Kincir Pak Pono

Catatan hari kedua Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk

Senin, 8 Januari 2018, menjelang siang kami berangkat dari markas PKAN menuju tempat bekas area tambang emas di Cicingan, Jorong Kapalo Koto, Padang Sibusuk. Di sana katanya masih ada beberapa kincir air yang masih aktif. Sebelum menuju lokasi, kami singgah dulu ke rumah nenek bang Albert yang berada di belakang pasar. Pasar ini tak begitu jauh dari markas PKAN, sekitar lima menit. Hanya saja pada saat itu tidak ada aktivitas warga yang berjualan dan seluruh toko yang berada di pasar tersebut masih tutup. Pasar ini sebenarnya adalah pasar pakan atau pasar mingguan, yang biasanya jatuh pada hari Selasa.

Menurut Albert Rahman Putra, salah seorang fasilitator Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, pasar ini cukup ramai, bisa melimpah hingga halaman rumah neneknya. Apa lagi kalau orang-orang musim mandompeng. Istilah yang biasa digunakan warga lokal untuk merujuk aktivitas tambang emas. Saya dan Riski berkesempatan melihat-lihat situasi pasar yang sepi dan mengambil beberapa foto. Katanya, sore nanti baru tenda-tenda/payung jualan di pasang, karena pasar sudah dimulai sedari subuh. Setelah cukup puas berkeliling di pasar, kami pun melanjutkan perjalanan ke lokasi bekas penambangan emas yang cukup dekat dari tempat kami beranjak. Sesampai di sana kami melihat beberapa area tambang emas yang permukaan tanahnya sudah kering, serta keras dan berbatu.

Lokasi bekas tambang emas itu, menurut Albert dulunya merupakan hamparan sawah. Namun, beberapa pemilik sawah kemudian memilih untuk mengalih fungsinya menjadi lahan tambang emas. Tapi masih ada beberapa lahan yang difungsikan sebagai sawah. Kami masih belum tau kenapa warga memutuskan alih fungsi demikian, sepertinya menarik untuk kita cari tahu lebih lanjut selama lokakarya ini. Sawah-sawah tersebut terhampar di dekat sungai yang disebut Batang Lasi. Di sana terdapat beberapa kincir air yang sudah tidak berfungsi lagi, dan ditutupi sampah-sampah yang terbawa arus sungai.

Setelah cukup lama melihat-lihat, kami pun melanjutkan perjalanan mengikuti aliran sungai Batang Lasi, ke hulu. Tak jauh dari lokasi sebelumnya, kami pun menemukan satu kincir yang masih berfungsi. Kincir tersebut terletak di seberang sungai, kami menyimaknya dari sawah bekas tambang yang sudah kering. Kami hanya bisa melihat dari kejauhan, karena tidak ada akses untuk menuju ke seberang sungai. Sebenarnya tidak cukup dalam, sekitar se-lutut orang dewasa, tapi siang itu kami sedikit malas main air.

Beberapa lahan kering pasca-tambang, dimanfaatkan warga untuk menanam tumbuhan lain, seperti jangung. Kurang lebih seratus meter berjalan, kami pun melihat dua kincir air yang masih berfungsi, yang berlokasi di Pulau Musajik, Jorong Tapi Balai, Padang Sibusuk. Kami pun menyusuri area persawahan bekas tambang yang kering dan berpasir, ke arah beberapa petak sawah yang masih bagus. Di sana kami bertemu lahan persawahan yang baru saja ditanami. Sawah basah itu, dialiri air yang diangkut kincir dari sungai.

Di persawahan tersebut kami bertemu langsung dengan pembuat kincir tersebut. Ia biasa disapa Pak Nasiah  yang ber-gala Pono Sati. Ia sehari-hari bekerja sebagai petani di sawah yang digarapnya itu. Di sekitaran sawah Pak Pono, banyak sawah lain yang sudah menjadi lahan tambang emas. Pak Pono pun menyebut, sawah yang baru saja ia tanam ini, akan menjadi yang terakhir tahun ini. Setelah panen, ia akan digarap menjadi area pertambangan emas. Menurut ibu-ibu yang membantunya menanami padi, di sekitaran sana banyak sekali emas, dan ia menaksir di area sawah milik Pak Pono ini juga banyak. Sepertinya lain kali saya ingin menggali lebih dalam kenapa ia ikut menjadikan lahan sawahnya menjadi tambang emas. Kali ini, saya terlalu terpesona dengan kincir tadi.

