albert berjudul Batang Lembang: Sekali Air Besar, Sekali Tepian Berubah (hlm. 1 – 6). Ada dua fenomena berbeda berhubungan dengan kondisi alam di abad berbeda yang barangkali bisa dijadikan bahan untuk melihat perubahan sebuah daerah. Albert mencatat fenomena lain pada abad 21 yang bermuara ke danau Singkarak, yaitu sampah:

Saya pernah beberapa kali mengelilingi Singkarak, melihat muara-muara sungainya. Tidak salah lagi, Batang Lembang adalah penyumbang sampah terbesar untuk Singkarak. Saya kira statement itu tidak berlebihan. Silahkan saksikan langsung, beberapa kantong sampah itu juga masih tersangkut di pagar-pagar jembatan yang menggantung di atas sungai ini. Kalau musim kering atau tidak hujan, banyak juga sampah yang terpajang di semak pinggiran sungai. Kalau sudah hujan besar, sungai semakin deras, permukaan air semakin naik, semua sampah di semak tersapu hingga pembuangan akhir ini: Singkarak (Putra, 2018:2).

Tidak hanya persoalan sampah dan bermuara ke danau Singkarak. Albert berusaha merekam fenomena lain yang terjadi pada periode yang sama pada lokasi yang sama dalam memulai narasi penceritaanya mengenai muara Batang Lembang. Pada tahapan ini Albert berusaha menghadirkan narasi mengenai beberapa fenomena sekaligus yang menimpa warga sekitarnya. Fenomena yang datang timpa-bertimpa. Musim kering yang panjang, asap pembakaran hutan kiriman dari provinsi tetangga, pergantian pola menangkap ikan nelayan dari lukah hingga bom, dan mengenai tambang di daerah Paninggahan:

November 2015, Singkarak memasuki musim hujan lagi, setelah kemaraunya yang begitu panjang. Kemarau sudah dimulai sejak Ramadhan lalu, pada bulan Juni. Awalnya hampir seperti yang diperkirakan: Juni-Juli. Tapi tahun ini kemarau lebih lama dengan kabut asap yang begitu tebal. Seperti yang banyak diberitakan, asap ini menurut BMKG merupakan kiriman dari provinsi tetangga: Jambi, Riau, dan Kalimantan…. Tahun-tahun sebelum itu adalah hari-hari ketika Singkarak terlihat begitu suram, kabut memedihkan mata, apalagi di selatan danau. Debu-debu akibat tambang menambah sesak. Pintu rumah, pagar, jendela, daun, bunga-bunga jadi kelabu. Hamparan danau juga begitu, kadang serasa di laut karena tidak bisa melihat seberang, otot-otot mata jadi lebih mudah capek untuk tetap fokus. Danau begitu kering, seperti juga sungai, para nelayan lukah yang menangkap ikan di muara tidak memiliki kesempatan. Biasanya kalau sudah kering begini banyak para pengguna lukah beralih pada bom… Akhir musim kering tahun ini datang bersamaan dengan berakhirnya mobil tambang dari Paninggahan, berakhirnya debu di selatan Singkarak. Berkurang pula kekesalan ulah debunya yang mengubah pola interaksi warga. Kini beberapa titik jalan sudah mulai diperbaiki. (Putra, 2018:2).

Data di atas memperlihatkan betapapun kita tidak mesti berharap bahwa kerja-kerja yang dilakukan Albert hari ini, tidak dapat atau tidak kita harapkan untuk menjadi rekomendasi bagi pemerintahan terkait, mungkin juga tidak akan dengan cepat memberi kesadaran warga mengenai fenomena di sekitarnya. Namun, ketika kita melihat bagaimana hari ini para peneliti menggali lagi data kesejarahan membuktikan betapa pentingnya tradisi pencatatan terhadap persitiwa-peristiwa yang dalam keseharian kita anggap biasa, maka tentu data ini kemudia hari akan dapat dirujuk. Kita dapat melihat bagaimana peneliti hari ini mencari dan menelisik lagi bagaimana masyarakat pada kurun waktu tertentu menyikapi fenomena di sebuah daerah untuk menyikapi peristiwa yang terjadi hari ini, dan hari depan.

Semacam Efek dari Catatan Albert

Perspektif ini barangkali paling personal dari diri saya terhadap salah satu catatan Albert yang juga dijadikan judul bukunya: Sore Kelabu di Selatan Singkarak (hlm. 79 – 88). Namun melalui pandangan personal saya ini para pembaca akan dapat meyakinkan diri barangkali untuk turut melakukan kerja-kerja pencatatan kecil. Catatan Albert yang dijadikan tajuk buku ini berusaha untuk merekam penderitaan warga di sepanjang lintasan yang dilewati mobil tambang dari Paninggahan sekaligus menukik pada perstiwa sensitif. Bahwa, pernah terjadi cakak antar dua kampung, tapi Albert berusaha untuk mengambil sisi humanis dan mecatatat ketakutan warga akibat cakak tersebut.

