Letusan di Riaknya Danau

Kira-kira dua minggu setelah lebaran (2015), suasana Singkarak yang sebelumnya ramai sudah berangsur normal. Jalanan sudah mulai sepi lagi, hanya sampah-sampah yang bertambah banyak. Siang hari, saya mampir di sebuah kedai nasi di tepian Danau Singkarak di daerah Tikalak. ‘Riak Danau’, begitu tertulis di depan warungnya. Di sana, saya bertemu seorang perempuan paruh baya. Dia adalah pemilik warung itu.

Saya memilih duduk di bagian paling tepi warung, tepat di atas danau. Dari sana pemandangan leluasa sekali. Ibu tersebut mengantarkan nasi buat saya, lengkap dengan palai Rinuak.

“Palai Bilih ndak ado buk?” (Palai bilih-nya nggak ada, ya, Bu?)

“Bilih ndak ado do. Rinuak tu dari sumani tu mah, ndak dari maninjau gai tu do.” (Bilih nggak ada. Rinuak itu dari Sumani (Selatan Singkarak), kok! Bukan yang dari danau Maninjau.)

Perempuan paruh baya itu menoleh ke samping setiap kali saya bicara, mengarahkan telinganya kepada saya. Dia melihat ke danau, ke bawah, seperti mencari sesuatu.

“Ado nampak ikan dek anak?” (Kau melihat ikan, tidak?)

“Indak. Umpan se jo roti buk, beko rami nyo tu, kok ndak jo nasi!” (Tidak. Umpan saja dengan roti, Bu, pasti nanti mereka ramai, atau pakai nasi!) kata saya sok tahu.

“Indak ikan iduik do. Tadi urang mambom, lah dapek dek ibuk duo ikua salaweh duo jari tadi.” (Bukan ikan yang hidup. Tadi ada yang meledakkan bom. Saya sudah dapat dua ekor tadi, sebesar dua jari.)

Di bawah, tak jauh dari tiang-tiang pondasi kedainya, ada seekor biawak yang berenang. “Mungkin ikannya sudah dimakan biawak,” gerutunya. Ibu itu kemudian duduk menemani saya makan, sambil bercerita soal bom pagi tadi.

”Baroyak rumah ko dek nyo,” (Bergetar rumah ini olehnya,) demikian ia menggambarkan kuatnya bom ikan yang kira-kira meledak 50 meter dari kedai yang sekaligus menjadi rumahnya itu. Awalnya ia sedang tertidur, lalu tiba-tiba rumah  yang berdiri dengan beberapa tiang di atas danau itu bergetar. Si ibu sempat kaget, tapi ia tak begitu heran, langsung melihat ke danau. Ia memperhatikan ikan-ikan yang mendekat ke kedainya. Dua ekor berhasil ia jangkau. Menurutnya, seharusnya ada dua ekor lagi, tapi susah untuk dijangkau. Ia pun hanya berharap angin siang itu membawa ikan menepi.

“Lai banyak dapek ikan dek mambom tu, Buk?” (Banyak ikan yang akan didapat dari membom itu, Bu?)

“Antah lah, tapi tadi lai gak sapanci bantuaknyo.” (Entah lah, tapi tadi ada sekitar satu ember.)

Di depan saya, di danau, saya melihat seekor ikan melompat di sekitar jeramun.

“Yang malompek tua a tu, Buk?” (Ikan yang melompat itu apa, Bu?)

“Iyo itu nan di bom nyo tadi,” (Ya, itu dia yang dibom orang tadi.)

“Tapi kabanyo ndak buliah mambom lai, Buk…” (Tapi kabarnya, kan sudah nggak boleh lagi meledakan bom, Bu…)

“Yang mancilok-cilok, lai juo. Nyo kan ketahuan nan dak buliahnyo.” (Yang diam-diam tetap saja ada. Yang nggak boleh itu, kan kalau ketahuan.)

“Sakareh tu bunyi nyo?” (Dengan bunyi sekeras itu?) tanya saya heran.

Saya ingat, saya pernah mendengar bom itu suatu dini hari di daerah Ombilin. Aleks, salah seorang pemilik UD pengolahan bilih di Sumpur, juga pernah bilang kepada saya. Katanya, kira-kira pukul tiga pagi, bunyinya terdengar jelas walau tidak keras. Hampir setiap hari, dan menurutnya itu bunyi bom ikan dari daerah Ombilin.

“Kalau tidak percaya, silahkan buktikan! Kalau takut, pura-pura mancing saja!” katanya.