Pak Pono merakit kincir itu sendiri di tepian sungai yang berdekatan dengan sawah-sawah miliknya. Beliau sudah membuat lima buah kincir. Satu kincir dapat ia selesaikan dalam waktu kurang lebih seminggu, kadang bisa tiga hari.

Bentuk kincir tersebut menyerupai roda motor yang memiliki jari-jari, atau disebut amo-amo terbuat dari kayu yang ditancap bersilang pada bulan-bulan (potongan batang kayu yang menjadi poros), dan ujung kayu amo-amo tadi diikat pada belahan bambu yang melingkar. Lalu, di sela silangan amo-amo terdapat sami atau anyaman kulit bambu yang lebar untuk nanti didorong oleh arus sungai. Lalu di sisi terluar roda kincir, diikatkan tabung bambu dengan kemiringan tertentu, sehingga ketika ikut berputar dengan kincir – ketika di bawah ia mengambil air (tercelup), dan ketika di atas ia berposisi menuangkan air. Kulit bambu ini telah lepas kulitnya agar kincir tidak berat, selain itu kulitnya juga menjadi bahan anyam. Di sisi paling atas organ kincir terdapat penampung air yang dituang untuk diteruskan ke sawah melalui bambu yang sudah dilobangi atau pipa besar. Sederhanya, kincir hanya terbuat dari bahan, Bambu, Kayu, dan Kawat/tali sebagai pengikat. Tidak ada paku ataupun baut-baut.

Kincir milik Pak Pono yang kami lihat sore itu, yang satu sudah berumur kurang lebih lima tahun. Kincir itu sampai sekarang ini masih berfungsi untuk mengairi lahan persawahan yang cukup luas. Apabila ada bagian kincir air tersebut rusak atau sudah tidak layak dipakai, maka Pak Pono akan mengganti atau memperbaiki bagian yang rusak tersebut. Setelah cukup lama berbincang-bincang mengenai kincir dengan Pak Pono, dan hari pun sudah menjelang zuhur kami pun pamit untuk kembali ke markas PKAN.

***

Setelah zuhur, kami memulai sesi pembekalan Lokakarya Daur Subur yang dipandu oleh Albert. Ia menjabarkan materi tentang sejarah dan perkembangan media. Di antaranya, bagaimana media hadir, bagaimana ia berkembang sebagai industri, kepentingan politik, dan sebagainya. Serta Zekalver juga memberi pengantar terkait kehadiran film dan perkembanganya. Sore itu kita istirahat, dan pada malam harinya, Albert melanjutkan materi tentang situasi bermedia di Indonesia. Tentang media-media arus utama kita yang dikuasi pemodal besar yang juga merupakan elit politik, yang tengah berebut bangku kuasa di negara ini. Lalu, kini npada era Milenial, yang mana jika sebelumnya, pada masa Orde Baru media dikontrol ketat penguasa, lalu setelah reformasi bergulir media dikuasai pemodal tadi, dan kini media ada digenggaman kita. Namun, perlu kita mengimbanginya dengan pengetahuan dan pendidikan tentang media itu. Karena di era kebanjiran informasi ini, tanpa benteng yang kuat kita akan gampang diombang-ambing kepentingan orang-orang dibalik media.

Malam itu, selain para partisipan, juga hadir beberapa pemuda lokal. Setelah berdiskusi tentang media dan kemungkinan yang bisa kita lakukan dalam bermedia, malam itu kita habiskan dengan membaca beberapa karya cerpen A. A. Navis. Menurut Albert, bahasa sastra beliau, sangat menarik untuk menjadi referensi untuk mengkritisi persoalan yang ada disekitar kita, yakni dengan cara menertawakan diri sendiri.

Hafizan (Padang, 1995) biasa disapa Spis. Pernah kuliah di Pendidikan Seni Rupa di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang. Saat ini, ia aktif dalam berkesenian di bersama komunitas-komunitas seni di Sumatera Barat. Ia juga merupakan partisipan dari Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi #1 yang digelar Gubuak Kopi di Solok (2017), dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi dengan PKAN Padang Sibusuk (2018). Pada tahun 2018, ia juga terlibat sebagai salah seorang seniman kolaborator dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2 di Solok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.