Di Rantau Kita Terlibat dan Merekam

Catatan dari presentasi publik & open studio “Di Rantau Awak Se”

Solok adalah sebuah kota kecil di dataran tinggi Sumatera Barat. Terdiri dari 2 kecamatan dan 13 kelurahan, dengan penduduk sekitar 68.000 jiwa. Seperti halnya masyarakat Minangkabau umumnya, masyarakat Solok juga memiliki tradisi merantau, bahkan hingga saat ini. Banyak generasi saya yang ingin ‘mencari kehidupan yang lebih baik’ di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Padang, dan lainnya. Motifnya bermacam-macam; tradisi, gengsi, ‘mengadu nasib’, belajar sementara, ingin hidup lebih baik, kota Solok yang tidak menjanjikan, dan sebagainya. Dan kini, di saat yang sama, Solok juga menjadi kota rantau bagi etnis lain. Tidak sedikit saya menyaksikan para perantau di negeri perantau ini ikut berkontribusi untuk pembangunan kota Solok.

Sejak awal, 2016 lalu, Komunitas Gubuak Kopi menetap di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Kampung Jawa, sedikit berbeda dengan kampung atau kelurahan lainnya di Solok, maupun di Sumatera Barat secara umum. Kampung ini, dari narasi yang beredar, diriwayatkan dulunya adalah tanah milik masyarakat kampung Nan Balimo, kemudian ditaruko, ditaratak sebagai pemukiman oleh para pendatang dari pulau Jawa, baik untuk pertanian maupun peternakan. Taratak ini terus berkembang menjadi sebuah dusun yang diisi oleh berbagai pendatang, sebagian besar pendatang berasal dari Jawa, tapi selain itu, di sini juga hidup pendatang lain seperti dari tanah Batak, India, dan bahkan warga Minang di luar Solok. Lalu dengan mudah orang-orang mengidentifikasi dusun ini sebagai “Kampung Jawa”. Kedatangan ini diriwiyatkan jauh sebelum kemerdekaan kita sebagai Indonesia.

Di Kampung Jawa, kini kita bertemu dengan para pendatang yang menyebut dirinya warga Solok, yang tidak kalah aktif terlibat dalam pembangunan daerah ini. Kita mengenal Ibu Rosmini, seorang perempuan keturuan Jawa yang kini berperan sebagai ketua organisasi Bundo Kanduang, sebuah ‘atribut’ adat dalam pemerintahan di Sumatera Barat. Lalu ada Buya Khairani, seorang laki-laki yang berasal dari Payakumbuh, dengan wawasan adat yang ia miliki, kini ia selalu didahulukan sebagai seorang tokoh adat dari Kampung Jawa, Solok. Ada juga Bapak Yusuf, seorang keturunan etnis India atau Pakistan, yang selalu hadir sebagai tamu istimewa, melantunkan doa di setiap perhelatan adat di Kelurahan Kampung Jawa. Tidak hanya di Kampung Jawa, di Kelurahan Kampai Tabu Karambia, kita juga mengenal ibu Yani yang biasa di Mbak Neng, dengan kecintaannya terhadap kesenian ia mengajak para ibu-ibu dan remaja lokal untuk mengembangkan kesenian tradisi lokal, Solok, lebih dari 10 tahun. Masih banyak perantau lainnya yang ikut berkontribusi dalam pembangunan di Kota Solok. Kilasan fenomena di atas, barang kali juga banyak kita temukan di kota kecil lainnya.