Suatu hari, saya pun membuktikannya. Benar, terdengar. Di tengah danau sana, seseorang telah melempar bom dan membuat air meloncat ke atas. Tidak tahu kemana perahu itu akhirnya berhenti, hanya ada satu ledakan malam itu. Saya mendengarnya dari tepian danau salah satu masjid di daerah Pasir Jaya. Sebenarnya ada beberapa orang yang memancing di sekitar situ, semuanya cuek.

***

Jpeg

Tepian danau di Saniang Baka.

Beberapa hari setelah lebaran, saya menyempatkan diri mampir di salah satu tepian danau di daerah Saniang Baka. Terkhir kali saya ke sana adalah awal Bulan Ramadhan. Saya datang terlalu sore, tidak bertemu dengan banyak nelayan. “Mungkin sudah turun ke danau,” pikir saya saat itu. Masih awal musim kemarau, memang, dan setelah sebulan, ternyata air danau itu turun cukup drastis di bulan Juli. Benar prediksi Kementerian Lingkungan Hidup, Juni – Juli adalah kemarau untuk Singkarak.

Jpeg

Sore itu saya bertemu Pak Zul yang sedang menambal perahunya. Di sana juga ada beberapa nelayan lainnya yang siap-siap mendanau. Setelah shalat ashar, semuanya berangkat. Jam segitu memang “jam-jam-nya bilih”, kata para nelayan. Biasanya mereka menepi sejenak pada waktu maghrib untuk shalat di mushala yang tak jauh dari tepian, tapi ada juga yang tidak. “Mungkin shalat di danau,” kata Pak Zul. Para nelayan ini biasanya baru akan berhenti sekitar pukul 02.00 dini hari: “jam-jam-nya ikan-ikan menghilang”, katanya. Tapi, hari itu Pak Zul tidak turun ke danau, ia masih sibuk memperbaiki perahunya.

Pak Zul sedang menambal perahunya.

Pak Zul sedang menambal perahunya.

Pak Zul menambal perahunya dengan Dama. Bukan dama (damar—red) seperti bahan masakan, tapi semacam getah dan sudah banyak campurannya. Kalau sudah musim kering, sering begini. Lagipula, sejak lebaran kemarin, perahu lebih sering di darat.

“Kalau lai basah taruih nyo, lai ndak ka acok bana manumbok do, kalau lah lamo kariang ko baru rangkah nyo.” (Kalau basah terus, sih, tidak akan terlalu sering menambalnya, tapi kalau sudah lama kering begini, dia menjadi lekang.)

Pak Zul, orang yang suka bercerita, kadang suka mendakwah. “Sebagai seorang yang punya pengalaman soal agama, saya harus menyampaikan yang saya tahu,” katanya.  “Jadi, maaf-maaf saja, kalau saya terkesan menceramahi kamu.”

Saya tidak keberatan, justru senang mendengar ceramahnya. Dia adalah orang menyenangi profesinya sebagai nelayan. Sore itu ia juga cerita pengalaman hidupnya, sampai ia mendapat pencerahan dan sangat bersyukur menjadi seorang nelayan. Sebelumnya, di usia 20-an, tak lama setelah menikah, ia pernah ditawari kerja di PLN, tapi setelah berpikir-pikir, ia lantas menolak. Ia pernah merantau untuk berdagang. Bahkan, karena jenggotnya yang panjang dan senang memakai topi, ia juga sering diajak berjihad oleh ekstrimis Islam. Ia selalu menolak. Ia juga mengaku, semasa mudanya ia pernah berteman dengan para ‘bajing loncat’ di daerah Pagar Alam, Sumatera bagian Selatan.

“Latihan ‘bajing loncat’ itu sangat disiplin,” katanya. “Harus bisa naik-turun pohon kelapa yang tinggi dalam waktu kurang dari lima menit. Kalau sudah lincah, baru boleh beraksi.”

“Satu hal yang paling saya kagumi dari mereka: kesetiakawanan,” tambahnya. “Mereka biasanya ke jalanan lima orang untuk memanjati truk. Kalau ada yang mati, atau yang tertangkap, wajib dibawa pulang. Pergi berlima, pulang wajib berlima. Mereka memang terlatih dan sudah terorganisir. Percaya gak percaya, mereka melakukan aksi itu atas izin orang tua mereka masing-masing.”

Tepian danau di daerah Saniang Baka.

Tepian danau di daerah Saniang Baka.

Tiba-tiba saya dikagetkan bunyi ledakan, lalu berpaling mencari arah sumber suara.

“Bunyi apa itu, Pak?”

“Mercon, mungkin. Orang habis lebaran.”

Lalu bunyi itu terdengar lagi.

“Oh, urang mambaka batuang, tu, dakek muaro.” (Oh, suara orang sedang membakar batuang [sejenis bambu—red], dekat muara.)

“Di sini ada yang ngebom ikan, Pak?”

“Ado jo.” (Ada juga.)