Proses Albert melalukan investigasi pun boleh dikatakan unik dalam kasus hulunya adalah Tambang Galian C di daerah Paninggahan. Setelah mengetahui ada efek dari fenomen tambang tersebut Albert berusaha merekam pembicaraan-pembicaraan yang terlontar begitu saja dari mulut warga. Tidak hanya itu saja, dalam catatan Albert, ia pun mengutip pembicaraannya dengan salah seorang polisi yang pernah bertugas di Polsek Junjung Sirih—membawahi nagari Paninggahan dan Muaro Pingai. Dari polisi tersebut Albert mengetahui bahwa dampak dari debu-debu truk pengangkut galian C tersebut tergolong membahayakan kesehatan masyarakat selain menyebabkan kerusakan jalan. Data pertama tersebut diteruskan investitasinya pada petugas kesehatan yang berada di nagari Muaro Pingai. Dari data lanjutan tersebut kita akan dapat melihat betapa efek tambang tersebut sangat membahayakan:

Dugaan polisi ini sebenarnya tidak salah. Di awal Agustus lalu, saya bertemu dengan Bidan Sinta, salah seorang bidan di Desa Muaro Pingai.

“Benar,” katanya, menjawab pertanyaan terkait dampak debu. “Sebulan, bisa lebih 50 orang yang mengidap ISPA, Asma semakin menjadi-jadi, begitu juga dengan TBC. Tidak salah lagi itu gara-gara debu di jalanan.”

“Bahkan,” katanya, melanjutkan dengan suara yang sengaja dipelankan, “Satu setengah bulan lalu, ada penderita TBC yang batuknya berdarah dan meninggal. Tapi itu di daerah Muaro Pingai Selatan, coba tanya bidan yang di sana!”

Bidan Muaro Pingai Selatan yang dimaksud adalah Bidan Yati. Tidak susah mencarinya. Ada sebuah rumah di pinggir jalan, di seberang Masjid Raya Muaro Pingai. Bidan Yati tinggal di rumah Dinas Puskesri itu. Seperti yang diutarakan Bidan Sinta, ISPA, Asma, dan TBC memang menjadi-jadi sejak dua tahun terakhir, dan benar pula berita tentang salah satu pasien TBC-nya yang penyakitnya semakin parah, sering batuk berdarah, lalu meninggal dunia. (Putra, 2018:81)

Dari kutipan di atas kita dapat melihat bagaimana usaha Albert untuk menyikapi ‘kabar’ yang ia dapat dari sumber pertamanya. Ia memastikan lagi dengan merujuk ‘kabar’ yang bisa jadi benar atau tidaknya dengan menjemput lagi sumber utama. Ia berusaha memvalidasi data, yang bisa saja, istilah orang kampungnya, “ota balabiahan” (perkataan yang dilebih-lebihkan). Saya juga cukup kaget membaca catatan Albert yang dijadikan tajuk buku ini pada tahun 2015. Data masyarakat yang mendertia gangguan pernapasan, bahkan sampai pada kematian, barangkali tidak diketahui juga oleh keseluruhan masyarakat di kampung itu sendiri. Belum lagi jika data tersebut ditambahkan dengan data masyarakat di sebelah nagari Muaro Pingai, yaitu Saniangbaka (nagari saya).

Catatan Albert sekaligus menjadi otokritik bagi saya secara pribadi, baragkali juga orang kampung saya di Saniangbaka. Namun yang terpenting, catatan Albert ini pernah menjadi salah satu data yang direkomendasi oleh Ikawatan Warga Saniangbaka (IWS) dalam pertemuan dengan ikatan warga Muaro Pingai dan Paninggahan di Jakarta untuk bersama sama menyelesaikan persoalan mobil tambang di wilayah tersebut. Sekaligus sebagai data yang diajukan oleh IWS pada pertemuan dengan Gubernur Sumatera Barat pada tahun lalu.

