Buya Khairani: Cancang Tadadek Jadi Ukia

Selasa siang lalu, 13 juni 2017, adalah hari ke empat Lokakarya “Kultur Daur Subur” yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi. Seperti hari sebelumnya partisipan memulai aktivitas dengan mengulas dan mempersiapkan buku-buku catatan hasil observasi di lapangan hari sebelumnya. Lalu, hari itu kita diperkaya dengan kedatangan Buya Khairani. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Ia juga aktif memberikan ceramah adat di salah satu radio lokal. Pertemuan ini memang sudah diagendakan, sebelumnya teman-teman dari Gubuak Kopi memang sering berdiskusi dengan Buya, termasuk terkait isu yang diperdalam melalui lokakarya ini.

Albert Rahman Putra, ketua Gubuak Kopi membuka pertemuan itu dengan memperkenalkan Buya Khairani pada para partisipan yang diundang. Lalu, Albert juga memberi tahukan perkembangan lokakarya ini pada buya. Buya kemudian membuka perbincangan terkait aktivitasnya terkait pemanfaatan bahan-bahan yang ada di sekitar. Beberapa waktu sebelumnya memang kami mendapati Buya tengah berkreativitas di rumahnya. Teman-teman Gubuak Kopi sebelumnya pernah mendokumentasikannya dalam bentuk foto dan vlog. Hari itu Buya minta maaf tidak membawa contoh-contoh karyanya, karena ia langsung ke kantor Gubuak Kopi sepulang dari aktivitas lain dan shalat di masjid. Ia belum sempat pulang ke rumah. Maka siang itu mengobati rasa penasaran partisipan, kawan-kawan fasilitator menampilkan beberapa foto karya Buya.

 

Di dalam foto tersebut terdapat beberapa kumpulan karya berupa miniatur kapal dari kayu, mobil-mobilan, dan juga ukiran unik pada gagang keris maupun tongkat. Selain itu beliau juga berbagi tips apa saja bahan-bahan yang digunakan dalam proses  berkreatifitas pembuatan karyanya sehari-hari. Buya biasanya memakai minyak sawit sebagai pemoles, agar kayu menjadi kuat dan tahan lama, katanya. Selain itu, beliau juga tidak memakai bubut dalam proses penghalusan, melainkan hanya memakai pisau dan amplas. Serta skala dan ukuran biasanya berdasarkan kebiasaan, juga bahan perekatnya memakai ‘lem ubi’ yang dicampurkan pupuk urea, agar ketahanan lengket antara kayu lebih kuat.

Buya Khairani juga sempat bekerja dilaut Padang-Pariaman dan melihat souvenir kapal Portugis, dari sana beliau mengaku mendapat inspirasi membuat kapal-kapalan yang ia terapkan di rumah. Ia cukup aktif membuat karya ukir. Selain itu, adik beliau juga seorang pemahat patung yang kini telah menetap di Yogjakarta. Buya menceritakan, dulu dirinya pernah ditertawakan atas hasil karyanya “apo yang babuek ko buya, lai ba agiah nyao?” (apa yang  buya buat, apakah diberi nyawa?), demikian Buya menggambarkan tertawaan terhadap dirinya itu. Bunya menjawab dengan tawa. Meskipun begitu, beliau bangga karena menurutnya seni telah  menjadikannya santun. Membuat karya seni membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Sering disalah-artikan oleh masyarakat yang selalu menyandingkan seni dengan agama. Ia menegaskan orang yang menyukai patung tidak berarti seorang fanatik terhadap sesuatu, karena tidak seudah itu mengubah akhalak. Karena menurut buya “seni ya seni, aqidah ya aqidah”. Seni tidak bertentangan dengan agama, sebaliknya beliau menjelaskan bahwa ia justru berkesinambungan. Seperti Halnya katuak-katuak (gentongan) merupakan salah satu karya seni (kerajinan) yang difungsikan sebagai penghimbau masyarakat untuk berkumpul di satu tempat, termasuk tempat ibadah dan lainnya.

cancang tadadek jadi ukia…” (cancangan/catukan [pada kayu] yang meleset jadi ukiran)

Demikian Buya menggambarkan posisi seni, agama mencintai keindahan, itulah yang ia yakini. Buya menceritakan pengalaman lain, dikampung halaman beliau di Piladang, Payakumbuh. Waktu itu ia membuat stempel ubi kayu (ketela/singkong), hasil dari eksperimennya di sela kesibukannya berkebun ubi. Beliau juga pernah melihat orang bekerja dipercetakan. Mereka umumnya menggunakan cetakan terbalik dengan diisi timah cair, dan menghasilkan cetakan nama tegak bersambung dan juga berbentuk abjad tunggal. Cerita ini mengingatkan beliau sebelumnya, waktu itu tahun 70-an, di Balai Kota  beliau membuat spanduk besar dengan bahan yang sangat terbatas, yakni hanya menggunakan gunting dan pisau kater. Namun, penyelesaiannya memakan waktu semalaman di Aula Balai Kota. Beliau kali ini juga berencana memberi hadiah untuk MTQ tahun ini, berupa ukiran yang khas Solok. Mungkin itu berbentuk Itik Belibis, Patung Kuda Pasar Raya Solok, atau ikon-ikon penting lainnya yang berhubungan dengan Solok.

Buya juga memberi kami gambaran bagaimana kreativitas masa lampau yang hidup di masyarakat kita sebagai teknologi, terutama teknologi pertanian. Hal ini sebelumnya juga menjadi fokus bahasan kita beberapa waktu lalu di kuliah “Kultur Daur Subur” bersama Albert. Betapa mengagumkannya teknologi-teknologi pertanian yang pernah dibuat oleh nenek moyang kita, seperti kicir air. Buya kembali memperkaya wawasan kami dengan contoh-contoh lainnya, ia juga membuatkan kami beberapa sketsanya di papan tulis, seperti sketsa Esoh Padati, Singka pada alat bajak, Kincir, dll.

Selepas pembahasan tentang pemanfaatan bahan-bahan yang ada di sekitar dalam beraktifitas,   serta pandangan adat dan agama dalam berkreatifitas, Buya mengajari kami sebuah praktek origami sederhana. Melipat kertas menjadi sebuah biduk, “Biduak Pangkalan” katanya. Sebuah biduak khas di peraiaran Pangkalan, di perbatasan Riau dan Sumatera Barat. Setelah kami berhasil menyelsaikan lipatan kertas itu, Buya mohon pamit kepada kami karena harus segera menghadiri kegiatan lain. Ia menutup pertemuan, dan tidak lupa melakukan foto bersama. Pertemuan ini sangat penting, karena mendapat pengetahuan tentang bagaimana memberdayakan pemikiran masyarakat luas terhadap antara seni, adat, dan agama dengan bijak.

Zekalver Muharam (Solok, 11 Juni 1994), adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Aktif sebagai pengurus di Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2015. Selain itu ia juga aktif membuat karya komik, mural, dan lukisan. Tahun 2018, bersama Gubuak Kopi, ikut berpameran di Pekan Seni Media, di Palu. 2018, sebagai seniman partisipan dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #2. Dan aktif menjadi fasilitator bersama Program Daur Subur, sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.