Mensketsa Teknologi Pertanian

Sebelumnya memaparkan terkait sejarah perkembangan media di hari pertama. Di hari kedua, Albert Rahman Putra mengerucutkan materi pada apa yang menjadi tema utama lokakarya itu sendiri, Kultur Daur Subur. Topik ini pada dasarnya membahas keterkaitan media sebagai sebuah aktivitas kebudayaan, perantara pesan, maupun teknologi, serta kaitannya dengan perkembangan pertanian terkini. Albert mengawali materi dengan mengutip catatan kedatangan bangsa Eropa pertama di dataran tinggi Minangkabau, yakni Sir. Thomas Stamford Raffles di tahun 1818. Dikatakan bahwa ia sangat kagum akan cara-cara pertanian di dataran tinggi Sumatera Barat, yang sangat maju. Kekayaan alam yang melimpah serta pengetahuan tentang pertanian yang baik kemudian membuat Eropa dan Belanda yang sebelumnya hanya berkedudukan di pelabuhan, berkeinginan kuat ingin menjajah di dataran tinggi.

Teknologi pertanian”Kincia Panumbuak Padi”. Foto: Daur Subur-Gubuak Kopi, 2017

Berikutnya Albert menjabarkan kemajuan pertanian itu dengan mengupas unsur-unsur kebudayaan Minangkabau. Tujuh unsur kebudayaan yakni, sistem bahasa, teknologi, sistem sosial, sistem ekonomi, pengetahuan, kesenian, dan kepercayaan, seperti yang dijabarkan Albert, mencerminkan betapa akrabnya masyarakat Minangkabau dengan praktek pertanian.

Diskusi berlanjut pada dampak-dampak media tentang pertanian, tentang bagaimana pertanian kini dianggap sebagai profesi ‘yang dikasihani’, tentang infrastruktur yang ada tidak begitu mendukung perkembangan pertanian yang lebih baik, hingga generasi kita kini sibuk bercita-cita mencipta mobil ketimbang mencipta invasi-inovasi untuk mendukung perkembangan pertanian. Perubahan-perubahan padangan terhadap pertanian salah satunya dipengaruhi oleh praktek media. Berkaitan dengan hal tersebut, melalui lokakarya ini Gubuak Kopi mengajak para partisipan mengembangkan media sebagai counter pandangan tersebut, serta mendukung munculnya sebuah inisitaif literasi pertanian. Di antaranya bisa kita lakukan dengan pengarsipan, memetakan, mengemas sebagai pengetahuan, dan mendistribusikannya melalui media, maupun dengan praktek media lainnya secara kreatif. Melalui lokakarya ini, di antaranya kita mencoba menggali kembali beberapa teknik dan teknologi pertanian yang pernah dikembangkan oleh masyarakat, ataupun yang masih dijalankan.

Sketsa Karamba oleh Zekalver. Foto: Daur Subur-Gubuak Kopi, 2017

Dengan kekayaan alam serta cara-cara pertanian yang sangat beragam, tentu masyarakat Minangkabau tidak lepas dari kemajuan teknologi pendukung pertanian saat itu. Berbagai ide kreatif dalam pendukung teknologi pertanian pada masa itu, ternyata masih ada dan bertahan keberadaannya sampai saat ini. Dan itu termasuk dalam riset Gubuak kopi dalam lokakarya “kultur daur subur”. Sebelumnya kita telah mengumpulkan beberapa narasi yang berkembang di antara warga terkait lingkungan hidup dan pemanfaatan lahan pertanian khususnya di Solok. Sementara itu para partisipan terus memperdalam tulisannya, mereka juga diminta untuk mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi dan pengetahuan pertanian tradisional di Solok bersama para fasilitator. Data ini nantinya akan diarsipkan dan didokumentasikan secara kreatif, salah satunya dengan mentransfernya ke bentuk sketsa gambar.

Pada Jum’at 16 Juni 2017 lalu, masih dalam rangkaian lokakarya “Kultur Daur Subur”, saya bersama beberapa partisipan berkeliling sekitaran Kelurahan Kampung Jawa, melihat aktivitas warga sambil mengabadikan. Selang tak beberapa lama kami berjalan, saya melihat pemandangan menarik, yaitu aktivitas warga yang sedang menyemprotkan pupuk pada buah naga. Saya pun berhenti, meminta izin untuk mengambil gambar kepada bapak yang sedang menyemprotkan pupuk itu. Saya penasaran pupuk apa yang digunakannya. Saya kira ada campuran khusus untuk buah naga ini. Buah tersebut katanya sudah berumur kurang lebih satu setengah tahun. Dan ternyata pupuk yang digunakan sederhana saja, hanya campuran pupuk kandang dan urea.