Pola dan defenisi Merantau sepertinya sudah sangat berkembang. Jauh sebelumnya orang Minang ada yang pergi merantau sebagai bagian dari tradisi dalam proses pendawasaan diri, memperluas jaringan dagang, terusir dari kampung halaman, pergi belajar untuk sementara, mencari lapangan kerja yang tak tersedia di kampung halaman, dan sebagainya. Membaca ulang kebudayaan Merantau, diantaranya mengundang kita memahami kembali kesadaran kita sebagai bagian dari masyarakat dunia. Selain itu, dari sisi sejarah dan perkembangan kontemporernya, kehadiran teknologi media terkini menawarkan dimensi baru dari pemahaman ide ‘merantau’ itu sendiri. Terutama kalau kita sepakat bahwa merantau adalah sebuah manifestasi atas kesadaran mengenal lingkungan global dan menambah wawasan kebudayaan, dan berkontribusi dalam perkembangan masyarakat dunia. Kini di kampung halaman ataupun di perantauan menawarkan kesempatan yang sama, keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi turut menawarkan kesetaraan yang lebih luas lagi. Teknologi media, dan praktik-praktik alternatif untuk mengelola, adalah suatu keniscayaan untuk mengupayakan hal itu: merantaukan pikiran, bertindak di sekitaran. Think globally, act locally

***

Sabtu, 11 Maret 2017, telah berlangsung pameran “Di Rantau Awak Se” di Galeri Gubuakkopi, di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Pameran ini disajikan dalam bentuk presentasi publik dan open studio. Menampilkan (proses) berkarya para partisipan dalam membingkai narasi-narasi yang tersebar di Kota Solok. Proyek seni ini direalisasikan atas kolaborasi Komunitas Gubuak Kopi bersama Forum Lenteng, Jakarta, melalui program pemberdayaan media berbasis komunitas akumassa. Selain saya sendiri, dengan latar pendidikan pengkajian musik tradisi, dalam proyek ini terlibat tujuh orang partisipan lainnya dengan latar belakang yang berbeda. Mereka terdiri dari Delva Rahman pegiat seni tari; Maria Silalahi, seorang mahasiswa krimonologi Universitas Indonesia; Muhammad Risky Pegiat Seni Rupa; Raenaldy Andrean Pegiat Seni Rupa; Tiara Sasmita mahasiswa Sastra di Universitas Andalas; Volta Ahmad Jonneva pegiat seni rupa; dan Zekalver Muharam, yang juga merupakan pegiat seni rupa. Selain itu, terdapat tiga orang fasilitator, yakni: Manshur Zikri, penulis dan kurator; Muhammad Fauzan Chaniago pegiat visual jalanan; dan Soemantri Gelar, pembuat filem dan seniman seni media.

Dalam program ini, selama dua minggu para partisipan bersama fasilitator saling memperdalam pengetahuan terkait sejarah perkembangan media, eksplorasi mediumnya, serta pengetahuan kebudayaan lokal, dalam hal ini Solok. Agenda yang bertajuk “Di Rantau Awak Se” ini, pada dasarnya sebuah upaya dan proses pembacaan kembali esensi “rantau” melalui narasi-narasi kecil yang ada di Solok dalam situasi yang konteks pada saat ini. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Solok yang masyarakatnya suka merantau, juga menjadi kota perantauan bagi etnis lain, yang mana para perantau ini juga berkontribusi dalam pembangunan di Kota Solok. Pembacaan ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan jurnalisme warga dan praktik media alternatif, dengan memberdayakan teknologi telepon genggam dan kamera sederhana, untuk merekam apa-apa saja yang ada di Kota Solok, terutama di Kelurahan Kampung Jawa. Aksi perekaman ini juga menjadi salah satu cara untuk mengarsipkan perkembangan dan pembangunan kota, dalam rangka memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan secara luas.

Materi-materi dalam pameran open studio ini, bukanlah sebuah hasil akhir, ia adalah sebuah sketsa atas pembacaan tersebut. Seluruh partisipan lokakarya mendokumentasikan peristiwa dan narasi-narasi yang tersebar di Kota Solok, lalu mengemasnya ke dalam berbagai medium, seperti teks, fotografi, gambar, dan video. Di antaranya, sensus tetangga sebuah instalasi karya fotografi yang mendokumentasikan kehidupan bertetangga di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Kampung Jawa, Solok. Foto-foto itu terpajang layaknya sebuah meta-data dari lukisan peta di dinding ruang pamer.