“Tu lai ndak berang, Pak?” (Terus, Bapak tidak marah?)

“Baa ka berang…? Nyo urang bagak.” (Gimana mau marah…? Mereka adalah ‘orang bagak’.)

Menurut Pak Zul, kadang di sekitar tempat ia menangkap ikan, juga ada yang meledakan bom ikan. Mereka adalah ‘orang bagak’ (orang berani—red), istilah yang digunakan Pak Zul untuk menyebut mereka yang biasa disebut sebagai preman, orang kuat, atau dalam konteks ini adalah orang yang ditakuti karena kuat dan jahat. Pelaku bom ini tidak satu orang saja, ada beberapa orang. Warga lokal pernah ada yang protes, tapi dianggap angin lalu saja, sampai tak ada lagi yang mau protes.

“Kok ka di kaduan, nyo urang kampuang awak jo nyo.” (Kalau mau dilaporkan, mereka warga kampung kita juga.) Jadi, tidak ada yang melaporkannya pada petugas yang sebenarnya berada tidak jauh dari sana.

Sebuah kapal patroli melesat, lalu menjauh ke arah Utara, tidak ke arah kami ataupun ke ledakan bambu tadi. Dari tempat kami duduk, kapal itu bisa terlihat jelas, bahkan dermaga yang dilewatinya. Dermaga itu dermaga Apung, saya baru melihatnya sekitar tahun 2013. Di sana ada dua kapal. Satu kapal Patroli dengan label “Polres Solok Kota” dan satu lagi milik Dinas Perhubungan Kabupaten Solok dengan label “BA. Singkarak 1”. Kapal milik Dinas Perhubungan ini sekarang sudah dipergunakan untuk keperluan wisata. Untuk menggunakan jasanya, petugas memungut ongkos sekitar Rp15.000,- per-orang, atau, kalau ingin menyewa satu kapal, harus membayar sewa Rp500.000,-.  Dari tempat saya dan Pak Zul bersantai, terlihat kapal itu melaju kencang. Tapi tidak jelas apakah itu milik polisi atau Dinas Perhubungan. Baru beberapa hari setelah kejadian itu, saya tahu ternyata itu kapal Dinas Perhubungan yang disewa untuk wisata.

Penampakan kapal patroli di Danau Singkarak.

Penampakan kapal patroli di Danau Singkarak.

“Lai acok jo urang tu patroli, Pak?” (Masih sering ada patroli, Pak?).

“Dulu lai, sakali saminggu. Kini indak lo lai.” (Dulu, sekali seminggu. Sekarang, tidak ada lagi.)

“Baa tu, Pak?” (Kenapa, Pak?)

“Lah abih lo anggaran minyaknyo, mungkin. Caliak se lah larinyo ba’cok peluru.” (Mungkin anggaran bahan bakarnya sudah habis. Lihat saja, kecepatanya seperti peluru.)

Menurut Pak Zul, patroli itu hanya formalitas saja, kalau ada bensin, atau kalau ada yang survei dari dinas tertentu. Tidak pernah benar-benar ada patroli lagi.

“Terus, kalau kata Bapak masih ada yang ngebom di sekitar sini, kedengaran, dong sampai ke dermaga?”

“Tentu saja terdengar,” katanya tersenyum. “Bantuak ndak tahu hukum se…?! Samo jo bajing loncat tadi. Apo lo nan ka payah manangkok bajing loncat tu?! Intel-intel tu tau sadonyo tu, jadwalnyo tahu tu. Tapi dek lah ado urang dalam ka baa jo lai?” (Seperti tidak kenal hukum saja…?! Sama seperti bajing loncat tadi. Apa susahnya menangkap bajing loncat?! Intel-intel itu sebenarnya tahu semua, kapan aksinya juga tahu. Tapi karena ada ‘orang dalam’, ya, mau gimana lagi?)

Menurut pendapat Pak Zul, waktu itu ada semacam kongkalikong antara peledak bom ikan dan aparat patroli.

Saya jadi teringat cerita pelaku lanet di Ombilin. Dia seorang anak muda lokal. Waktu itu, kami bertemu di kedai Pak Gaek. Katanya dia baru saja “malanet” di sekitar jembatan Ombilin.

Plang larangan menangkap ikan dengan cara-cara ilegal, di dekatnya adalah tempat para nelayan menepikan perahunya,

Plang larangan menangkap ikan dengan cara-cara ilegal, di dekatnya adalah tempat para nelayan menepikan perahunya.

“Lai ndak nampak dek polisi, tu? Dakek situ ado pos polisi nak?!” (Ngga kelihatan sama polisi? Di sana, kan ada pos polisi?!) Saya kira pemuda ini tengah membual, karena di sebelah jembatan tempat ia menebar racun itu, ada pos polisi. Larangan malanet, saya kira, sudah ada sejak tahun 2007. Tentu harus dicegah, menurut saya.

