Mengendus dan Mengelola Sampah

Senin siang itu, 12 Juni 2017, saya bersama fasilitator beserta partisipan Lokakarya Kultur Daur Subur lainnya  , kembali mengunjungi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Kota Solok, di Ampang Kualo, Kelurahan Kampung Jawa. Saya sendiri baru pertama kali mengunjugi lokasi ini, Muhammad Risky, selaku fasilitator lokakarya meminta izin kepada satpam yang berada di kantor. Dengan senang hati satpam ini menemani kami melihat keadaan area TPA ini. Kesan pertama yang saya dapati waktu itu adalah bau sampah yang sangat menyengat.

Area TPA di penuhi sampah-sampah secara umum dan limbah domestik. TPA ini sudah lama beroperasi sebelumnya. Lalu, pada tahun 2007, ia menjadi TPA regional Kota Solok, untuk menampung sampah maupun limbah domestik. Area ini terus diperluas dari tahun ke tahun, seiring terus bertambahnya jumlah sampah, berawal dari kawasan lapangan di depan kantor TPA, terus hingga ke bawah. TPA kini dipusatkan ke arah bawah, pengurus membangun tiang sirkulasi gas methane dan aliran air sampah supaya sampah tidak tergenang.

Saya, dan rekan-rekan berkeliling untuk mencari informasi lainnya, yang saya perhatikan yaitu puluhan sapi yang mencari makanan dari sisa sayuran busuk. Fenomena sapi makan sampah ini jarang saya temui. Saya kira ini berdampak tidak baik pada kesehatan sapi, padahal di sekitar lokasi banyak tumbuh rumput-rumput segar. Tetapi, sapi-sapi itu lebih memilih sayuran-sayuran yang sudah terkontaminasi bakteri bersama sampah dan limbah domestik. Barang kali sapi-sapi ini sudah terbiasa. Selain sapi, di TPA juga ada beberapa pemulung yang memilih sampah plastik untuk dijual kembali. Mereka biasanya mencari sampah plastik dari pagi hingga sore.

Dari salah seorang satpam di sana, yakni Uda Risky, saya tahu bahwasannya ada 20 unit kendaraan yang beroperasi untuk mengangkut sampah di Kota Solok, ditambah 2 unit excavator dan 3 unit bulldozer. Selain itu, tepat di belakang kantor TPA terdapat 1 unit mesin pemisah sampah (conveyor) berukuran besar. Conveyor adalah suatu sistem mekanik yang mempunyai fungsi memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia digunakan untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya, atau sebagai pengumpan bahan masuk atau bahan keluar. Mesin conveyor ini adalah satu-satunya di Kota Solok, dan sudah lama tidak befungsi. Mesin ini dahulunya mempermudah dalam pengolahan kompos maupun daur ulang sampah dan limbah domestik.

“sampah nan tibo tu masuak ka dalam bak masin, tibo di bak tu tapacah sampah tu, tu otomatis se bajalan ka ujuang, masin ko lah lamo ndak bafungsi, alun ado kaba bilo ka dipelokan”. (sampah yang datang masuk ke dalam bak mesin conveyor, sampai di bak sampah itu mulai diurai, setelah diurai, sampah itu otomatis berjalan ke ujung, mesin ini sudah lama tidak berfungsi, belum ada kabar kapan akan diperbaki).

Setelah melihat-lihat mesin conveyor saya beralih ke kantor pelayanan. Di sana, Joe Datuak, rekan partisipan lokakarya lainnya, bertanya kepada karyawan operator yang bernama Linggar, waktu itu ia sedang menimbang sampah di mesin timbangan.