Selama berproses para partisipan berkenalan dan berkunjung ke rumah-rumah warga lalu merayu warga untuk mendapatkan foto. Kegiatan fotografi ini adalah usaha mengarsipkan lingkungan di sepanjang Jalan Yos Sudarso guna memetakan perkembangan dan pembangunan. Selain itu para peserta juga diajak untuk lebih mengenal tetangga dan lingkungan di sekitarnya. Tidak sedikit warga sekitar yang hadir tersenyum melihat diri mereka terpajang di galeri sederhana itu. Respon menarik salah satunya muncul dari Viki, ia tertawa melihat rumahnya sendiri, baru saja ia sadar telah banyak yang berubah dari itu, foto itu lantas menghantarkan ingatannya pada masa lalu ketika keadaan rumah itu jauh lebih kecil dan tidak seindah sekarang. Ia juga menujuk rumah tetangga lainnya dan menceritakan perubahan berdasarkan ingatannya. Viki adalah satu orang dari sekian banyak warga yang memperkaya meta-data ini dengan prespektif masing-masing. Viki tidak jarang terheran membayangkan orang-orang tertentu yang diambil fotonya secara sadar dan close up oleh partisipan, termasuk foto bapaknya yang berpose di depan warungnya. (baca juga: Mengenal Kampung Jawa…)

Selain sensus tetangga, terdapat sketsa pemetaan bingkaian. Selama berporses para partisipan lokakarya mempresentasikan ide dan gagasanya dalam membingkai narasi yang menarik untuk menampilkan pola merantau, dan keterkaitannya dengan lokasi. Kemudian mempertajam bingkaiannya melalui diskusi dan pembacaan konteks perkembangan sejarah terkininya. Bingkaian itu seperti keberadaan etnis “kaliang” atau etnis India. Sempat terjadi keraguan mengenai penggunaan istilah ini, karena belakangan kaliang yang dalam bahasa lokal di Minangakabau kini berarti “hitam” dan itu tidak jarang disampaikan sebagai ejekan untuk orang yang berkulit hitam. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut ternyata istilah Kaliang itu sendiri berasal dari bahasa sangsekerta Kalingga dan sering dilafal keling, kling, atau kaliang di Minangkabau. Merupakan nama salah satu suku dan kerajaan di India Selatan.

Seperti narasi yang dikumpulkan Raenaldy Andrean, yang berinteraksi langsung dengan keluarga Ibu Nita yang merupakan warga Kampung Jawa dengan etnis asli India, Ia mengaku sempat sedikit risih dengan ‘penyalahgunaan’ istilah itu, tapi kemudian mereka sudah terbiasa. Di sisi lain, di Kampung Jawa, Solok, muncul sebuah penafsiran yang tidak formal mengenai istilah “Jambak”. Jambak sebenarnya juga merupakan nama salah satu klan kecil di Minangkabau, tetapi di sini ia adalah akronim dari Jawa, Minang, Batak, dan Kaliang. Dan itu buat saya, juga berarti pengakuan keberadaan suku Kaliang itu sendiri di Kelurahan ini. Ejekan atau tidak, itu tidak akan memperburuk etnis kaliang itu sendiri, sebaliknya mencerminkan mental si pengenjek. Di sisi lain bapak ibuk Nita, Pak Yusuf, yang merupakan muslim taat, kemudian juga diakui sebagai tokoh masyarakat setempat. Ia selalu diundang di setiap seremoni adat (Minang) di Kampung Jawa, untuk melantunkan doa, dan dimintai nasehat.

Selain itu, bapak Yusuf yang juga merupakan pedagang rempah di Pasar Raya Kota Solok, juga mendapat respon spesial dari para pelanggan rempah, ia dengan mudah dikenal, karena berhasil menjaga kepercayaan masyarakat. Kini di Solok, kalau ingin rempah terbaik tak jarang orang menyebut rempahnya rang kaliang. (baca juga: Perantau yang Berdagang Rempah)

Di sisi berikutnya dari ruang pameran, juga terdapat proyek fotografi dengan memanfaatkan media sosial Instagram dan hashtag #solokmilikwarga untuk mengumpulkan image-image dan narasi kewargaan di kota Solok. Selama lokakarya literasi media ini, semua partisipan telah mengumpulkan lebih-kurang seratus foto, hasil tangkapan citra beberapa titik lokasi dan peristiwa yang ada di Solok. Proyek fotografi ini akan menjadi proyek berkelanjutan, yang membuka keterlibatan netizen dalam memetakan perkembangan dan pembangunan Kota Solok.

