Batampek: Tradisi dan Elektronik

Senin, 25 September 2017, lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi sudah di hari ketujuh. Seperti hari-hari sebelumnya, para partisipan bersama fasilitator paginya sudah mulai mengumpulkan meteri foto, audio, dan video yang dibutuhkan untuk lokakarya, serta melanjutkan riseta terkait isu yang masing-masing partisipan dalami. Namun, hari ini, kita kembali memiliki agenda khusus, yakni kuliah umum “Tradisi dan Elektroakustik” bersama Ade Jhori.

Jhori Andela akrap disapa Ade Jhori, adalah seorang musisi dan komposer lulusan pascasarjana dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan minat studi Penciptaan Musik Nusantara (2014). Sejak tahun 2008 sampai sekarang aktif menggeluti musik, dengan mengembangkan kekuatan musik tradisional, khususnya Minangkabau dengan kesadaran teknologis dan multimedia. Sehari-hari, ia juga beraktivitas sebagai audio enginner  di ISI Padangpanjang. Dasar ilmu audio dan kesibukannya sebagai soundman di berbagai pertunjukan, memperkaya kemampuannya dan membantunya untuk menciptakan karya-karya baru. Ia tidak hanya sebagai komposer atas karya musiknya, tetapi ia juga aktif sebagai komposer musik tari, musik film, arransemen musik, dan lainnya. Dalam sesi ini, Ade diharapkan dapat menjabarkan motif-motif (alasan/pola) penciptaan karya terkini dengan kesadaran teknologis.

Ade Jhori saat mempresentasikan materinya: Musik Tradisi dan Elektroakusiktik, di kantor Komunitas Gubuak Kopi, 25 September 2017. (foto: Arsip Gubuak Kopi)

Ade memulainya dengan mamaparkan sekilas tentang praktek elektroakustik dunia. Seperti yang pernah disinggung dalam sesi “Membajak Teknologi” bersama Muhammad Riski, ia juga menyebut nama Pierre Schaefer, sebagai salah satu seniman audio yang awal-awal melakukan pergerakan ini[1]. Schaefer di eranya mengembangkan dan mendistribusikan musiknya melalui radio. Ia merekam bunyi-bunyian yang ada disekitarnya untuk diolah kembali. Dan kini kita sampai di era digital dan perkembangan teknologi yang beragam.

Setelah menjabarkan slide presentasinya, Ade mengajak kita menonton dokumentasi karyanya yang berjudul “Batampek”, karya ini sebelumnya ditampilkan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam, Kampus ISI Padangpanjang, pada tahun 2014. Karya yang juga diperuntukan sebagai tugas akhirnya menyelesaikan studi Pascasarjana di kampus tersebut, teridiri dari 3 bagian. Bagian pertama merupakan rekaman suara-suara penonton pengunjungan gedung seni pertunjukan. Para penonton disajikan karya-karya fotografi, dan saling berkomentar. Pada bagian ini, Ade memposisikan suara-suara penonton tersebut sebagai musik. Lalu pada karya bagian kedua, setelah penonton memasuki gedung perntunjukan, rekaman suara penonton saat memasuki gedung pertunjukan tadi kembali diputar. Audio (rekaman suara penonton) tersebut kembali diputar dan direspon melalaui teknologi digital, diantranya dengan memanfaatkan teknologi ‘efek gitar elektrik’ serta permainan software FL Studio, dan lainnya. Sehingga suara-suara penonton menjadi menarik dan terdengar sebagai musik baru. Lanjut pada karya ketiga, Ade memadukan permainan musik elektronik, digital, dan tradisi dengan mengembangkan repertoar lagu basijobang. Pada karya ketiga ini, kita dapat merasaka kehadiran teknologi dan musik-musik digital dapat padu dan mendukung kesenian tradisi.

Setelah menonton karya tersebut, Ade sedikit menjabarkan alasan pengarapannya. Lalu kami pun turut menyampaikan pendapat. Saya, dan beberapa kawan, jujur saja baru menyaksikan pertunjukan demikian. Di Padang belum ada yang semacam itu. Tapi kita sangat tertarik menikmati bagaimana musik elektronik dan tradisi itu dapat bersatu. Kemudian, Hendri Koto, merespon karya bagian satu dan dua, mengutip pendapat Otto Sidarta, bahwa seniman (musisi/komposer) yang terlatih, dapat merasakan segala aktivitas di sekitarnya sebagai musik. Ia tinggal dikemas dan diolah kembali menjadi sesuatu yang baru. Lalu, Albert juga menambahkan, yang paling menarik dari musik elektronik adalah kemampuannya mencapai bunyi yang tidak dapat dihasilkan oleh  instrumen tradisi atau alat musik lainnya. Mengembangkan kemungkinan eksplorasi medium masing-masing – baik itu elektronik, maupun tradisi – dengan kemampuan komposisi yang baik, sehingga kita dapat merayakan perkembangan teknologi terkini dan tetap berpijak pada nilai-nilai lokal, adalah salah satu tantangan menarik untuk dunia musik di era mileneal ini.

Setelah menutup diksusi sore itu, Ade memberi kita pelatihan singkat untuk mengolah sound melalui software FL Studio. Menarik untuk mengotak-atik rekaman-rekaman audio partisipan dengan permainan software ini.

_____________________

[1] Delva Rahman, Membajak Teknologi di Hari Kedua, Gubuak Kopi, 2017. (https://gubuakkopi.id/2017/09/20/membajak-teknologi-di-hari-kedua)

Volta Ahmad Jonneva (Kinari,1995) lulusan Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Salah satu pendiri Layar Kampus, sebuah inisiatif ruang tonton alternatif di kampusnya. Tahun 2018 lalu, ia juga terlibat sebagai tim kuratorial pameran Kultur Sinema - ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. 2019, ia mengkuratori sebuah pameran stikel bertajuk "Lem In Aja" bersama Rumah Ragam di Kota Padang. Ia juga merupakan salah seorang partisipan program Milisifilem di Forum Lenteng Jakarta (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.