Bermula dari Cerita Kubuang Tigo Baleh

Catatan tentang AKUMASSA Solok (Bagian 1)

Ini adalah catatan yang mengingat kembali kegiatan lokakarya AKUMASSA di Kota Solok, Sumatera Barat, 26 Februari – 11 Maret 2017. Catatan ini dibuat di Jakarta, dua setengah minggu setelah lokakarya tersebut selesai dilaksanakan. Dalam tradisi yang dikembangkan oleh AKUMASSA sejak tahun 2008, pemaparan tentang agenda lokakarya AKUMASSA biasanya diterbitkan beberapa hari sebelum lokakarya dimulai, berangkat dari cerita tentang kota yang menjadi lokasi penyelenggaraannya (dengan parafrasa yang disusun sendiri oleh para fasilitator lokakarya berdasarkan pelbagai sumber), baru setelahnya menyusul tentang komunitas yang menjadi subjek utamanya. Karena tulisan ini dibuat belakangan, pemaparan yang akan diberikan agaknya akan sedikit berbeda daripada yang sudah-sudah.

Maka, kita akan memulai catatan ini dari ingatan tentang isi perbincangan saya bersama Otty Widasari (Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas – AKUMASSA) dan Albert Rahman Putra (Ketua Komunitas Gubuak Kopi) di suatu malam di bulan Desember 2016, di teras belakang kantor Forum Lenteng.

Kami bertiga mencoba membuat sketsa, atau gambaran tentang garis besar pemahaman kami, mengenai Solok. Saya tidak tahu banyak tentang kota ini, sejujurnya. Albert, yang tahu lebih banyak, menjawab setiap pertanyaan yang dilemparkan Otty. Saya ingat betul, Albert mengaku bahwa dirinya bukanlah warga asli Kota Solok, melainkan Kabupaten Solok. Sementara itu, Komunitas Gubuak Kopi yang ia kelola sejak tahun 2011, sudah aktif di Kota Solok, tepatnya di Kelurahan Kampung Jawa, dalam waktu satu tahun terakhir.

Perbatasan antara Kelurahan Nan Balimo dan Kelurahan Kampung Jawa, Kota Solok. (Foto: Delva Rahman).

Jika kita sekarang ini meninjau salah satu artikel yang dimuat pada website resmi Kota Solok yang diperbarui terakhir kali tanggal 13 Februari 2017, kita akan tahu bahwa kota ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah—pada Pasal 1, sub d, Solok diputuskan akan diberi nama “Kota Kecil Solok” saat itu. Realisasinya kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1970 Tentang Pelaksanaan Pemerintah Kotamadya Solok dan Kotamadya Payakumbuh. Menteri Dalam Negeri saat itu, Amir Mahmud, meresmikan Kota Solok pada tanggal 16 Desember 1970. Sementara lewat Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Pemda 7/9-10-313 tanggal 23 November 1970, diangkatlah Drs. Hasan Basri sebagai Pejabat Kepala Daerah yang pertama. Pelayanan publik Pemerintah Kota Solok resmi beroperasi sejak tanggal 21 Desember 1970 di Kantor Balaikota Solok, dan sejak tahun 1971, di kota itu telah dibentuk 13 daerah (resort) administratif, salah satunya adalah Resort Kampung Jawa (lihat www.solokkota.go.id, 2017).

Peta administratif Kota Solok. (Foto: www.solokkota.go.id).

Menurut laporan Kota Solok Dalam Angka tahun 2014, kota seluas 57,64 km2(dengan letak astronomis pada 0044’28”LS – 0049’12” LS dan 100032’42”BT – 100041’12” BT) ini adalah daerah yang memiliki ketinggian rata-rata 390 meter di atas permukaan laut, yang dilintasi tiga anak sungai, yakni Batang Lembang, Batang Gawan, dan Batang Air Binguang. Berjarak sekitar 75 menit dari Kota Padang, daerah yang 21% dari total wilayahnya merupakan tanah persawahan ini memiliki suhu udara maksimal 28,90 C dan minimal 26,10 C. Di sebelah Utara, kota ini berbatasan dengan Nagari Tanjung Bingkung dan Kuncir, Kabupaten Solok; di sebelah Selatan, berbatasan dengan Nagari Gaung, Koto Baru, Koto Hilalang, dan Selayo, Kabupaten Solok. Di sebelah Barat, ia berbatasan dengan Kecamatan Pauh dan Koto Tangah, Kota Padang, sedangkan di sebelah Timur ia berbatasan dengan Nagari Saok Laweh, Guguk Sarai, dan Gaung, Kabupaten Solok. Laporan tahun 2014 itu juga memaparkan bahwa secara administratif, Kota Solok terdiri dari dua kecamatan dengan tiga belas kelurahan, yakni Kecamatan Lubuk Sikarah (dengan luas 35 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 32.605 jiwa) yang terdiri dari tujuh kelurahan, dan Kecamatan Tanjung Harapan (dengan luas 22,64 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 26.712 jiwa) yang terdiri dari enam kelurahan (lihat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Solok, 2014). Kelurahan Kampung Jawa tempat Komunitas Gubuak Kopi beraktivitas saat ini termasuk ke dalam bagian Kecamatan Tanjung Harapan.