“Jo polisi-polisi tu kadang sato lo bagai…!” (Polisi-polisi itu pun kadang juga ikut…!) katanya santai.

Ati-ati, jan ang baok lalu se polisi-polisi tu!” (Hati-hati, jangan remehkan polisi!) Pak Gaek waktu itu mengingatkan. “Kadang dek inyo pandatang, mode itu inyo mandakek i awak.” (Kadang, gara-gara ia pendatang, makanya mendekati kita dengan cara seperti itu.)

“Iyo inyo lai biaso duduak lo jo kami nyo! Ma lo amuahnyo mangkibus pemuda siko…?!” (Iya, dia juga biasa duduk dengan kami, kok! Mana mungkin mereka mau mengibus pemuda sini…?!)

“Yo aden maingek an, ang haragoi jo inyo sabagai polisi!” (Saya, kan cuma mengingatkan, hargai juga dia sebagai Polisi!)

Maksud Pak Gaek waktu itu, kira-kira begini. “Walau dia harus mendekati pemuda lokal, kita juga harus menjaga wibawanya. Kalau kita tahu menebar racun ikan itu salah, jangan lakukan itu di dekatnya. Memang dia tidak akan mau menangkap pemuda lokal, tapi setidaknya kita harus menjaga wibawanya juga.”

***

Dua hari yang lalu, saya mampir di Polsek Singkarak. Di sana saya bertemu dengan Sandro, dia adalah seroang brigradir dan satu-satunya pengemudi kapal dari kepolisian sejak diberlakukannya patroli di Danau Singkarak. Dia adalah seorang pemuda lokal, kampungnya di Ombilin, masih di sekitaran danau, sekitar 10 km dari Polsek. Sandro tidak memungkiri, bahwa memang kapal dengan kecepatan 4000pk itu akhir-akhir ini jarang beroperasi. Ia hanya beroperasi kalau ada tamu kantor, orang perikanan, atau ada yang menyewa untuk shooting, penelitian, dll. Beruntung, katanya, awal Ramadhan lalu ada yang mau menyewa kapal, mesin jadi bisa dipanaskan, daripada kapal tersebut diam dan rusak sia-sia.

Dermaga dan kapal patroli.

Sandro, ataupun polisi lainnya yang ada malam itu, mengatakan, bahwa memang benar hampir setiap hari masih terdengar ledakan bom ikan. Bahkan, ledakan yang di Ombilin pun terdengar hingga pos jaga. Apalagi kalau dini hari. “Mereka sulit untuk dihabisi, mereka seakan sudah tahu pergerakan polisi,” kata Sandro. Dalam patroli pun, Sandro mengaku jarang sekali ada penangkapan. Patroli hanya untuk mencegah.

“Mendekat pun, rasanya kami ragu. Bisa-bisa, karena mereka merasa terdesak, malah melempar bom itu ke kapal patroli.”

Kalau pun ingin menangkap pelaku bom ikan, itu harus di daratan. Mereka biasanya setelah melempar bom dan mengemasi ikan, langsung lari ke daratan. Dan malangnya, sulit menebak di tepian mana mereka akan berlabuh sehingga polisi bingung mencari posisi siaga di daratan. Sedangkan kapal, hanya bisa menepi di tempat tertentu saja.

“Kalau nelayan lokal pernah gak melaporkan atau memarahi langsung para pelaku bom?”

Sandro tertawa. Kadang, menurutnya, mereka yang punya jala itu, juga pelaku bom. Para pelaku bom ikan tidak fokus bekerja dengan bom saja. Mereka juga penangkap ikan dengan jaring. Kalau sudah bosan, atau putus asa, langsung saja melempar bom. Jadi, sulit membedakan mereka. Malah, sebagai pemuda yang dibesarkan di sekitar Danau Singkarak, Sandro berasumsi, bahwa hampir semua nelayan itu adalah pelaku bom ikan. Hanya saja, mereka tidak melakukannya terus-menerus, tapi bergantian.

***

Seekor ikan bilih yang mati di bawah kedai Riak Danau

Siang itu, setelah menghabiskan nasi di kedai Riak Danau, saya melihat seekor ikan mati mengapung-apung ke tepian. Langsung saya panggil ibu pemilik warung. Ia bergegas, mengikuti arah tunjuk saya. “Sepertinya biawak telah lalai,” gumam ibu itu.


Artikel ini sebelumnya telah dipublikasi di www.akumassa.org dalam rubrik Bernas, dengan judul Letusan di Riaknya Danau pada 3 November 2015.

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.