Kuratorial Open Lab: LAPUAK LAPUAK DIKAJANGI

Kehadiran media dan teknologi terkini sering kali diwaspadai sebagai musuh utama kebudayaan asli atau kebudayaan lokal. Hal ini sejalan dengan konstruksi yang dibangun media arus utama, yang menampilkan kebudayaan asing sebagai sesuatu yang unggul, serta meningkatnya kesadaran kita sebagai warga dunia. Sementara itu, beberapa generasi kini – yang tidak sadar akan posisi kebudayaan lokal, dan yang abai akan cara kerja media – dikawatirkan beralih meninggalkan.

Berbagai upaya ‘pelestarian’ pun digencarkan oleh banyak pihak, namun tidak sedikit  prakteknya mengedepankan perspektif elite dan terpusat, yang jauh dari keberagaman dan upaya memaknai nilai-nilai kebudayaan lokal. Pembicaran mengenai tradisi pun sering kali diposisikan untuk melihat ‘kebiasaan’ (tradisi) yang terpisah dari kebudayaan nan sedang berlangsung. Kali ini, Gubuak Kopi bersama para kolaborator, berupaya membaca praktek pelestarian yang telah dilakukan, dan bagaimana ia merepresentasikan masyarakat pertanian saat ini. Selain itu, menarik menyimak upaya yang dilakukan oleh kolaborator: merebut teknologi sebagai alternatif dalam membaca isu tradisi, dengan tetap sadar akan sejarah kebudayaan lokal dan perkembangan terkininya.

Albert Rahman Putra
Solok, Oktober 2017


DESKRIPSI KARYA

KOMPILASI VIDEO LAPUAK-LAPUAK DIKAJANGI
Adalah catatan visual merekam fenomena musikal di sekitaran masyarakat. Dalam daftar putar ini terdapat sejumlah video merupakan aktivitas warga yang direkam dengan kesadaran musikal, serta beberapa video editan musikal, dan arsip dokumentasi seni Koleksi Gubuak Kopi dan sumbangan dari pengarsip kesenian lainnya.

INSTALASI MANGGARO
Manggaro adalah salah satu aktvitas masyarakat yang sangat fungsional dan musikal. Fenomena ini menarik dibaca, sebagai salah satu keberdayaan warga dalam mengatasi burung yang memakan padi ketika ia sudah mulai berbuah. Beberapa petani kini sudah mulai menggunakan jaring dan meninggalkan sawahnya pada masa-masa berbuah sekalipun. Namun beberapa petani yang tidak menggunakan jaring memilih menggunakan instalasi manggaro ini. Bentuknya bermacam-macam, warga mendisainnya sendiri sesuai kesanggupannya, menarik menyadari potensi visual dan musikal dari aktivitas manggaro ini, sebagai studi mengimajikan lahirnya sebuah tradisi.

SUARA-SUARA PAMENAN ANAK NAGARI
Pamenan anak nagari, atau juga kita pahami sebagai permainan anak-anak nagari adalah salah satu produk dari kebudayaan yang berkembang di kalangan remaja dan anak-anak. Pamenan anak nagari cukup beragam dan sudah sangat berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Para partisipan, mewakili generasi mereka sendiri, menggali kembali beberapa kenangan masa lampau tentang permaianan mereka.

SKETSA MANGGARO
Manggaro adalah salah satu tradisi atau aktivitas masyarakat pertanian di Sumatera  Barat dalam mengusir burung yang menjadi hama padi. Aktivitas manggaro pada dasarnya memiliki potensi musikal, visual, dan performatif yang menarik. Sketa Manggaro, adalah bagian dari studi menggali potensi visual aktivitas manggaro sebagai pendalaman wacara ‘tradisi seni rupa’ masyarakat pertanian di Sumatera, khususnya Minangkabau.

