Equality

Pengantar kuratorial pameran EQUALITY – Minang Young Artist Project 2017

…hanya sayang dalam fase perubahan jiwa ini, mereka terlalu disilaukan oleh kemenangan mengejar keuntungan materi sebanyak‐banyaknya, sehingga banyak menjelma jadi manusia materialistis
yang tak “sedia berbagi” dengan kaum,itu suatu sifat luhur dari  nenek  moyangnya, sedapat  mungkin  dalam  penjelmaan  baru  ini  dihindarkan.
– Oesman Effendi (1976)-

Pembacaan ‘seni rupa Minang muda’ adalah sebuah kerja panjang  yang menuntut kita untuk merunut sejarah perkembangan seni rupa di Sumatera Barat hingga kini. Tidak lupa membaca peran institusi-institusi kebudayaan, baik itu formal maupun non-formal yang turut mempengaruhi pola berkarya para pegiat seni di Sumatera Barat. Namun sayang, masih banyak peristiwa-peristiwa seni di Sumatera Barat yang belum terarsipkan dengan rapi. Beberapa yang terlacak menghantarkan kita pada pembacaan, bahwa: perlunya sebuah statement yang lebih segar untuk mendapatkan wacana seni rupa muda Minang.

Niatan serupa, pernah dibaca oleh Oesman Effendi di tahun 1970an. Dalam ceramahnya di TIM, kita bisa mendapat sekilas gambaran situasi berkesenian pada masa-masa sebelumnya.[1] Di masa-masa awal kemerdekaan, perkembangan berfokus pada teknik, pencarian identitas budaya negara baru, dan upaya maju serentak di berbagai daerah. Kita pernah mendengar munculnya kelompok atau gerakan seperti Seniman Muda Indonesia (1946) di Bukittinggi dan di beberapa kota lainnya. Lalu, berkembang latah seniman-seniman kita yang ingin seperti rekan-rekan di ibu kota, seperti Jakarta dan Jogja, yang kemudian juga berbuntut pada penyeragaman gaya ‘seperti idola’, yang secara kulturnya lebih menjanjikan materi.

Dari gambaran Oesman Effendi, setidaknya terdapat sejumlah persoalan yang dirangkum pada era 1970-an, yang beberapa diantaranya masih relevan untuk dibicarakan sekarang. Seperti rekan-rekan seniman yang berupaya untuk mencari celah untuk dapat dilirik oleh aparatur seni di kota besar – yang situasi kulturalnya berbeda dengan kita di Sumatera Barat yang egaliter dan matrilini – berkaum-kaum. Di sisi lain, tidak sedikit sebenarnya kita melihat seniman generasi kini yang sangat sadar akan posisinya sebagai agen kebudayaan dan peduli dengan pesoalan lokal. Namun, ke-abai-an akan sejarah perkembangan seni rupa dunia (termasuk lokal), dan kesadaran akan kemungkingan untuk menemukan bahasa baru, sering kali terbentur pada keberjarakan antara seniman dan publik persoalannya, terjadi eksklusifitas, dan kecenderungan bahasa visual yang ‘beraneh-aneh’. Tidak jarang pula kita temukan karya-karya yang tadinya ingin menentang konglomerasi, malah menggunakan bahasa konglomerasi itu sendiri.

Oesman Effendi juga mencatat, seniman kita yang merantau (dan kemudian dianggap berhasil itu) pulang, mengembangkan pola yang sama di kampung halaman. Upaya ini tentunya turut mempengaruhi pertimbangan artistik, estetika, dan ketertarikan isu oleh para seniman di Sumatera Barat lainnya.

Menarik sebenarnya membicarakan bagaimana ‘kita’ generasi Sumatera Barat kini merepresentasikan diri, membicaraka isu ‘equality’ dengan bahasa artistik. Kuratorial kali ini, pada dasarnya tidak untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian dan ataupun kegelisahan di atas. Pameran kali ini kita menampilkan sejumlah karya seniman dan kelompok yang cukup aktif berkarya di Sumatera Barat – terlepas dari orientasinya yang komersil atau non-komersil – sebagai bagian awal dari rangkaian besar membaca perkembangan seni rupa terkini. Memetakan dan membaca perkembangan wacananya, mengembangkan praktek lintas disiplin, dengan menekankan kesadaran posisi kesenian sebagai bagian dari masyarakat. Secara keseluruhan, kita juga mengupayakan bagaimana wacana itu dapat tetap berjalan atau tidak terhenti setelah karya selesai dipamerankan. Untuk itu, dalam pemeran ini, selain karya-karya hasil penggalangan, kuratorial juga turut berkepentingan mengundang keterlibatan sejumlah kelompok seni untuk mempresentasikan garapan kolektifnya, serta mengundang sejumlah penulis dan pemerhati seni rupa untuk mempresentasikan pembacaannya terkait wacana yang sedang kita usung.

Selamat menikmati pameran!

 

Padang, Oktober 2017

Albert Rahman Putra

 

_________________________

[1] Oesman Effendi, Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat, 1976. Catatan ini merupakan bagian dari ceramahnya yang disampaikan dalam Pekan Seni Antar Dewan Kesenian pada Juli 1976, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Teks ceramah juga dimuat di majalah Budaya Jaya No. 100 TH.IX September 2017

*teks ini sebelumnya dipublikasi oleh penyelenggara Minang Young Artisit Project, pada 4 November 2017 sebagai pengantar kuratorial pameran bertajuk EQUALITY yang diusung oleh sejumlah kelompok seni di Sumatera Barat.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.