Taman Rekreasi Pulau Belibis, Kelurahan Kampung Jawa, Solok. (Foto: Delva Rahman).

Pemerintah Kota (Pemkot) Solok pada masa sekarang menekankan sektor pariwisata dan perekonomian sebagai potensi daerahnya. Di website resminya disebutkan bahwa untuk sektor pariwisata, salah satu yang menjadi fokus pembangunan adalah objek wisata alam Taman Rekreasi Pulau Belibis di Kelurahan Kampung Jawa (berjarak 3 km dari pusat kota). Sementara itu, di dekat sana juga terdapat sebuah lapangan pacuan kuda, bernama Lapangan Pacuan Kudo Ampang Kualo, yang selain digunakan sebagai tempat pacuan, juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat di sana sebagai tempat pelaksanaan beragam kegiatan massa, seperti hiburan seni, perlombaan layang-layang, dan lain sebagainya.

Lapangan Pacuan Kuda Ampang Kualo. (Foto: Manshur Zikri).

Sekadar informasi tambahan, selain yang disebut oleh Pemkot Solok itu, setidaknya ada 10 lokasi di Kota Solok dan Kabupaten Solok serta daerah-daerah di sekitarnya yang disebut-sebut memiliki potensi pariwisata, antara lain Puncak Gagoan, Puncak Gobah, Rumah Pohon Laing Park, Danau Singkarak, Danau Talang, Air Terjun Kapalo Banda Koto Hilalang, Air Terjun Sarasah Batimpo, Danau Diateh dan Danau Dibawah, Kebun Teh Alahan Panjang, dan Masjid Agung Al-Muhsinin (lihat “10 Tempat Wisata di Solok yang Wajib Dikunjungi”, https://wisatasumatera.com/). Meskipun berada di luar cakupan administratif Kota Solok, daerah-daerah pariwisata tersebut sebenarnya masih memiliki relasi sosial yang kuat dengan kehidupan sehari-hari warga, terutama dalam hal mobilitas mereka yang berdiam di kota ini.

Terkenal sebagai “kota beras”, Kota Solok didiami oleh masyarakat yang sebagiannya masih menjadikan pertanian sebagai mata pencaharian. Bareh Solok (beras Solok)—yang nyatanya tidak hanya dihasilkan di Kota Solok, tetapi juga di Kabupaten Solok—digadang-gadang sebagai beras dengan kualitas paling baik di Sumatera Barat karena kekhasan rasa dan aromanya yang wangi. Ini adalah salah satu potensi terkuat Kota Solok. Kompas (lihat Djumena, 2015) bahkan sempat mencatat bahwa setiap tahunnya, kota ini memproduksi gabah rata-rata sebanyak 15.000 ton. Namun, artikel tersebut juga memaparkan bahwa, sebagai daerah strategis yang dilintasi jalan raya lintas barat dan tengah Sumatera (menghubungkan kota-kota di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu), potensi jalur perdagangannya masih belum tergarap maksimal. “Untuk mencari beras Solok, misalnya, letak pedagang masih tersebar di Pasar Raya Solok yang sudah beberapa kali terbakar” (Djumena, 2015, para. 7). Sehubungan dengan hal ini, bisa dibilang bahwa Solok belum memiliki pusat perdagangan yang signifikan. Dengan kata lain, “…arah pembangunan Kota Solok sebagai kota perdagangan dan jasa masih belum terlihat” (Djumena, 2015, para. 13).

Lokasi Gedung Kubung Tiga Belas, berdekatan dengan perbatasan antara Kota Solok dan Kabupaten Solok. (Foto: Manshur Zikri).

Ketika ditanya cerita apa lagi yang menarik dari Kota Solok, Albert menyebut “Kubuang Tigo Baleh”. Itu adalah istilah yang umumnya dikenal untuk merujuk suatu lokasi yang ditinggali oleh masyarakat yang dikenal sebagai “orang Kubuang Tigo Baleh”, yang “pada mulanya berlokasi di Agam dan kemudian pindah ke Daerah Solok, yang meliputi kawasan Danau Singkarak sampai ke sekitar Danau Kembar … dan adatnya berkembang sampai ke surian Pantai Cermin” (Putieh, 2008, hal. 37). Setelah saya tinjau dari pelbagai sumber, narasi tentang sejarah “Kubuang Tigo Baleh” itu ada banyak versinya, hal itu sesuai dengan pendapat Albert. Tapi, risalah karya Ismar Maadis Datuk Putieh tampaknya menjadi sumber yang paling sering diacu.

