Parantau yang Berdagang Rempah

Keluar dari sebuah kota, tempat di mana kita lahir dan tumbuh, memanglah berat. Harus jauh dari keluarga, teman, dan saudara. Di situlah proses pendewasaan diri. Jika dulu cuma bisa bergantung dengan orang tua, di saat kita keluar dari zona nyaman itu, banyak peristiwa terjadi dan harus dihadapi sendiri. Bertemu dengan orang baru, tradisi baru, adat berbeda, dan hal yang jarang ditemui di kota asal. Semuanya tergantung dari diri masing-masing, bagaimana cara menangapi hal baru, dan cara bersosialisasi di daerah asal, pasti akan memengaruhi pola pikir dan hidup kita di rantau.

Di daerah Minangkabau, tradisi ke luar dari daerah asal ini disebut “merantau”. Tradisi yang dikenal sangat lekat dengan budaya Minangkabau ini sudah menjadi hal yang biasa, yakni di saat seorang anak laki-laki yang sudah dewasa, pergi keluar rumah, keluar kampungnya, untuk mencari jati diri dan pekerjaan, untuk mengubah ekonomi, di luar daerah asalnya. Ini karena masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal (berdasarkan keturunan ibu) yang mengakibatkan anak lelaki hanya mendapat sedikit “harato pusako” (atau ‘harta pusaka’ atau ‘harta warisan’). Oleh karena itu, umumnya, kaum pria di Minangkabau berusaha mendapatkan harta bebas dari “harto pusako bundo” dengan cara merantau ke luar desanya.

Merantau memang berat, karena harus berpisah jauh dari keluarga, sanak-saudara, dan teman sepermainan; memasuki wilayah, adat, tradisi, kebiasaan, pergaulan, dan bertemu orang-orang baru. “Di ma bumi dipijak, di situ langik dijunjuang”, sebuah pepatah lama yang memiliki makna bahwa tempat yang kita tempati, harus kita hargai budaya setempatnya, tanpa harus kehilangan nilai-nilai budaya kita sendiri.

Mungkin saat ini orang banyak tahu tentang orang Minang yang merantau keluar dari daerahnya, tapi bukan berarti bahwa di daerah Sumatra Barat sendiri, tidak ada yang menjadi daerah rantauan. Salah satunya adalah daerah Solok, Sumatra Barat. Nyatanya, banyak juga yang merantau ke kota ini. Dari Jawa, Medan, Nias, dari daerah luar lainnya pun ada yang merantau ke kota ini. Bahkan, bisa dibilang ada sebuah kampung yang hampir semua penduduknya bukanlah orang asli kampung itu. Kampung itu bernama Kampuang Jao atau ‘Kampung Jawa’ dalam bahasa Indonesia, sebuah kelurahan di Kota Solok tempat saya tinggal sekarang.

Rumah Ibu Nita, salah seorang warga di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. Ibu Nita adalah bagian warga keturunan Pakistan (beberapa yang lain menganggapnya keturunan India) yang dari generasi ke generasi sudah menetap di Kota Solok. (Foto: Volta Ahmad Jonneva).

Sesuai namanya, mayoritas penduduk di kampung ini berasal dari Jawa. Tapi sebenarnya bukan hanya Jawa saja, di sini, masyarakatnya terdiri dari empat etnis besar yang sering disebut oleh masyarakat setempat dengan singkatan “JAMBAK” (Jawa, Minang, Batak, dan Kaliang). Di mata saya, persaudaraan masyarakat di sini cukup kuat walaupun terdiri dari etnis berbeda. Salah satunya yang menguatkan pendapat saya itu adalah kisah tentang keluarga Ibu Nita, seorang ibu yang memiliki darah keturunan Pakistan (sebagian besar orang juga menganggapnya keturunan India). Orang-orang yang berdarah keturunan ini di daerah Kampung Jawa biasanya dipanggil “urang Kaliang”. Mereka sudah tinggal lama di Kampung Jawa, bahkan sudah sejak tiga generasi sebelum mereka. Sebenarnya, “Kaliang” itu bukan nama suku/ras. Arti sebenarnya adalah  ‘hitam’. Kata “kaliang” ini sebenarnya adalah guyonan atau ledekan untuk orang yang memiliki darah keturunan India di daerah ini, Disebut “kaliang” karena Ibu Nita dan keluarganya memiliki warna kulit hitam.