Setelah mengabadikan beberapa gambar di kebun buah naga itu, kami pun melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya, saya bersama teman-teman partisipan tiba di kediaman Buya Khairani, seorang tokoh masyarakat di Ampangkualo, Kelurahan Kampung Jawa, Solok. Selain tokoh masyarakat, ia juga aktif mengisi ceramah adat di siaran radio lokal, setiap hari minggu dan hari rabu. Di sela kesibukanya, ia juga aktif membuat karya ukiran, pajangan, dan membuat alat-alat kerja yang dikemas secara kreatif. Itu semua ia buat dengan memanfaatkan limbah ataupun bahan-bahan yang ada di sekitar. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya pada 13 Juni 2017, ia juga menjadi salah seorang narasumber dalam rangkaian lokakarya Kultur Daur Subur, yang diadakan oleh Gubuak kopi. Pegiat Gubuak kopi beserta partisipan telah beberapa kali bertemu dan mengunjungi Buya Khairani, guna memperdalam informasi terkait perkembangan teknologi pendukung pertanian. Ketika itu, Buya menjabarkan pada kami terkait kreativitasnya tadi. Selain itu ia sempat menyinggung beberapa teknologi pertanian, yang sangat berhubungan dengan tema lokakarya kali ini. Menurut Buya, teknologi pertanian itu juga merupakan kreativitas masyarakat Minangkabau pada masa lalu, dan ia sangat fungsional. Kedatangan saya hari ini ke rumah Buya tak lain menggali ingatan Buya terkait teknologi itu, untuk kita arsipkan dan baca lebih lanjut.

Sketsa Isoh Padati oleh Buya Khairani. Foto: Daur Subur-Gubuak Kopi, 2017

Dari sekian nama teknologi pertanian yang disebutkan Buya, ternyata masih banyak dari kami yang belum tahu alat-alat itu. Salah satunya yang beliau jelaskan adalah “isoh padati”, yaitu transportasi alternatif yang menggunakan bantuan tenaga sapi atau kerbau. Alat ini dapat mempermudah orang-orang saisuak (orang zaman dulu) dalam mengangkut kayu-kayu besar di pebukitan. Transportasi inilah yang paling cocok dan sangat membantu orang-orang membawa beban berat. Berat barang bawaan tidak akan terlalu membebani kerbau, karena dalam hal ini posisi kayu-kayu besar tadi tidak disandang oleh kerbau, melainkan ditarik atau diseret. Kayu direbahkan dan dikaitkan pada padati yang disandangkan ke pundak kerbau. Kemudian di ujung depan kayu yang diseret itu, disumpal dengan bagian luar kulit kelapa yang bertekstur licin, sehingga ujungnya menjadi tumpul dan lebih mudah melaju. Dalam penggunaannya, orang tidak perlu menaiki “isoh padati” ini, mereka hanya mengiringi si kerbau atau sapi sembari memegang tali yang terikat pada padati sebagai pengendali alur jalannya. Selain untuk menarik kayu, isoh padati ini juga bisa dipakai membajak sawah, namun sebelumnya telah dipasangkan singka di bagian bawah padati.

Selain isoh padati, ada juga alat pendukung pertanian lainnya yang di­se­but “Kudo Baban” atau  kuda beban. Disebut begitu, karena memang masyarakat mengandalkan kuda untuk mengangkut beban ke­bu­tuhan hariannya, seperti lemari, semen, beras, garam, dan sice. Kondisi jalan tanah yang licin di kala hujan, berbatu de­ngan medan yang mendaki dan me­nurun, membuat “kudo baban” menjadi sarana transportasi satu-satunya yang bisa diandalkan untuk me­nembus belantara hutan. Kuda diberi pasangan dan beberapa kantong pada punggungnya, tanpa ditunggangi tapi juga diiring orang saat berjalan. Kecuali seusai membawa beban barulah kuda dinaiki orang,, tambah buya dengan tawa. Jadi harga barang bawaan yang diangkut saat itu dihitung perkilo tergantung batas tenaga kuda.