Secara ringkas, menurut Putieh (2008, hal. 19-36), sejarah Kubuang Tigo Baleh bermula dari pertikaian antara penguasa Nagari Pariangan dan tiga belas orang niniak (penghulu adat) dari masing-masing tiga belas kaum yang saat itu berada di dalam Nagari Pariangan. Karena berbeda pendapat dengan penguasa Nagari Pariangan, tiga belas niniak itu kemudian menyingkirkan diri ke Agam, tetapi belakangan mereka kembali lagi ke Pariangan untuk menyelesaikan konflik. Saat konflik usai, penguasa Nagari Pariangan pada akhirnya memberikan hadiah berupa hak otonomi kepada ketiga belas niniak tersebut untuk membangun peradaban masyarakat di lokasi yang berada di daerah Selatan. Di masa kini, wilayah yang diduduki ketiga belas niniak itu (yang pada masanya disebut Kubuang Tigo Baleh) diyakini meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Solok dan Kota Solok saat ini. Dari awal terbentuknya hingga sekarang, terdapat banyak perubahan wilayah Kubuang Tigo Baleh. Maksudnya, ada nagari yang keluar dari konfederasi Kubuang Tigo Baleh dan ada yang masuk menjadi bagian baru. Dengan kata lain, ada daerah yang posisinya digantikan dengan daerah yang lain, tetapi jumlah bilangannya tetap dijaga sebanyak tigo baleh (tiga belas). Ketidaklengkapan informasi mengenai perubahan wilayah dari masa ke masa itulah yang menjadi faktor utama adanya perbedaan pendapat dan banyak versi dari narasi Kubuang Tigo Baleh (Putieh, 2008, hal. 38).

Terinspirasi dari narasi ringkas mengenai Kubuang Tigo Baleh, kami bertiga pun akhirnya sepakat bahwa kata kunci yang sepertinya layak untuk dikaji pada lokakarya literasi media AKUMASSA di Solok adalah “rantau”. Bagaimanapun, keberadaan Solok dalam konteks sejarah berdirinya Kubuang Tigo Baleh yang kami acu tersebut merupakan suatu wilayah yang diduduki (atau diteroka) oleh orang yang bukan penduduk aslinya. Dalam konteks ini, Solok menjadi “daerah rantau”.

Hal itu berkaitan pula dengan latar belakang kami bertiga masing-masing: Albert menjadikan Kota Solok sebagai “tempat kerja” karena rumah aslinya berada di Kabupaten Solok, sedangkan Otty bisa dibilang sebagai “perantau sejati” (mengingat ia yang sejak kecil selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain karena tuntutan pekerjaan orang tua dan keluarganya), dan saya sendiri, yang lahir dan besar di Pekanbaru (provinsi Riau), yang merantau ke Jakarta. Jikalau datang ke Kota Solok, maka kota itu pun menjadi “daerah rantau” bagi kami bertiga. Menariknya, sebagaimana cerita Albert malam itu, Kelurahan Kampung Jawa secara umum juga dihuni sebagian besar oleh orang-orang yang nenek moyangnya dulu bukan merupakan penduduk asli Solok.

Ide tentang “rantau” ini nantinya tidak berubah ketika lokakarya literasi media AKUMASSA yang dilaksanakan oleh Forum Lenteng dan Komunitas Gubuak Kopi dijalankan. Dengan dampingan empat orang fasilitator (yakni saya sendiri, Gelar Soemantri, Fauzan Chaniago, dan Otty Widasari), dalam lokakarya tersebut, anggota komunitas Gubuak Kopi mencoba membaca perkembangan Kota Solok, khususnya lingkungan tempat tinggal di sekitaran Kelurahan Kampung Jawa lewat pemahaman ulang mengenai esensi “rantau”, serta mempelajari secara bersama-sama kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditawarkan oleh teknologi media mobile (seperti smartphone) dalam membingkai isu itu. Dan tentu saja, warga lokal setempat juga didorong oleh anggota Komunitas Gubuak Kopi untuk terlibat dalam kegiatan ini.

 

Endnotes:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Solok. (2014). Kota Solok Dalam Angka 2014. Solok: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Solok.

Djumena, E. (2015, Mei 4). “Potensi yang Belum Tergarap…” Diakses tanggal 29 Maret 2017, dari situs web Kompas.com/

Pemerintah Kota Solok. (2017, Februari 2). “Sejarah Kota Solok”. Diakses tanggal 29 Maret 2017, dari situs web resmi Kota Solok (Solokkota.go.id).

Putieh, I. M. (2008). Risalah Kubuang Tigo Baleh Solok. Padang: CV. Bintang Grafika.

Wisata Sumatera. (n.d.). “10 Tempat Wisata di Solok yang Wajib Dikunjungi“. Diakses tanggal 29 Maret 2017, dari situs web Wisata Sumatera.


Artikel ini sebelumnya pernah dipublis di www.akumassa.org dengan judul Bermula dari Cerita Kubung Tigo Baleh

MANSHUR ZIKRI adalah seorang pengamat, peneliti, pengkaji, dan penulis independen yang menaruh fokus pada ranah seni, media, dan film. Saat ini, ia mengembangkan aktivitasnya secara khusus di dua kota: Jakarta dan Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.