Tembak-tembak

Catatan hari keempat Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk

Rabu, 10 Januari 2018, siang itu, seperti biasa seusai makan,saya bersama rekan-rekan melakukan persiapanuntuk pergi kelapangan. Saya dan partisipan, diantaranya Hafizan, Zaki, serta ditemani Yovi sebagai warga lokal sekaligus partisipan dari Penggerak Kreativitas Anak Nagariatau biasa kami sebut PKAN pergi ke beberapa lokasi di Padang Sibusuk. Setelah sebentar berkeliling untuk menemukan objek gambar, kamipun singgah ke rumah Yovi. Di sana kami bertemu keponakannya bernama Teguh dan Edo yang baru saja sepulang sekolah. Di rumah Yovi kami mengambil beberapa alat pancing ikan yang biasa disebut tembak-tembak. Alat pancing ini unik, terbuat dari kayu sebagai gagang menyerupai senapan laras panjang dan karet sebagai pelontar. Sementara yang menjadi peluru adalah besi runcing panjang diameter hampir sebesar pulpen.Setelah persiapan selesai kamipun berangkat menuju lokasi menembak ikan.

Setiba di lokasi, terlihat sepanjang jalan dipenuhi bebatuan yang sedang direnovasi oleh pihak PT.KAI. Ia mengubah jalan ini menjadi perlintasan rel kereta,yang nanti akan difungsikan sebagai alat transportasi publik. Konon, rel itu akan terhubung untuk jalur lintas Sumatera. Dilokasi pertama, ternyata kami tidak dapat menembak ikan karena kondisi air sungai yang keruh. Kami pun bergeser melawan arus sungai yang tidak jauh dari lokasi pertama. Terlihat pemandangan yang tak asing lagi, dimana sebagaian besar daerah ini telah dijadikan areal tambang emas. Terlihat areal-areal tambang ini seperti bekas sawah. Kini ia kering dan berpasir, ada juga yang berbatu, dan ditumbuhi semak berduri. Dan tampak beberapa kolam-kolam bekas galian tambang yang baru usai.

Kami turun ke bawah, menuju sungai dan menyusuri persawahan yang baru pulih dari aktifitas pertambangan. Disungai itu, langsung saja Teguh dan Edo bersiap diri untuk menembak ikan.Sementara itu disanasaya juga melihat dua kincir air yang masih elok, berputar melawan arus air dan mengalirinya ke sawah.

Saya juga berkesempatan bertemu langsung dengan seorang bapak yang saya panggil Pak Pono. Ia berumur 72 tahun yang menjaga sekaligus membuat kincir air tersebut. Pak Pono menceritakan sedikit pengalamannya yang sudah turun menurun belajar membuat kincir tersebut. Sementara saya mengambil beberapa gambar dan video. Tak lama berselang, Teguh dan Edo muncul ke darat sembari meletakkan alat tembak ikannya. Ia mengeluhkan tidak ada ikan untuk ditembaknya. Pak Pono membenarkan hal itu, karena ada aktifitas menyentrum ikan dilokasi tersebut pada malam hari, dan kebetulan dilakukan oleh warga lokal juga. Pak Pono juga bercerita, biasanya ikan tak perlu dicari, ada saja yang menyangkut dipagar pengatur aliran air untuk kincir.Namun akhir-akhir ini ikan memang susah, lantaran orang sering menyentrum, ikan habis mendadak.

Sementara berbincang dengan Pak Pono, Zaky dan Hafiz melihat ke arah seberang sungai. Di sana terdapat beberapa petani yang sedang mengairi sawah mereka. Petani ini mengairinya dengan menyedot air sungai melalui selang yang terhubung ke mesin. Informasi yang didapat sawah tersebut sedang diolah kembali setelah sebelumnya dijadikan lokasi tambang. Memang, membutuhkan waktu yang cukup lama utuk memulihkannya, namun lokasi ini sudah dua kali dijadikan areal tambang dan kini dijadikan sawah kembali.

Setelah sesaat mengambil beberapa gambar, kami pun pamit pada Pak Pono untuk kembali ke sekretariat PKAN. Dalam perjalanan kembali, saya dan Hafiz melihat seorang bapak sedang memarut jagung tua yang telah kering dengan menggunakan mesin parut kelapa. Kami pun singgah sebentar untuk melihat proses kerja. Sambil menikmati gorengan hangat, kami bertanya tanya seputar kegunaan jagung tersebut. Ternyata ia dapat digunakan untuk makan ternak, seperti ayam dan itik, apalagi yang mau bertelur. Namun, untuk ayam biasanya jagung tersebut digiling terlebih dahulu, agar lebih halus. Demikian tutur seorang nenek yang sedang asyik memisahkan butiran jagung dari batangnya.