Selain itu kata Buya ada juga transportasi lama bernama “cigak baruak” mirip dengan isoh padati menggunakan sapi sebagai mesin penggerak, dan memakai katayo atau tali yang disambungkan pada pundak sapi, yang juga disetalikan dengan kayu penopang, namun sudah diberi gerobak dan beroda kayu. Gerobak pedati inilah yang disebut cigak baruak” karena sebelumnya saya menyangka ada kaitannya dengan baruak dalam bahasa Minang berarti monyet. Cigak baruak ini fungsinya juga untuk mengangkut barang keseharian, ada juga gerobak untuk membawa kayu panjang-panjang yang modelnya masih sama. Namun dalam pengangkutan kayu ini kondisi papan tepian gerobak dibuat lebih rendah dan sedikit panjang, serta diberi bumper di tepi bawah agar dapat memuat roda lebih besar dan diberi tonggak kayu di bagian tengah. Tonggak ini menjorok ke bawah sebagai penyangga. Jika laju gerobak mulai bergerak cepat ketika jalan menurun dapat diberatkan kebelakang dan begitu sebaliknya, jadi fungsi sebenarnya tonggak kayu tersebut adalah sebagai pengatur agar memudahkan membawa kayu-kayu yang panjang pula.

Setelah berbincang bincang seputar alat transportasi alternatif yang mempermudah pertanian ketika zaman beliau muda dulu. Ada beberapa narasi menarik terkait perkembangan pola yang sama pada hari ini. Sesuatu yang unik terlihat pada sebuah gagang dan mata pisau juga keris-keris buatan Buya. Alat itu sungguh membuat saya bersama teman-teman tertawa dan merasa tertipu oleh pisau ukiran buya. Ternyata alat  itu terbuat dari bahan seadanya yang mudah ditemui sekitar kita yaitu dengan menggunakan ujung pasta odol yang telah dipotong, lalu disematkan antara gagang dan pisau. Kata buya, alat itu dinamakan saluik/bawa yaitu penyambung dari gagang ke pisau. Selain menggunakan pasta odol bekas beliau juga memakai paralon dan bekas tempat lipstick untuk dijadikan saluik/bawa.

Selepas itu kami diajak berkeliling rumah oleh Buya sembari memperlihatkan alat alat kreatif yang ia buat sendiri. Seperti, jemuran dari kayu, penyangkut gorden, tempat bakar ikan, dan hal-hal kreatif lainnya yang ia buat sendri. Saya juga melihat alat-alat umum yang sangat berpengaruh dalam pertanian. Namun kali ini bukanlah alat transportasi, melainkan sebuah peralatan pertanian yang langsung menggunakan tangan manual (tenaga manusia). Beberapa alat tradisional ini di antaranya adalah, berupa kuie, cangkul kecil, sekop, sabik, dan ladiang. Kuie adalah alat untuk mengais/mengeruk, biasanya digunakan untuk mengeruk padi yang sedang dijemur, ada beberapa macam kuie, ada yang terbuat dari kayu dan juga besi. Cangkul kecil digunakan untuk menggemburkan tanah yang keras, dan sabik (sabit) serta ladiang (parang) dapat digunakan untuk menebas semak maupun untuk menggemburkan tanah.

Di pertemuan berikutnya, Buya juga memberi sebuah trik lain terkait teknologi atau pemanfaatan limbah. Trik kali ini memakai limbah Styrofoam yang dilebur dengan campuran bahan tiner atau bensin, alhasil adalah carian perekat yang cukup kuat. Lem ini biasa ia pakai untuk merekatkan gagang parang atau sabit. Dahulunya sebelum pemakaian bahan-bahan perekat alternative tersebut. Petani menggunakan lem dari cirik samuik (kotoran semut), Perekat ini dulunya mudah ditemukan pada batang-batang kayu di hutan. Namun kini sudah jarang, bahkan hampir tidak ditemukan lagi.