LANGKAH TIGO DI MEJA
Coretan kapur di papan tulis hitam, yang dikemas secara artistik melalui citra gambar bergerak dengan kesadaran media. Visual yang dipancarkan oleh proyektor ada meja putih ini mengajak kita membaca secara berulang-ulang pola koreografi dasar dalam tradisi gerak (tari ataupun pertunjukan randai, dan lainnya).

STUDIO RUANG KECIL
Ruang ini menghadirkan bebunyian kompilasi Daur Bunyi #1 yang ditangkap oleh audio recorder, dalam usaha menghayati bunyi-bunyi yang mempengaruhi karaktek musikal lokal. Rekaman diolah kembali di studio untuk menyoroti fenomena ritme bunyi yang akrab dalam keseharian warga. Ruang ini mengun pengunjung untuk mememjamkan mata, menajamkan pendengaran, dan memekakan insting musikal untuk menghayati dan merespon bebunyian alam sekitar.

Selain itu dalam karya kolektif ini kita juga memamerkan kalimat-kalimat instalasi mind maping, sebagai luapan artistik dari memori selama lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi yang digelar Gubuak Kopi, pada 18-30 September 2017 lalu.

_______________

Project Participants: Albert Rahman Putra, Zekalver Muharam, Volta Ahmad Jonneva, Delva Rahman, Muhamad Risky, Hafizan, Hendri Koto, Kiki Ramadhani, M. Yunus Hidayat.
_
Project Director/curator: Komunitas Gubuak Kopi/Albert Rahman Putra

________________

Selain karya kolektif, kuratorial ini juga mengundang sejumlah seniman partisipan untuk memperkaya pembingkaian isu terkait Lapuak-lapuak Dikajangi, antara lain:

DIAFORA
Adalah kelompok musik dari Padangpanjang yang memiliki ketertarikan dalam mengangkat kesenian tradisi Minangkabau untuk digarap ke dalam musik baru. Dalam open lab kali ini, Diafora akan mepresentasikan karya terbarunya yang dikembangkan dari kesenian sijobang yang berasal dari Limo Puluahkota – Payakumbuh. Kesenian ini diangkat dengan memasukan beberapa permainan instrumen di luar tradisi aslinya, serta penambahan beberapa teknik garapan untuk memperkaya rasa musikalnya. Dengan nuansa yang baru, kita tetap dapat merasakan ‘ruh’ dari kesenian sijobang itu sendiri.

BALEGA GROUP
Balega Group adalah satu kelompok musik yang aktif mengembangkan kesenian tradisi nusantara, khususnya Minangkabau ke bentuk yang lebih segar. Tidak hanya itu, Balega, yang diisi oleh musisi dengan beragam latar etnis mengusung tema keberagaman dalam konsep garapannya. Dalam beberapa karyanya, khususnya yang dipresentasikan di open lab ini, mengembangkan kemungkinan garap silang budaya, yang berpijak pada kegelisahan isu pertemuan sistem kekerabatan materilineal dan patrilineal. Menarik menyimak karya Balega, yang kaya akan teknik garap, yang mengemas isu secara cerdas melalui musik yang harmoni. Kelompok ini didirikan oleh Admiral bersama sejumlah mahasiswa ISI Padangpanjang sejak tahun 2012. Kelompok ini telah mempresentasikan karya-karyanya di festival musik nasional dan internasional, seperti pelatih workshop musik di Central Conservatory of Music, Beijing (China, 2013); Brave Music Festival (Polandia, 2014); pelatih workshop musik di HKU Roterdam, (Belanda, 2014); Pasa Harau – Art & Culture Festival (Indonesia, 2016).