Ibu yang miliki lima saudara ini sudah menikah dengan warga setempat dan memliliki anak. Saudara Ibu Nita pun sudah berkeluarga juga, ada yang menikah dengan warga setempat, dan ada juga yang menikah dengan sistem pulang ka bako (menikah dengan anak mamak atau saudara lelaki ibu). Jadi,  menurut cerita dari Ibu Nita, hampir semua “warga kaliang” (keturunan India) di daerah Solok adalah keluarga Ibu Nita. Keluarga Ibu Nita, atau urang-urang kaliang di Solok, rata-rata berjualan rempah-rempah di Pasar Solok. Berjualan rempah-rempah itu sudah menjadi tradisi turun-temurun di keluarga Ibu Nita.

Ibu Nita.

Sebutan “kaliang” itu memang terkesan menghina dan memojokan seseorang. Awalnya, Ibu Nita sempat kesal dengan panggilan itu, bahkan sampai membuat dirinya rendah diri bertemu dengan orang lain. Padahal, Ibu Nita lahir dan besar di Kota Solok, yang berarti bahwa dia sebenarnya adalah memang warga Solok. Tapi kini, karena sudah terbisa dan sebutan itu membuat banyak orang yang kenal dengannya, Ibu Nita pun mengaku bahwa ia sudah menerima panggilan itu.

Toko rempah milik Pak Yusuf di Pasar Solok. (Foto: Raenaldy Andrean).

Saya  sempat bertandang ke toko milik bapak dari Ibu Nita, namanya Pak Yusuf. Ternyata, panggilan “kaliang” juga melekat di sana. Hampir setiap toko yang saya tanyai mengenal toko milik Pak Yusuf dengan sebutan“toko rempah rang kaliang” (atau ‘toko rempah milik orang hitam’). Pak Yusuf sudah lama berdagang di Pasar Solok, kira-kira dari tahun 1985. Dia melanjutkan usaha milik mertuanya, Pak Slamet.

Rempah-rempah yang dijual di toko Pak Yusuf. (Foto: Raenaldy Andrean).

Saat saya bertanya tentang keadaan pasar, menurutnya Pasar Solok sekarang sudah jauh berbeda dengan yang dulu. Di mata Pak Yusuf, keadaan pasar sekarang lebih sering sepi. Jumlah warga yang datang ke pasar yang aktif di hari Selasa dan Jum’at ini mulai berangsur menjadi kian sedikit. Keadaan pasar pun sudah banyak berubah, terlihat dari toko-toko yang mulai kosong tak berpenghuni, jalan mulai banyak yang hancur, dan di saat hujan jalanannya pun sering tergenang oleh air walau tak sampai banjir besar. Mungkin, itu adalah salah satu faktor penyebab mengapa Pasar Solok kini jadi sering sepi.

Sekarang ini, Pemda (Pemerintah Daerah) Kota Solok sudah membangun pasar baru di sebelah Pasar Solok yang lama. Namun, pasar baru itu juga masih sepi. Sampai sekarang, ruko-ruko masih banyak yang kosong meskipun sudah dipromosikan oleh pemerintah sebagai “pasar seni modern”. Menurut Pak Yusuf, banyak pedagang yang takut membuka dagangan di sana karena minat beli warga pun tampaknya semakin hari semakin menurun. Pak Yusuf beranggapan bahwa dampak itu sudah terasa sejak tahu 2000, bahwa minat beli warga masyarakat berkurang dan sekarang justru makin anjlok. Terlebih jika bicara soal dagangan rempah-rempah. Toko penjual rempah-rempah di Pasar Solok sudah banyak, bahkan toko-toko milik keluarga Pak Yusuf pun sudah berjumlah tujuh buah di pasar tersebut. Belum lagi orang-orang suku Minangkabu yang berjualan rempah-rempah juga, persaingan dagang pun semakin tinggi. Awalnya, toko rempah-rempah di Pasar Solok hanya ada satu, yakni milik Pak Slamet, mertuanya Pak Yusuf. Sebelumnya, Pak Yusuf berdagang rempah di Kota Padang, tapi dianjurkan untuk pindah oleh Pak Slamet ke Pasar Solok. Toko itu kini sudah atas nama Pak Yusuf walaupun masih harus membayar sewa dan uang keamanan seharga Rp 45.000,- ke Pemda. Pak Yusuf sempat mengeluh bahwa belakangan, kondisi semakin sulit karena nyatanya rempah-rempah hanya diminati orang-orang ketika hari raya. Di sisi lain, jika Pak Yusuf menyewakan tokonya ke orang lain, harganya bisa mencapai Rp 3 juta per toko. Barangkali, usaha menyewakan toko lebih menguntungkan daripada berdagang rempah-rempah saja.

