Nonton di Simpang Kamboja

Sabtu, 23 September 2017, adalah hari kelima lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi. Pada hari ini para partisipan kembali melanjutkan riset mereka ke lapangan. Kiki seorang Partisipan melanjutkan risetnya di sekitaran Kota Solok, untuk mencari Audio, Video dan juga Foto-foto yang berkaitan dengan ‘kultur dapur’ begitu juga Joe Datuak mengumpulkan bahan terkait silat dan yang lainnya. Sorenya, kami melanjutkan mempersiapkan program penayangan film: Sinema Pojok. Penayangan kali ini dilakukan di Simpang Kamboja, Kampuang Jawa Kota Solok. Lokasinya cukup dekat dari markas Komunitas Gubuak Kopi.

Sebelum pemutaran kami mempersiapkan tempat buat pemutaran, mulai dari membersihkan semak-semak yang ada di sekitar tempat pemutaran. Memang tempat penayangan kali ini terbilang tidak biasa. Karena biasanya selain di markas Gubuak Kopi, kita melaksanakannya di lapangan atau di taman kota. Tapi kali ini, sengaja kita memilih Simpang Kamboja. Selain tempat ini cukup ramai dengan pedagang, kita juga ingin mengajak warga bersama-sama monyoroti soal kebersihan tempat ini. Siang menjelang sore itu, Saya, Riski, dan Zaekal mempersiapkan layar di kantor Gubuak Kopi untuk dibawa ke Lokasi pemutaran untuk di pasang di tempatnya. Para partisipan dan warga di sekitar, juga ikut membantu untuk mempersiapkan tempat pemutaran kali ini. warga-warga yang berjualan di sekitar tempat pemutaran, juga ikut membantu. Bantuannya macam-macam, mulai dari meminjamkan alat, tenaga, dan juga dengan sidikit makanan dan minuman.

Sore harinya, warga-warga di sekitaran Kampung Jawa mulai berdatangan. Ada yang hanya untuk belanja, untuk menonton, ataupun beberapa warga lainnya yang penasaran dengan apa yang sedang kami kerjakan. Pada awalnya kami sedikit ragu mengingat keadaan cuaca sore itu yang mendung dan gerimis. Tapi syukur malam itu, hari tidak hujan.

Pada penayangan kali ini, kami menyajikan film Asrama Dara, yang disutradarai oleh Usmar Ismail (1958). Film ini bercerita tentang kisah sekelompok perempuan yang tinggal satu asrama, di ibu kota, yang memiliki persoalan masing-masing di zaman modern ini. Sebelum memutarkan film Asrama Dara, kami memutarkan dokumentasi singkat gotong royong sore tadi. Video dokumentasi ini kita buat dengan memanfaatkan teknologi dan fitur yang disediakan telepong genggam saja. Cukup cepat dan instan dengan hasil seadaanya. Warga sangat senang menoton video tersebut, mereka tertawa melihat temannya yang ada di dalam video, ataupun peristiwa-peristiwa lucu yang terekam.

Tepat pukul 20.00 Wib, kita memutarkan film Asrama Dara. Selain warga yang serius menonton, malam itu juga diramaikan oleh warga yang sekedar ingin nongkrong, ataupun belanja di warung-warung di Simpang Kamboja.

Selesai pemutaran kami mulai berkemas untuk menuju kantor Gubuak Kopi. Selanjutnya kami berdiskusi mengenai film ini yang dimoderatori oleh Albert. Masing-masing memberikan kesannya terkait film tersebut. Seperti Zaekal, Henri Koto, dan Kiki, sangat menyoroti ide-ide emansipasi oleh para ‘dara’ dalam film ini. Namun juga terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi. Albert menambahkan, menarik menyimak film ini dikemas. Bahwa, asrama tempat para dara ini, terdapat beberapa dara dengan beragam persoalan di masa itu. Masa, ketika Indonesia masih sebagai negara baru, yang menyematkan cita-cita untuk maju dan setara dari segi ilmu pengetahuan, tetapi juga berusaha kiritis terhadap budaya yang datang dari barat, dengan kesadaran akan situasi dan nilai-nilai sosial serta kebudayaan lokal yang beragam. Selain itu, masih banyak hal lainnya yang kita bahas, termasuk peran film itu pasa itu, dan menarik untuk ditonton lagi sekarang di era kesetaraan yang lebih luas, persoalan penokohan yang tidak tunggal, gambar dan sebagainya. Namun, dalam hal ini Albert berusaha mengerucutkannya sesuai dengan agenda lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi. Menarik sebenaranya melihat Usmar Ismail waktu itu yang sangat mendukung kemajuan budaya dan pengetahuan, tetapi tetap mengkritisinya dengan sadar akan situasi budaya Indonesia waktu itu yang beragam dan nilai-nilai sosial yang patut dijadikan benteng untuk terus bergerak maju.

Volta Ahmad Jonneva (Kinari,1995) lulusan Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Salah satu pendiri Layar Kampus, sebuah inisiatif ruang tonton alternatif di kampusnya. Tahun 2018 lalu, ia juga terlibat sebagai tim kuratorial pameran Kultur Sinema - ARKIPEL Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. 2019, ia mengkuratori sebuah pameran stikel bertajuk "Lem In Aja" bersama Rumah Ragam di Kota Padang. Ia juga merupakan salah seorang partisipan program Milisifilem di Forum Lenteng Jakarta (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.