Perjalanan Pinang

Siang itu, 16 Juni 2017, sehabis shalat Jumat, saya bersama seorang rekan berkunjung ke beberapa rumah warga penjemur pinang, yaitu rumah Da Eng dan rumah Buk Yen. Saya bertujuan melanjutkan observasi terkait proses pemetikan pinang, mulai dari batang sampai ke rumah si pengolah, dan berlanjut pada tempat penjualan oleh pengepul, serta observasi terkait pembuangan limbah pinang dan seterusnya. Rumah pertama yang saya kunjungi adalah rumah Buk Yen. Kebetulan siang itu Buk Yen sedang tidak di rumahnya, meskipun ada pinang yang dijemur di halaman. Jarak rumah Buk Yen dengan rumah Da Eng tidak terlalu jauh, saya langsung menuju ke rumah Da Eng. Beberapa waktu lalu, saya pernah melihat Da Eng menjemur pinang di halaman Sekolah Dasar Negeri (SDN) 13 Kampung Jawa, Kota Solok, yang juga tepat berada di depan rumahnya.

Siang itu kebetulan sekali saya bertemu seorang perempuan paruh baya di depan rumahnya. Ia memegang sebuah parang sambil mengayunkannya pada sebuah benda bulat, yang kemudian saya tahu bahwa itu adalah pinang. Sontak kami menghampiri si Ibu. Ternyata ia adalah orang tua dari Da Eng, yang biasa disapa Buk Yet. Sekeranjang pinang yang telah dibelah sengaja ditaruh di sebelahnya, sementara beberapa belahannya berserakan di sekitar andasan, yakni potongan pohon tempat pinang dicatuk. Satu, dua, dan tiga belahan juga terpelanting beberapa meter dari lokasi pencatukan. Belahan yang tercecer itu sengaja belum dikumpulkan, karena sekeranjang pinang belum selesai dibelah.

Saya sedikit penasaran berapa harga pinang ini dijual. Setelah saya tanya, ternyata sedikit berbeda dengan dugaan saya sebelumnya. Awalnya saya mengira harga pinang bulat berkisar Rp.5.000,- sampai Rp.7.000,- per-kilonya. Sebagian besar masyarakat menurut saya berani mengambil keuntungan separuh dari modal yang dikeluarkan. Hal tersebut menimbulkan perkiraan harga dihitung dari sepertiga atau setengah dari modal yang dikeluarkan. Waktu ditanyakan kepada Buk Yet, ia menyebutkan harga pinang bulat saat ini Rp.2.000,- per kilo. Ini merupakan harga rata-rata, baik itu pinang berkualitas super yang berukuran lebih besar, ataupun pinang biasa.

Di samping rumah Buk Yet juga berjejer beberapa keranjang pinang, yang ia dapati dengan memetiknya di sekeliling kampung. Biasanya ini dilakukan oleh Da Eng, yang kebetulah tepat saat itu pergi menjemput pinang ke suatu tempat. Selain keliling kampung, Da Eng biasanya mendapati telfon dari orang yang berniat menjual pinang siap panen.

Kawasan jajahan Da Eng selain di sekitar tempat tinggalnya, juga meliputi daerah Paninjauan, Aripan, dan Kuncia yang berajak sekitar 15 hingga 20 menit dari Kampung Jawa. Perjalanan mencari pinang tersebut tidak selalu membuahkan hasil yang diinginkan, bisa jadi orang lain berperofesi sama lebih duluan mendapatkannya, jadi dalam hal ini membangun kepercayaan dan jaringan juga penting.

Saya berbagi pengalaman kepada Buk Yet terkait pengolahan pinang yang pernah saya lakukan bulan lalu. Saya mempraktekkan cara pengupas pinang dari cangkangnya tanpa membelahnya terlebih dahulu. Meskipun cukup memakan waktu, tapi keuntungan yang didapati menurut saya dihargai setara dengan waktu dan pengerjaannya. Waktu itu pinang yang saya olah dihargai Rp.14.000,- per-kilogram. Ketika mengupas pinang dari cangkangnya saya lakukan, Buk Yet menerangkan bahwa hasil yang dihargai seperti itu disebut pinang super bahkan lebih berharga lagi pinang belah koin yang harganya berkisar Rp.15.000,- sampai Rp.45.000,- per-kilonya, yang ini kebanyakan dicari oleh pengepul yang berasal dari Payakumbuh.