Kemudian juga terdapat sebuah instalasi telepon genggam yang bertajuk Vlog Kampuang, sebuah proyek video dengan memanfaatkan teknologi telepon genggam pintar untuk mendokumentasikan narasi keseharian di Kota Solok. Proyek ini berikutnya akan menjadi program lanjutan dalam mendokumentasikan keseharian di Kota Solok, sebagai salah satu cara untuk memetakan perkembangan dan pembangunan di Kota Solok melalui video. Lalu, di sisi ruang pamer berikutnya terdapat pengembangan medium komik sebagai cara mendokumentasikan keseharian dan mitos-mitos di Kota Solok. Semisal, mereka menertawakan pengalaman seorang temannya yang takut pada hantu di sebuah pohon, ternyata hanya dikerjai temannya. Karya-karya ini adalah hasil workshop yang dikerjakan oleh remaja-remaja di Kota Solok. Para remaja dipandu oleh Zekalver Muharam, pegiat Gubuak Kopi dan juga merupakan partisipan lokakarya literasi media, untuk mendokumentasikan keseharian dan persitiwa menarik yang mereka alami dalam bentuk komik atau cerita gambar.

Doc. Presentasi Publik dan Open Studio “Di Rantau Awak Se”, 11 Maret 2017, Galeri Gubuak Kopi, Solok.

Di tengah-tengah ruang pamer terdapat sebuah meja panjang, selayaknya meja kerja terdapat buku-buku catatan, laptop yang menampilkan tampilan website Komunitas Gubuak Kopi (www.gubuakkopi.id), sebagai media alternatif dalam mendokumentasikan dan mendristibusuikan pengetahuan media dan kebudayaan bermuatan lokal, Solok. Di laptop lainnya, juga terdapat tayangan Siaran Langsung yang Tertunda, delama berproses, para partisipan  memanfaatkan perkembang teknologi sosial media terkini, seperti facebook dan instagram, untuk menyiarkan kegiatan dan peristiwa di sekitar secara langsung, dan memungkinkan  diakses untuk masyarakat dunia pengguna internet. Ini juga bertujuan untuk melatih para partisipan untuk bersikap terhadap kamera maupun di hadapan kamera, terutama dalam menyebar pengetahuan dan mengarsipkan.

Materi-materi yang dipamerkan ini bukanlah hasil akhir, melainkan masih menjadi bagian dari proses lokakarya. Seperti yang disampaikan dalam kuratorial, menarik untuk merefleksi apa yang telah dilakukan oleh para partisipan, sebagai suatu upaya mendefinisikan Kota Solok sebagai kota yang sadar akan budaya dan bagian dengan masyarakat global yang peka terhadap potensi media, sebagai alat yang dapat membantu aksi-aksi pemberdayaan masyarakat dan pesebaran pengetahuan.

Dalam pembukaan kegiatan ini diantaranya hadir Bapak Dedy mewakili Dinas Pariwisata menyambut baik apa yang telah dimulai Komunitas Gubuak Kopi jauh sebelum pemerintah dapat berkontribusi lebih jauh. Bapak Dedy juga berhadap kedepannya terdapat kerjasama antara Komunitas Gubuak Kopi dengan pemerintah untuk memajukan pembangunan kebudayaan di Solok. Begitu juga Buya Khairani, selaku tokoh masyarakat melihat penting untuk menjadi model dan menginspirasi pemuda atau masyarakat lainnya untuk melakukan kegiatan positif lainnya. Perwakilan kelurahan, juga mulai memikirkan kemungkinan untuk mengajak Komunitas Gubuak Kopi dalam mengarsipkan setiap sudut kelurahan ini dengan cara-cara kreatif dan informatif.