Salah satu toko penjual rempah lainnya yang ada di Pasar Solok. (Foto: Raenaldy Andrean).

Dari keluhannya tentang dagangan rempah-rempah itu, Pak Yusuf akhirnya bercerita tentang masalah ekonomi lainnya. Bukan hanya di Solok, dampak kekurangan pembeli juga terasa di mana-mana. Salah satunya di daerah penghasil sawit dan getah, Dharmasraya. Menurut Pak Yusuf, banyak pedagang di Pasar Solok yang beralih membuka cabang usaha di sana karena pendapatan per kapita petani getah dan sawit terbilang cukup tunggi. Minat beli masyarakat di sana awalnya memang tinggi, tetapi sekarang pedagang sudah banyak juga yang mengeluh dan memutuskan kembali membuka toko di Pasar Solok.

Menurut Pak Yusuf, Dharmasraya adalah sebuah daerah rural (kini menjadi salah satu Kabupaten di Sumatera Barat) yang terkenal akan petani getah dan sawitnya. Saat harga sawit melambung tinggi, biasanya minat beli warga pun melambung. Bahkan, barang dagangan dari mayoritas pedagang pun sampai habis semua diborong pembeli. Barang-barang yang didagangkan di sana banyak yang dipasok dari Bukit Tinggi, karena kalau harus membeli dari Jambi, lokasinya lebih jauh dan memakan banyak biaya. Saat ini, turut berkurangnya minat beli masyarakat di daerah itu, kuat dugaan, karena faktor cuaca dan akibat pembakaran hutan yang terjadi di sana. Seperti yang kita tahu, kebakaran hutan di daerah Riau tahun 2016 silam kenyataannya membawa dampak buruk bagi daerah-daerah di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan bahkan asap pun sampai ke Jakarta dan Singapura dampaknya. Peristiwa itu kemudian disebut sebagai salah satu bencana nasional. Letak  Provinsi Riau dan Kabupaten Dharmasraya berdekatan. Hutan yang dibakar pun, katanya, termasuk hutan-hutan Dharmasraya. Ironisnya, hutan-hutan itu sebenarnya dibakar justru untuk membuka lahan baru buat menanam sawit atau getah.

Ibu Nita sedang menemani anaknya menggambar. (Foto: Raenaldy Andrean).

Kembali ke kisah Pak Yusuf, keluarga Pak Yusuf sangat dihargai di Kampung Jawa karena seluruh keluarganya tergolong taat beragama. Setiap ada acara kematian atau syukuran, warga selalu mempercayakan peran Pak Yusuf atau saudaranya sebagai pemimpin doa. Saudara Pak Yusuf pun sudah menjadi salah satu tokoh masyarakat (niniak mamak) di daerah Kampung Jawa. Karena sebenernya, di Kampung Jawa ini tak ada penduduk asli, jadi rata-rata semua niniak mamak di sini adalah “orang luar” yang dianggap berpengaruh di Kampung Jawa, yang juga sudah lama menetap di sini. Keluarga Pak Yusuf sebenarnya berasal dari Padang Pariaman, bahkan dia memiliki rumah gadang di sana. Mungkin terdengar aneh bahwa ada orang India memiliki rumah gadang, tapi keluarga Pak Yusuf sebenarnya hanyalah keturunan orang India. Keluarganya berkembang dan tetap mirip India karena dahulu anggota keluarga besarnya sering menikah dengan saudara sendiri (yang diistilahkan sebagai sistem menikah “pulang ka bako” itu). Meskipun dulu Ibu Nita dan keluarganya sempat dianggap imigran gelap, tapi sekarang semua itu sudah diurus oleh kakeknya (Pak Slamet). Kini, Ibu Nita dan keluarga besarnya telah sah menjadi warga negara Indonesia dan menjadi bagian dari sebuah kampung kecil di Solok, Sumatra Barat, yang sekali lagi, di mata saya, cukup menarik karena bernama “Kampung Jawa”.


Artikel ini sebelumnya telah dipublis di buku/katalog pameran open studio “Di Rantau Awak Se”, dengan judul Parantau yang Berdagang Rempah dan juga dipublikasi di www.akumassa.org  (http://akumassa.org/id/parantau-yang-berdagang-rempah/ )

Raenaldy Andrean (Jakarta, 06 Oktober 1994), Mendalami seni fotografi, pernah belajar bersama Komunitas Gubuak Kopi, dan kini bekerja di salah satu instansi pemerintahan di Batu Sangkar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.