Para toke bersaing untuk membeli pinang atau rempah lain dengan harga tinggi, tergantung modal dan jaringan yang telah dibangunnya. Bagi pengolah pun, sebelum dijual kepada pialang dalam daerah, juga membandingkan harga yang ditawarkan antara satu dengan yang lain. Sekiranya sudah menemukan pialang dengan tawaran yang tinggi, pasti kepada pialang tersebut ia menjual hasil olahannya tersebut.

Dari hal tersebut saya kira wajar saja pinang tersebut saat ini dicari oleh toke-toke besar, karena banyak manfaat yang sebagian besar berkasiat sebagai bahan obat-obatan. Beberapa  kegunaan dan khasiat buah pinang yang saya ketahui, di antaranya juga tersebar di internet seperti yang lakukan orang tua-tua di Minangkabau maupun di tanah Batak. Mereka sering mencampurkan buah pinang menjadi campuran sirih mereka, alhasil gigi mereka masih tetap awet dan kuat hingga mereka tua bahkan sampai meninggal dunia. Selanjutnya, karena mengandung arekolin, ia juga dikenal berkhasiat untuk merangsang hormon seksual pada pria. Selain itu, buah pinang berkhasiat untuk mengecilkan rahim pada wanita yang baru melahirkan, dan kandungan flavonoidnya dapat menghambat dan mencegah tumbuhnya sel-sel kanker. Lalu, buah pinang juga dikenal bisa mencegah penyakit mata/katarak di usia tua, mimisan (hidung berdarah), mengurangi dan mengatasi rasa nyeri ketika menstruasi pada wanita, dan masih banyak lainnya.

Selain itu, saya juga penasaran apa yang dilakukan selanjutnya dengan limbah pinang, apakah mungkin ia diolah kembali. Jawaban lugas yang saya dapatkan,

“kalau saroknyo ko, bacampak’an se ka batang aia dakek siko ko. Yo kalau ado nan maolah baliak, mungkin bisa lo dijadian mah, ndak ka babuang bagai doh.” (Kalau sampah ini, dibuang saja ke sungai yang dekat dari sini. Seandainya ada pengolahan limbah ini, mungkin kami akan bawa kesana dan tidak akan dibuang di sana), kata salah seorang penjual pinang kering ini.

Membuang sampah ke sungai sepertinya sudah menjadi kebiasaan warga sekitar sini, atau mungkin karena tidak tersedianya bak sampah, atau mungkin ada hal lain. Saya berinisiatif menelusuri sungai tempat pembuangan limbah tersebut.

Sekitar 50 meter dari kediaman Da Eng, terdapat sebuah jembatan yang di bawahnya dialiri sungai kecil yang di kenal degan Batang Binguang. Sungai ini mengalir dari Nagari Kuncia, Laiang, Tanjuang Paku, Nan Balimo, Sawah Sianik, Tembok, Kampuang Jao, dan Galanggang Batuang, lalu menyatu dengan Batang Lembang. Pinggir sebelah kiri sungai ini terdapat tumpukan sampah rumah tangga, dan beberapa jenis sampah lainnya, termasuk sampah pinang. Menurut saya, kurangnya perhatian pemerintah dalam memfasilitasi sarana pembuangan sampah di sekitar sana, manjadi salah satu penyebab banyaknya sampah di sungai ini. Hal ini saya ungkapkan karena di sepanjang perjalanan ke lokasi tersebut, hanya satu unit bak sampah yang saya temui, dan posisinya lebih dekat ke jalur utama, sulit dijangkau beberapa warga di tepian sungai.

Di atas jembatan terlihat limbah pinang yang berserakan. Kulit pinang ini sudah mulai kering, kemungkinan dibuang sekitar satu hari yang lalu. Saya memasuki sungai tanpa beralaskan sendal, limbah yang ada di dalam sungai ternyata tidak hanya kantong plastik yang tersangkut, tapi juga ada pecahan piring, dan sampah-sampah yang berbobot berat lainnya, yang mengendap di dasar sungai. Saya tidak menemukan limbah pinang di sana. Lalu, ingatan saya kembali pulih, bahwasanya tadi malam hujan melanda Kota Solok, barang semuanya hanyut. Tapi ketika hendak naik ke darat, di sisi pinggir sungai, ternyata saya menemukan banyak limbah pinang.

