Kincir, Riwayatmu Kini!

Hari kedua Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, Senin, 8 Januari 2018. Hari ini kegiatan diisi dengan “jalan – jalan” menyusuri Batang Lasi yang berada di daerah Gurun, Jorong Tapi Balai, Nagari Padang Sibusuak. Kegiatan “jalan – jalan” yang hanya diikuti oleh beberapa peserta ini menjadi semacam pengantar untuk materi riset, yang nanti akan dijalankan oleh setiap peserta lokakarya. Diajak “jalan – jalan” tentu saja aku senang. Tujuan jalan – jalan ini cuma ingin meninjau dan melihat–lihat kondisi di sekitar Batang Lasi dengan aliran airnya yang tak lagi deras, dan menurutku sedikit berbau. Di atas sungai berdiri kokoh sebuah jembatan permanen yang menjadi penghubung ke seberang sungai, yang oleh warga setempat dijadikan jalur alternatif dari Pasar Padang Sibusuk menuju Perumnas. Tak banyak hal yang dilakukan oleh rombongan kecil kami di tempat itu. Kami hanya berdiri di atas jembatan sambil memperhatikan keadaan sekitar.

Jalan – jalan itu kemudian bagiku menjadi tak biasa, begitu Albert Rahman Putra (Penggagas kegiatan Lokakarya Daur Subur) menunjukkan sesuatu yang tak aku sangka. Ternyata, tak jauh dari tempat kami berdiri di atas jembatan, terdapat sebuah kincir air tua yang tak lagi mengairi sawah. Saking tua nya, sampai – sampai wujud kincir air itu pun sudah tak tampak lagi. Tak hanya itu, tumpukan sampah yang dibawa oleh air bah yang terjadi beberapa waktu sebelumnya tampak memenuhi pemandangan di sekitar kincir. Ya, air bah yang membawa material berupa sampah – sampah itulah yang membuat wujud kincir jadi tertutup hingga tak terlihat.

Sawah yang kering dan berpasir di Padang Sibusuk. (Foto: Arsip Daur Subur, 2018)

Aku sempat melepaskan pandangan hingga ke seberang sungai, di seberang tampak olehku seperti bekas – bekas petak sawah yang kelihatannya terlantar. Sepertinya dulu daerah tersebut merupakan areal persawahan. Sungguh luas hamparan itu sebenarnya. Tapi kini telah berubah menjadi hamparan tanah kering, kerontang, berpasir, dan berbatu yang di sekelilingnya mulai tampak semak oleh tumbuhan perdu berduri. Tak semua memang, di beberapa bekas petak – petak sawah yang masih tampak, si pemilik tanah sepertinya masih berupaya untuk memanfaatkan lahan yang kritis dan tidak produktif itu dengan menanaminya jagung.

“Dulu daerah ini sangat hijau, dan merupakan salah satu areal persawahan yang memberi kontribusi sangat besar bagi produkivitas beras di Padang Sibusuk saking luasnya.” Begitu Albert memberikan keterangan yang membuat aku jadi manggut – manggut. “Tapi akibat aktivitas tambang emas, beginilah jadinya.” Albert melanjutkan keterangan yang selanjutnya membuat aku jadi terpana cukup lama. Setelah mengabadikan kondisi tempat itu dengan mengambil beberapa gambar, kami pun meninggalkan lokasi tersebut, dan pindah ke lokasi selanjutnya.

***

Jalur bekas rel di Padang Sibusuk. (foto: Arsip Daur Subur, 2018)

Dengan menyusuri jalan berbatu yang merupakan areal jalur kereta api, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi kedua. Lokasi berikutnya yang kami datangi adalah Cicingan yang menjadi bagian dari Jorong Kapalo Koto, Nagari Padang Sibusuk. Jalur kereta api itu sebenarnya adalah jalur lama peninggalan era penjajahan Kolonial Belanda, tapi sudah tak terpakai lagi. Bahkan, oleh warga setempat jalur rel itu sempat “dihilangkan” dengan cara menimbunnya. Namun di masa sekarang, pemerintah pusat berencana akan membuka kembali jalur tersebut, dimana nantinya jalur itu akan menjadi jalur alternatif di Lintas Sumatera yang membentang hingga ke Lampung. Begitu isu yang berkembang di masyarakat sekitar Padang Sibusuk. Rencana yang mulia kurasa. Tapi kenyataannya pembangunan kembali jalur kereta api ini tak berlangsung lama. Budi, salah seorang pengurus organisasi PKAN Padang Sibusuk yang menjadi mitra kegiatan Lokakarya yang digagas oleh Gubuak Kopi ini menyebutkan, pembukaan kembali dan peremajaan jalur – jalur rel itu dimulai awal tahun 2016. Tapi entah kenapa, masih di tahun yang sama yaitu sekitar akhir tahun 2016, pembangunan kembali rel – rel  itu pun terhenti. Berdasarkan informasi simpang–siur yang berkembang di masyarakat, kabarnya pembangunan itu terhenti karena masalah anggaran yang belum kunjung cair untuk periode  dan tahapan selanjutnya.