Memarut jagung di salah satu kediaman warga di Padang Sibusuk. (foto: Arsip Daur Subur, 2018)

Setelah puas bertanya-tanya, kami juga meminta batangan jagung yang tidak digunakan lagi. Belum tau untuk apa, tapi sepertinya dijadikan bahan instalasi nanti. Lalu, kami beranjak pergi menuju sekretariat PKAN. Sesampai di sekre, kami bersama-sama membersihkan beberapa arsip yang sedang kami petakan. Arsip-arsip ini milik Kantor Desa Padang Sibusuk Selatan, yang kini menjadi markas PKAN. Banyak arsip-arsip yang menarik, baik itu berkas-berkas administrasi, data jenis-jenis pertanian warga, piala-piala kisaran tahun 1982-1997, dan piagam desa teladan tingkat provinsi pada tahun 1991. Serta kami juga memperbaiki beberapa bagian piala yang telah lepas lantaran sudah cukup berumur.

Setelah mendokumentasikannya satu persatu, kami bersiap-siap untuk kegiatan pada malam hari. Yakni, pembacaan surat keputusan camat, tentang intensifikasi pertanian tahun  1994/1995. Surat ini dibcakan oleh Nuzul Ichsan, salah seorang pemuda lokal generasi kini yang juga mengikuti lokakarya Daur Subur. Pembacaan surat tersebut dikonsep untuk dibaca di halaman kantor desa lama itu, melalui video mapping, dan menyiarkannya secara online melalui akun facebook Solok Milik Warga, PKAN Pds dan instagram @solokmilikwarga. Aksi peformatif ini, dilakukan sebagai alternatif pengarsipan dan upaya menarik perhatian masyarakat lokal untuk menggali lagi sejarah kejayaan pertanian di lokasi Padang Sibusuk. Lokasi yang lahan persawahannya telah banyak beralih ke pertambangan emas.

Nuzul Ichsan, saat aksi performatif “Pembacaan Surat Keputusan Camat: Intensifikasi Pertanian tahun 1994/1995” di halaman kantor PKAN Padang Sibusuk.

Setelah itu, kami melanjutkan materi yang diisi oleh Fadlan Fahrozi, tentang kilasan sejarah, situasi kebudayaan lokal, serta profil pertanian Padang Sibusuk. Dari materi yang saya dengar Padang Sibusuk dulunya sempat didatangi Soeharto selaku presiden dan mencanangkan Padang Sibusuk sebagai penyandang gelar Lumbung Padi. Karena, seperti yang dikatakan Fadlan, produktivitas petani di sini dulunya cukup baik dan melimpah. Namun setelah itu, banyak lahan sawah yang beralih fungsi menjadi lahan tanam karet dan kapas. Dan sejak tahun 1996, menurut Paka Jon, salah seorang warga lokal yang cukup aktif mengikuti diskusi kami di PKAN, ada lahan-lahan yang mulai beralih fungsi menjadi tambang emas. Tapi itu bukan lahan sawah, ditahun 2004, baru mulai ramai aktivitas tambang pada lahan sawah warga.

Selain itu, juga banyak terdapat teknologi pertanian yang berasal dari akal-akalan warga, seperti gantungan baju untuk mengusir  beruk, dan jarek untuk perangkap babi hutan yang merarah ke areal persawahan warga, dan muncul pula tradisi berburu bersama. Tapi menarik menyadari kemunculan binatang-binatang ini di lahan pertanian. Entah binatang ini yang menjajah, atau itu memang kawasan bermainnnya. Setelah pemaparan materi dari Fadlan, kembali dilanjutkan dengan diskusi santai dan beristirahat.

Zekalver Muharam (Solok, 11 Juni 1994), adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai pengurus di Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Selain itu ia juga aktif membuat karya komik, mural, dan lukisan. Tahun 2018, bersama Gubuak Kopi, ikut berpameran di Pekan Seni Media, di Palu. 2018, sebagai seniman partisipan dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2. Dan aktif menjadi fasilitator bersama Program Daur Subur, sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.