This slideshow requires JavaScript.

Pada malam hari, di ruang menonton Sinema Pojok, Komunitas Gubuak Kopi terdapat penayangan perdana karya-karya video hasil bingkaian para partisipan yang dikerjakan secara kolektif. Salah satunya terdapat video yang berjudul H. Nasionalis, bingkaian narasi yang membawa ingatan kita pada puluhan tahun lalu, di Kota Solok terdapat sebuah bioskop yang kini sudah berganti dengan komplek bagunan toko. Bioskop ini sebelumnya berperan besar dalam pembangunan daerah maupun perkembangan kebudayaan masyarakat Kota Solok. Video ini menggali kembali kenangan kejayaan itu melalui arsip wawancara bersama bersama Bapak Haji Naisonalis yang telah bekerja puluhan tahun sebagai projectionis di bioskop tua itu. Video ini menghadirkan potongan-potongan audio wawancara itu yang bergadengan dengan visual perjalanan malam hari, sembari menonton sebuah filem melalui layar kecil yang terpasang di dasboard mobil, menikmati Kota Solok yang sepi di suatu malam.

Lalu, video Kedai Malam. Di satu titik di depan Taman Syech Kukut, berdiri sebuah mobil dengan tubuh yang telah didesain selayaknya kedai kelontong. Kedai ini buka di sore hari di parkiran pasar raya, setelah magrib menjelang ia memindahkan mobil itu ke titik parkir lain, yang berjarak sekitar 15 meter ke Taman Syech Kukut, hingga pagi menjelang. Kedai mobil ini bukanlah satu-satunya kedai berjalan di Kota Solok, kehadiran mereka menjadi alternatif bagi orang-orang yang bergadang. Dan video Ma La La La La adalah sebuah percobaan video-peformatif dalam mengarsipkan Kota Solok. Video ini menghadirkan stop motion seorang perempuan generasi sekarang menarikan tari Alang Babega, sebuah tarian rakyat yang dimaikan paada pesta panen dahulunya. Tarian ini menirukan gerakan elang yang sedang bermain maupun mencengkram mangsanya. Kini, tarian ini terhubung dengan situasi kotemporer Kota Solok di berbagai titik.

Ibu Yuni dan Ibu Yani pegiat seni ilau, berbagi pengalaman dalam mengembangkan kesenian tradisi di Solok (foto: Hafiz Rancajale)

Ibu Yuni dan Ibu Yani pegiat seni ilau, berbagi pengalaman dalam mengembangkan kesenian tradisi di Solok (foto: Hafiz Rancajale)

Setelah penayangan juga terdapat presentasi kesenian Ilau oleh dua pegiat seni Ilau, yakni Ibu Yani dan Yuni Basrul. Sebuah kesenian yang berangkat dari tradisi Ilau, tentang sebuah peristiwa kematian anak yang mati di perantauan. Kesenian Ilau di Kelurahan Kampai Tabu Karambia, kini dimotori oleh Ibu Yani, seorang perantau yang berasal dari Jakarta mengikuti suami di Kota Solok. Kecitaannya dengan kesenian memancing kertelibatan ibu-ibu ataupun remaja lokal untuk melestarikan sebuah kesenian, yakni kesenian ilau, kesenian yang berangkat dari tradisi kematian anak di perantauan. Malam presentasi itu hadir bapak pula Bapak Camat, yang sangat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh para pegiat seni ilau ini maupun metode pengarsipan yang dilakukan Komunitas Gubuak Kopi. Bapak camat sendiri juga menantang untuk menggali lebih dalam sejarah Ilau ini, untuk diarsipkan melalui filem.

Malam itu, gerimis terus menyirami Solok, sama juga di kota-kota lain, basah juga, yang berbeda hanya cerita dan cara respon kita berteduh atau dibasahinya.

 

 

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.