Informasi dan pengetahuan, serta pengalaman terkait pemanfaatan sarana dan prasana yang tidak sesuai fungsinya, bisa berdampak tidak baik terhadap kita dan generasi setelah kita.

Sabtu siang, saya kembali ke tempat Buk Yen, pinang yang sudah dipisahkan dari cangkangnya sengaja dibentang sepanjang halaman rumahnya. Rumah keliahatan sepi, tapi pintu sengaja di buka separuh mungkin memberi isyarat bahwa ada orang di rumah ini. Seekor anjing buruan diikat pada tiang kosen rumah itu. Sedang di bagian dalamnya terdapat dua ekor lagi yang juga terikat di kusen jendela rumah tersebut. Karena tidak diberi daun jendela ataupun kaca layaknya rumah-rumah lain.

Dari halaman rumah itu agak dekat dari pintu, saya panggil memastikan ada orang atau tidaknya sambil mengucapkan salam. Terdengar sahutan dari seorang bapak sambil mengangkat sebuah ember berisikan kain yang kelihatannya baru selesai dicuci.

Sekedar basa-basi, saya mulai bertanya pada si bapak sambil memperkenalkan diri, karena baru sekali ini saya bertemu dengannya. Sambil menjemurkan pakaian, saya terangkan bahwa kemaren dan beberapa waktu lalu saya pernah datang ke tempat ini dan berbincang-bincang soal. Bapak tadi menyambut pembicaraan dengan ramah, bahkan tak sungkan mempersilahkan saya masuk untuk melihat pinang sudah siap dijual kepada pengepul. Sasampainya di ruang belakang, memang terdapat kiloan pinang dilantai nyaris memenuhi ruangan itu. Semua ini sengaja dikumpulkan dahulu sebelum dijual langsung ke toke besar yang berada di Padang. Ini merupakan usaha salah seorang anaknya yang dan pinang ini akan disetor ke sana. Kenapa ke Padang? Menurutnya harga di sana lebih tinggi dari pada di sini. Di Padang harga bisa mencapai Rp.24.000,- per-kilo.

Pinang yang telah terkumpul kali ini mencapai ±200 Kg, di kumpulkan selama satu minggu. Sebelumnya pernah Rio menyewa sebuah kebun tak jauh dari wilayah Kampung Jawa. Di sana terdapat ± 600 batang pinang, dikontrakkan selama 6 bulan. Selama disewa baru 2 kali dipanen. Dengan panen sebulan sekali tersebut pernah mendapatkan hasil mencapai 1,5 Ton. Kebun tersebut disewa dengan harga Rp.12.000.000,-. Andalan penyewa yang sangat membantu biaya sewa yaitu dari penjualan pinang muda. Pinang muda ini, lebih cepat dibeli pengusaha-pengusaha minuman sari buah atau jus. Paling lama ditaruh di rumah selama tiga hari. Tidak hanya pengusaha minuman sari buah, pengepul dari Payakumbuh pun banyak yang mencarinya. Untuk dikirim keluar kota seperti Pekan Baru, Medan, dan lainnya.

Selain usaha pinang, Rio juga jadi pialang untuk buah atau rempah lainnya, seperti manggis, kulit manis, cengkeh, dan durian. Ibarat buah atau rempah yang sedang musim waktu itu, ia siap untuk jadi anak galeh yang menyetor pada toke-toke besar diluar kota.***

 

 

Biasa disapa Joe atau Datuak atau Joe Datuak (Muaralabuh, 05 Mei 1989), saat ini aktif di Komunitas TAKASIBOE (Takaran Seni Boedaja) Solok Selatan sebagai Inisiator sekaligus Sekretaris Umum. Jenjang pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Fakultas Seni Pertunjukan Prodi Seni Karawitan dan tamat di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Selain itu sering berkeliaran diluar rumah keliling kampung untuk mencari teman yang sudah tua-tua untuk mencari informasi terkait Perkembangan Seni Budaya Tradisional di Daerah Domisili (Solok Selatan). Ia juga merupakan salah seorang partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur oleh Gubuak Kopi (2017); Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi, Gubuak Kopi, 2017; dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi PKAN Padang Sibusuk (2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.