Pada Sabtu 17 Juni 2017, saya dan beberapa kawan melihat proses pembangkitan padi pada sebuah heler di Jalan Lubuk Sikarah, Solok. Saat itu saya melihat beberapa pemanfaatan alat pendukung pertanian di sekitar heler. Seperti penggunaan kuie, sekop tangan, gerobak, timbangan padi, dan mesin penggilingan padi. Setelah beranjak dari situ, sesampai diperbatasan kota dan kabuten Solok juga terlihat beberapa petani sedang melakukan proses manongkang atau kegiatan memanen padi. Tampak para petani hilir mudik membawa padi yang sudah dikarungkan. Mereka membawanya dari pematang sawah dan dibawa ke tepi jalan untuk nantinya dijemput mobil pick-up, para petani mengangkat padi dengan cara menaruhnya di atas kepala yang sudah dialaskan sehelai kain. Terlihat sesama petani saling bergotong royong dalam proses pengangkatan ini. Di sana juga terlihat beberapa alat pendukung pertanian, diantaranya seperti bak tongkang (bak penampung padi), janjang tong (alat pemisah padi dari batang), dan lapiak tongkang (tikar yang dipasangi tonggak kayu untuk membatasi padi, saat di-tongkang). Menarik melihat proses ini sembari mengingat kembali transportasi pendukung pertanian yang diceritakan Buya.

Setelah itu kami bertandang ke studio yang dikelola oleh Uda Dayat. Ia adalah seniman yang aktif berpameran dalam berbagai kegiatan di Sumatera Barat (Sumbar) dan maupun nasional. Kebetulan saat bertemu, ia sedang tidak ada kesibukan. Dan bisa meluangkan waktu sejenak untuk berdiskusi tentang kesenian dan perkembangan pertanian di Sumbar. Uda Dayat dikabarkan masih menyimpan kincie atau kincir sepeninggalan kakeknya. Lokasi kincie ini tidak jauh dari studionya. Ia menjelaskan pada kami cara pengoperasian alat tersebut. Kerjanya dimulai dari perputaran kincir yang memanfaatkan arus irigasi. Aliran sengaja diarahkan menuju kincir dan membuatnya terdorong atau berputar. Kincir berputar paralel atau terhubung dengan batang tonggak yang menjadi poros kincir. Di saat yang sama sambungan tuas, yang dikaitkan pada batang poros, berputar menggerakkan tujuh tuas alu, yang menumbuk padi atau kopi di lasuang. Semuanya bekerja seperti gear-gear mesin. Lalu, kopi atau padi hasil dari tumbukan, diambil dan dipindahkan ke alat pengipas, sementara kipas ini masih sambungan dari putaran kincir. Fungsi kipas ini adalah untuk memisahkan kopi atau padi dari sakam-nya. Begitulah proses penggilingan berjalan. Namun kini, kincie milik kakek Uda Dayat tersebut tidak berfungsi lagi, ada beberapa bagian yang sudah rusak. Selain itu, saluran irigasi sudah tidak berair lagi karena sudah dialihkan langsung ke sawah atau parit.

Selain itu, di kampung halaman Albert di Padang Sibusuk, Sijunjung, terdapat model lain dari kincie. Kincir di Sijunjung ini difungsikan untuk pengairan sawah. Skala instalasi kincir yang lebih ramping, namun ukuran roda kicir bermacam-macam, tergantung tinggi tebing sungai. Bahan utama kincir ini sebagian besar adalah berasal dari bambu, kecuali poros kincir sengaja terbuat dari kayu sebagai penopang. Poros dilubangi untuk pasak dari pondasi, pondasi kincir juga terbuat dari batang kayu panjang, seperti jari-jari roda sepeda. Segala konstruksi direkat dengan pasak atau diikat dengan kulit rotan, tapi belakangan juga menggunakan paku. Sisi luar roda kincir dibuatkan semacam kipas yang dianyam dari kulit bambu yang akan didorong oleh arus sunga, bersamanya tersangkut tabung dari bambu, berfungsi sebagai pengangkut air, bagian ini diposisikan miring (diagonal) agar air yang diangkut segera menuju irigasi sawah melalui bambu besar atau pipa. Sementara di titik sebelum arus menuju kincir, dipasang pagar bambu yang tidak rapat, agar perputaran kincir tetap stabil.

Sangat menarik sekali dapat melihat kembali, dan membayangkan kecerdasan berpikir orang zaman dahulu, yang mampu menciptakan teknologi yang dapat mempermudah proses pertanian. Sementara itu partisipan juga mendalami informasi tentang perkembangan pertanian serta mengelola dan mengemas media dengan baik dan bijak.

Zekalver Muharam (Solok, 11 Juni 1994), adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai pengurus di Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Selain itu ia juga aktif membuat karya komik, mural, dan lukisan. Tahun 2018, bersama Gubuak Kopi, ikut berpameran di Pekan Seni Media, di Palu. 2018, sebagai seniman partisipan dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2. Dan aktif menjadi fasilitator bersama Program Daur Subur, sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.