MALAMANG
Pada kesempatan ini kita mengundang sekelompok ibu-ibu dari Banda Rabuk, Kab. Solok untuk menyajikan tradisi malamang dengan kesadaran perfomatif sebagai bagian dari studi kultur dapur di masyarakat pertanian, Solok. Malamang atau membuat ‘lamang’ adalah salah satu tradisi kuliner yang tumbuh di masyarakat pertanian di Minangkabau. Lamang sendiri biasanya menjadi salah satu menu utama dalam beberapa alek di Solok, terutama alek manyaratuih di Nagari Koto Baru. Ia dibuat bersama-sama oleh kelompok ibu-ibu. Tradisi yang merupakan aktivitas ‘dapur’ atau dibalik layar ini, pada dasarnya merefleksikan nilai-nilai kebudayaan lokal yang memperkuat rasa gotong royong, silaturahmi. Selain itu, secara spontan, ia juga memunculkan percakapan-percakapan yang informatif maupun hoax, namun ia tetap disadari sebagai sebuah cerita malamang. Ibu-ibu yang hadir kali ini adalah Ibu Her, Ibu Mimi, dan Etek Era.

PAK BADUT
Cahari atau pria yang biasa diknal dengan Pak Badut, adalah musisi dan pencipta lagu anak-anak yang berbasis di Solok. Ia sudah mendistribusikan lagu-lagunya yang sederhana, edukatif, dan bermuatan kebudayaan lokal ini dengan cara mampir ‘ngamen’ pintu ke pintu, sejak tahun 2008. Kehadirannya dengan kostum penuh warga dan penuh ‘akal-akalan’ ini disambut baik oleh anak-anak dan para orang tua di Solok. Tidak sedikit anak-anak di Kota Solok yang hapal lagu-lagunya. Kehadiran Pak Badut di era milineal ini cukup penting, sebagai alternatif pilihan musik untuk anak-anak.

RANDAI BATU TIGO
Adalah kelompok randai yang berbasis di Kinari, Solok. Randai adalah salah satu kesenian tradisi yang cukup kompleks. Di dalamnya terdapat unsur musikal, gerak, visual, dan teaterikal.  Pokok musikal dari randai pada dasarnya terdapat pada permainan dendang dan perkusi tapuak galambuak pemainnya. Tapuak galambuak biasanya membutuhkan sebuah galembong, yakni celana khas dengan pisak yang cukup lebar, menarik menyimak kelompok Batu Tigo ketika berlatih, ia menggunakan karung (plastik) yang biasa dipakai orang-orang untuk membungkus beras, kali ini desain itu mereka kondisikan untuk pengganti celana galembong. Alhasil tapuak galambuak meghasilkan bunyi yang khas, dan dari sini menarik pula menyimak bagaimana warga menemukan alternatif kebutuhan mereka dalam konteks sekarang. Kelompok ini beranggotakan remaja dan pemuda Kinari, dan secara rutin menggelar latihan. Minggu ini kelompok ini akan hadir di halaman Gubuak Kopi berbagi pukulan musikal bersama kita.

BAGAMAIK
Bagaimaik adalah salah satu kesenian musik yang cukup populer di Minangkabau. Secara musikal kesenian ini sangat dekat kesenian musik melayu, namun dalam teks dan vokalnya kita dapat merasakan karakter musik Minangkabau dapat menyatu dengan karakter melayu itu sendiri.  Dalam konteks ini, menarik menyadari bahwa kesenian gamaik merupakan pilihan hiburan utama masyarakat Kampung Jawa, Solok, yakni lokasi pemeran ini diselengarakan. Kehadirannya penting untuk dibaca, di tengah eksistensinya yang dikelola dan diminati oleh warga beragam etnis yang berdomisi di sana. Kampung Jawa atau yang juga disebut Kampuang Jao, adalah sebuah kelurahan kecil di Solok, Sumatera Barat yang orang-orangnya  dijuluki bersuku jambak, yang dalam hal ini bukan merujuk salah satu suku (klan) asli di Minangkabau, melainkan akronim dari Jawa, Minang, Batak, dan Kaliang (India). Gamaik kali ini akan menghadirkan grup Da Ben dan penyanyi-penyanyi (warga) dari Kampuang Jao.

____________________
Selamat menikmati pameran.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.