“kalau untuak operasi sampah di Kota Solok menurut wak pemerintah alah maksimal, untuak mengurangi potensi sampah di Kota Solok, pemerintah ndak bisa berbuat banyak, itu baliak ka kesadaran masyarakat, kini kan lah banyak bank sampah, iko harus di soialisasikan, pemerintah seharusnyo survey baliak tong sampah di Kota Solok nan alah rusak, itulah kadang payah lo wak”. (kalau untuk operasi sampah di Kota Solok pemerintah sudah maksimal, untuk mengurangi potensi sampah di Kota Solok. Pemerintah tidak bisa berbuat banyak, itu kembali pada kesadaraan masyarakat, sekarang keberadaan bank sampah sudah banyak, dan ini harus d sosialisasikan. Pemerintah harus survey lagi keberadaan tempat sampah di Kota Solok yang sudah rusak. Ya begitulah, kadang kita jadi serba salah).

Posisi pemerintah dalam menyediakan tempat sampah itu sangat baik, tapi warga harus bekerjasama dalam membangun iklim lingkungan yang bersih dan asri. Saya mengamati juga diagram pasokan sampah TPA dari tahun ke tahun yang terus meningkat, diagram menjelaskan bahwasannya sampah di Kota Solok membeludak pada awal tahun 2014, dan di setiap awal Januari pasokan sampah di Kota Solok selalu banyak.

Saya berkeliling mengitari area TPA lainnya, di sana terdapat ‘bank sampah’ dan pengelolaan pupuk kompos yang tak jauh dari area TPA, saya sempat mengobrol dan bertanya kepada Ibu Rizki selaku pegelola bank sampah plastik (anorganik), ia menceritakan pengalamannya tentang TPA tempo dulu.

“Area perumahan ini dahulunya adalah TPA, karena itu tananya subur, lalu kami tanami pepaya. Tapi, dikarenakan jumlah sampah yang terus meningkat, TPA dipindahkan ke arah depan lalu dipindahkan lagi ke arah samping. TPA sekarang ini adalah area yang paling luas. Banyak pemulung yang mengantarkan hasil pencariannya ke sini, tapi ada beberapa juga yang mengantarkan ke tempat lain. Sampah plastik yang terkumpul di sini, biasanya diantarkan ke Padang. Untuk pengolahan pupuk kompos ada pengelolanya, tapi orangnya sudah pulang, biasanya pupuk kompos ini dijual, banyak juga orang yang berminat dan mencari pupuk kompos di sini”.

Saya melihat-lihat ke dalam gudang pengolahan kompos. Di sana terdapat mesin pemilah sampah yang berukuran kecil, tidak sebesar yang ada di TPA dan juga terdapat dua unit mesin saring. Saya juga menyempatkan diri mengitari area perumahan yang ada di TPA, tak jauh dari gudang bank sampah, memang banyak pohon pepaya yang sebentar lagi akan panen, dan juga terlihat beberapa bak mobil sampah yang rongsok terletak begitu saja.

TPA Kota Solok . (Arsip Gubuak Kopi, 2017)

Seekor kuda di Ampang Kualo yang tengah memilih makanan di bak sampah.

Saya berasumsi, bahwasannya potensi pengolahan pupuk kompos di area TPA ini cukup tinggi, dikarenakan limbah organik mudah didapat di TPA ini. Selain itu, ini juga dapat mengurangi keberadaan sampah yang tiap tahun terus menerus meningkat. Kegiatan sosialisasi pengolahan limbah organik, maupun anorganik memang harus sering dilakukan. Peran pemerintah di sini sangatlah penting, akan tetapi warga juga harus bekerjasama membangun lingkungan yang asri.

Lalu saya kembali ke kantor Gubak Kopi bersama Zekalver, dan menyempatkan diri menangkap beberapa gambar. Setiba di lapangan pacuan kuda, Ampang Kualo, saya melihat kuda sedang mencari makanan di tempat sampah, lalu saya berkata kepada Zekalver “hobi bana kini binatang makan sarok”.

Biasa disapa Ogy atau Cugik, lahir di Bukittinggi, Desember 1991. Lulusan pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang. Aktif berkegiatan di Ladang Rupa Bukittinggi, sebuah kelompok yang menyebut diri sebagai pengembang seni dan budaya Kota Bukittinggi. Ia juga merupakan partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi (2017). Dan aktif berparitisipasi pada program Daur Subur berikutnnya.

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.