Banyak fenomena-fenomena kecil di sekitar danau Singkarak yang dibahas Albert dalam bukunya. Dari sejarah hingga mitos ia kumpulan perlahan dengan sabar beberapa tahun belakangan. Keinginan untuk mencatat itu pun unik, beranjak dari kenangan waktu kecil sampai ketika ia sering melintas di jalan dari Solok menuju Padang panjang: Kita dapat membaca bagaimana Albert kecil mengenang danau Singkarak dalam kutipan berikut:

Perkenalan saya sendiri dengan Singkarak bermula sejak saya masih kecil. Saya tidak ingat pasti kapan tahunnya, tapi menurut orang tua saya, saya sudah sering ke Singkarak sejak saya masih balita. Yang saya ingat, saya penah mandi di sini, dan saya sering bermenung menyaksikan betapa luasnya danau ini setiap kali Bapak mengajak ke Bukittingi. Bapak selalu punya cerita menarik untuk saya saat kami sedang jalan-jalan. Suatu kali ia memergoki saya sedang asik menyaksikan Danau Singkarak, di sebelah kiri jalan. Di tengah pandangan kosong saya, Bapak menunjuk ke arah salah satu dari dua gunung di hadapan kami. (Putra, 2018:9)

Kerja-kerja pencatatan yang dilakukan Albert ini tentu dapat dikembangkan lagi oleh banyak orang di lingkungan sekitar khususnya, dan di Sumatera Barat umumnya. Banyak peristiwa dan fenomena kecil yang patut dicatat sebagai data bagi kita sendiri untuk mempelajari di kemudan bagaimana perumahan fenomena dan perkembangan peristiwa di sekitar kita. Kerja Albert ini barangkali bisa dianggap sebagai kelanjutan dari proses  jurnalisme warga yang pengembangannya didorong dari civic journalism, di mana warga yang mempunyai berita diberi kesempatan mengabarkan langsung melalui tulisan, oral, dan foto diakamodir oleh kanal-kanal media mainstream atau blog. Di sini keterlibatan warga dalam merespon sendiri peristiwa-peristiwa sekitar dapat diakomodir.

Kita dapat membayangkan jika kerja-kerja pencatatan seperti ini turut dikembangkan di nagari-nagari, dimulai kisah mengenai mitos penamaan nagari masing-masing, hingga mencatat kesejarahan yang pernah terjadi di nagari-nagari sekitar. Tentu selain tradisi kepenulisan dapat dikembangkan, kita akan kaya pula dengan ragam catatan dari masyarakat setempat. Tulisan singkat saya ini hanya merupakan refleksi dari sekian banyak pengembangan catatan Albert dari satu fenomena ke fenomena lain yang bisa dianggap semacam retrospeksi. Selamat untuk kelahiran buku Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Kita tunggu catatan-catatan lain Albert tentang Solok dan sekitarnya.

 

Esha Tegar Putra
Padang, 22 Febuari 2018

 


Catatan Akhir

[1] Catatan ini disusun sebagai materi pembahasan dalam agenda peluncuran dan bedah buku AKUMASSA Bernas #1, “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” oleh Albert Rahman Putra, di Kubik Koffie, Rabu, 21 Februari 2018.

[2] Penulis merupakan penyair, peneliti sastra, dan pengelola Ruang Kerja Budaya.

[3] Lihat Jane Drakard, “A kingdom of words : language and power in Sumatra”,  Selangor Darul Ehsan ; Oxford : Oxford University Press, 1999.

[4] Lihat Tsuyosi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2006. hlm. 17.

[5] Lihat “Gempa dalam Rekaman Warga”, Kompas.com, Sabtu, 21 April 2012. http://amp.kompas.com/sains/read/2012/04/21/04180511/Gempa.dalam.Rekaman.Warga

[6] Lihat lembaran Cagak, Padang Ekspres https://cagak.co/?page=detail&id=1459&title=Naskah_

[7] Ibid.


[DOWNLOAD MAKALAH: Lingkung Singkarak dalam Retrospeksi ]

Biasa disapa Esha, merupakan seorang sastrawan, penyair, dan kritikus sastra. Lulusan Pascasarjana program Sastra Indonesia, di Universitas Indonesia (2018). Ia dan beberapa kawan merupakan penggagas Padang Literary Biennale (2014). Beberapa buku yang telah ia lahirkan antara lain: Pinangan Orang Ladang (2009); Dalam Lipatan Kain (2015); Sarinah (2016). Selain itu, sejumlah karya puisi, cerpen, dan esainya telah dipublikasi di sejumlah media lokal dan nasional, seperti harian Kompas dan koran Tempo. Ia juga sering diundang selaku narasumber di sejumlah iven sastra tingkat nasional. Saat ini ia tengah sibuk mengelola Ruang Kerja Budaya (RKB), forum ini berfokus pada kerja penelitian serta pengkajian sastra, seni, dan budaya, yang berbasis di Kota Padang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.