Perkenalan dengan Komunitas Gubuak Kopi

Catatan tentang AKUMASSA Solok (Bagian 2)

Perkenalan saya dengan Komunitas Gubuak Kopi bermula dari pengalaman pertama saya mengetahui Albert—nama lengkapnya Albert Rahman Putra, Ketua komunitas tesebut—lewat tulisan. Waktu itu, di tahun 2012, di website AKUMASSA dimuat sebuah artikel yang ditulis oleh Albert, mengenai fenomena perpustakaan keliling di Solok. Di dalam tulisan itu Albert mengabarkan bahwa, di Taman Kota, ada sebuah inisiatif yang membuka perpustakaan keliling setiap hari Selasa dan Jumat, pukul 15:00. Para inisiator menjadikan mobil mereka sebagai perpustakaan, dan orang-orang boleh membaca di lokasi tersebut, bahkan meminjam bukunya.

Markas Komunitas Gubuak Kopi di Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. (Foto: Manshur Zikri).

Albert berbagi pengalaman tentang kesulitannya mendaftar untuk menjadi anggota perpustakaan keliling itu karena ia adalah warga Kabupaten Solok, sedangkan pihak perpustakaan hanya menerima anggota baru yang merupakan warga Kota Solok demi menghindari risiko kehilangan buku. Albert juga menyebut bahwa saat itu ia menemukan buku berjudul Lubang Hitam Kebudayaan (2002) karya Hikmat Budiman di perpustakaan tersebut. Menariknya, tulisannya yang terbit di website AKUMASSA mendapat respon dari Hikmat Budiman. Sosiolog yang terkenal dengan proyek-proyek penelitian mengenai kota-kota di berbagai pulau di Indonesia itu mengapresiasi tulisan Albert dan aktivitas pemberdayaan media yang dilakukan oleh AKUMASSA. Berhubung saya mengidolakan Hikmat Budiman, dan ia memuji tulisan Albert, maka sejak itulah saya terus memantau karya tulis Albert. Kami pun semakin sering berinteraksi di media sosial, terutama Facebook, karena Albert selalu berbagi kabar tentang aktivitasnya di Solok bersama Komunitas Gubuak Kopi.

Beberapa pegiat Komunitas Gubuak Kopi. Dari kiri ke kanan: Albert, Zekal, Zola, Volta, dan Raenal. (Foto: Manshur Zikri).

Saya menjadi semakin akrab dengan Albert ketika AKUMASSA menyelenggarakan proyek AKUMASSA Bernas, sebuah inisiatif dari Forum Lenteng untuk mendorong penulis-penulis lokal agar membuat seri tulisan mendalam tentang sebuah isu spesifik di satu lokasi. Albert, yang kemudian menjadi salah satu penulis utama di rubrik Bernas AKUMASSA, memilih isu lingkungan dan kehidupan sosial di sekitaran Danau Singkarak. Saya, sebagai pengelola website AKUMASSA, turut berperan sebagai penyunting tulisan-tulisan Albert untuk rubrik Bernas di website kami sehingga komunikasi di antara kami pun menjadi semakin intens. Sedikit demi sedikit, lewat obrolan-obrolan saya dengannya, saya pun mengenal Komunitas Gubuak Kopi.

Di situs web mereka (yang dahulunya masih berupa blog gratisan, tapi kini sudah resmi beralamat di https://gubuakkopi.id/), Komunitas Gubuak Kopi mendefinisikan diri mereka sebagai lembaga pengembangan pengetahuan seni dan media, yang beraktivitas sebagai kelompok studi nirlaba sejak tahun 2011. Berdasarkan amatan saya sejak tahun 2012, kegiatan-kegiatan Komunitas Gubuak Kopi awalnya sederhana saja: memproduksi tulisan-tulisan berbentuk jurnalistik warga tentang beberapa isu di Solok. Mereka juga sering membuat acara-acara yang berkaitan dengan fotografi dengan tujuan mendokumentasikan kebudayaan lokal di Solok.

Suasana nongkrong di suatu malam di halaman markas Komunitas Gubuak Kopi, Februari 2017. (Foto: Manshur Zikri).

Komunitas ini didirikan oleh sekumpulan pemuda asal Solok yang tersebar di luar Kota Solok karena menempuh pendidikan tingkat tinggi. Albert, sebagai salah satu inisiatornya, saat itu menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Beberapa pendiri yang lainnya merupakan mahasiswa Universitas Andalas dan Universitas Negeri Padang. Karena di saat-saat pulang kampung mereka sering saling bertemu, berkumpul, dan duduk bersama membicarakan banyak hal, ide pun muncul di antara mereka untuk membentuk sebuah kelompok yang memiliki perhatian terhadap isu-isu sosial. Perhatian komunitas yang resmi berdiri tanggal 1 Agustus 2011 ini mengenai isu-isu sosial dan budaya dapat dibuktikan dari dokumentasi dan artikel-artikel yang mereka terbitkan di situs blog gratisan pada tahun pertama berdirinya. Di antaranya adalah dokumentasi aktivitas MTQ di beberapa masjid, mengarsipkan keberadaan rumah gadang, merespon masalah lingkungan hidup, atau bahkan menyelenggarakan beberapa diskusi yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan warga setempat.

Kini, aktivitas Komunitas Gubuak Kopi mulai teroganisir dengan diagendakannya beberapa program reguler. Salah satunya yang utama, ialah Sinema Pojok yang secara resmi mulai beroperasi sejak tahun 2015. Komunitas Gubuak Kopi mengumpulkan filem-filem terbaik dunia lalu menyelenggarakan penayangan publik secara gratis sehingga masyarakat mendapatkan pengalaman menonton di luar bioskop komersil dan tontonan televisi.

Pada tahun 2016, Komunitas Gubuak Kopi mendaatkan tempat yang bisa dimanfaatkan sebagai markas, yakni di Kelurahan Kampung Jawa. Fasilitas berupa area berisi dua gedung yang merupakan bekas Taman Kanak-kanak (TK) tersebut adalah hibah dari salah seorang warga yang tinggal di sana, yang mempunyai hak milik area tersebut. Komunitas Gubuak Kopi kemudian mendapat kepercayaan untuk mengelola area tersebut menjad ruang publik.

Lokakarya literasi media yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi dan Forum Lenteng lewat Program AKUMASSA berlangsung di markas Komunitas Gubuak Kopi yang baru itu, yang beralamat di Jalan Yos Sudarso, No. 427, Kelurahan Kampung Jawa, Kecamatan Tanjung Harapan, Solok, Sumatera Barat, kode pos: 27323.***


artikel ini sebelumnya dipublis di www.akumassa.org dengan judul Komunitas Gubuak Kopi

MANSHUR ZIKRI adalah seorang pengamat, peneliti, pengkaji, dan penulis independen yang menaruh fokus pada ranah seni, media, dan film. Saat ini, ia mengembangkan aktivitasnya secara khusus di dua kota: Jakarta dan Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.