Di lokasi kedua, kembali aku mendapati areal persawahan yang telah gersang. Uniknya, di seberang sungai tampak sebuah kincir air yang masih berfungsi dengan baik. Tapi tak tampak kincir itu mengairi apa. Karena lagi – lagi areal persawahan di daerah itu telah berubah! Sejauh mata memandang yang tampak hanya kerusakan dengan kondisi tanah kering, kerontang, berpasir dan berbatu. Sama seperti kondisi kincir tua yang sudah melapuk dan akhirnya punah di lokasi pertama. Di sekitar kincir kedua ini juga terlihat tumpukan sampah memenuhi aliran sungai di sekitarnya, bahkan beberapa tampak tersangkut di pemutar kincir itu.

Tak jauh dari lokasi itu, aku mendapati dua kincir lagi. Kali ini kincir menjalankan peran dan fungsinya dengan benar, yaitu mengairi sawah. Aku dan rombongan kecil kami pun mendekati kincir yang ternyata difungsikan untuk mengairi 6 petak sawah. Itu adalah areal sawah yang tersisa di lokasi itu. Berjalan mendekati kincir, kami mendapati beberapa ekor kambing yang digembalakan pemiliknya di bekas – bekas petak sawah yang lagi – lagi telah kerontang, semua adalah akibat dari aktivitas penambangan emas. Sebenarnya tak banyak lagi  rumput yang tumbuh di situ. Bahkan sejauh mata memandang, kembali yang tampak adalah hamparan sampah – sampah yang telah mengering yang dibawa arus air bah. Tapi entah kenapa hewan ternak tetap saja digembalakan di tempat itu oleh pemiliknya.

Di lokasi tempat dua kincir yang masih berfungsi dengan baik tadi, kami bertemu dengan 3 ibu petani yang sedang beristirahat di sebuah pondok mungil yang terletak di pinggiran salah satu petak sawah. Saat kami tiba, mereka tampak tengah asik menikmati bekal makan siang. Salah seorang diantara mereka ternyata adalah pemilik 6 petak sawah yang tersisa itu, sisanya mengaku sebagai pekerja.

Akupun menyempatkan diri untuk mengobrol sambil lagi – lagi memotret mengabadikan beberapa spot yang tampak indah bila dilihat dari beberapa sudut. Darinya aku memperoleh beberapa infromasi terkait kondisi wilayah tempat aku berada saat itu. Dua kincir manual yang merupakan teknologi pertanian, yang masih berfungsi mengairi sawah di dearah itu, ternyata telah berusia lebih dari 5 tahun, dan sempat mengalami pergantian pada poros pemutarnya. Dalam obrolan santai itu, salah seorang ibu pekerja memberikan keterangan yang mencengangkan. Ternyata 6 petak sawah yang sedang mereka garap itu usianya pun tak lama lagi. Hanya tinggal sekali periode penggarapan saja. Setelahnya petak – petak sawah itu juga akan digarap untuk aktivitas menambang emas, yang “katanya” banyak terdapat di dalam tanah areal sawah yang tinggal tak seberapa itu. Maka nasib 6 petak sawah itu akan sama dengan kondisi sawah – sawah di sekitarnya, yang telah lebih dulu berubah menjadi lahan tidur, terbengkalai, tak terpakai karena telah rusak akibat aktivitas penambangan.

Dan bila lahan – lahan sawah kini telah menjelma menjadi lahan tidur, lalu akan jadi apakah kincir – kincir air yang meski tampak sederhana namun memiliki peran yang amat besar bagi dunia pertanian itu lagi?

Merupakan volunteer yang aktif di Desk Disaster WALHI Sumatra Barat. Sebagai alumni COP School #Bacth7 (Sekolah Konversi Orang Utan), ia saat ini menjalankan tugas sebagai Koordinator Forum Orangufriends Padang. Sementara itu, sebagai Representativ Officer Animal Indonesia Sumatra Barat, ia juga berperan aktif dalam upaya-upaya penyelamatan satwa liar dan habitatnya terkait sangketa lahan yang terjadi, serta masih tingginya konflik satwa dan manusia. Ia juga merupakan partisipan dari Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi dengan PKAN Padang Sibusuk (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.