Literasi Komunitas Filem

Perkembangan aktivisme dan aktivitas seputar sinema di daerah-daerah tidak lepas dari peran komunitas yang ada di dalam dan sekitarnya. Adalah tugas komunitas untuk membaca dan memahami persoalan yang ada di sekitar mereka: menemukan referensi sinema yang berkualitas, dan menggiring diskusi yang produktif di antara masyarakat, baik itu dalam melihat persoalan sosial politik, ekonomi, dan sebagainya. Entah itu akan bermuara pada produksi-distribusi atau dalam bentuk aksi-aksi publik lainnya. Sebelum itu, tentu setiap pelaku komunitas harus memiliki bekal pengetahuan sinema itu terlebih dahulu. Hingga saat ini, umumnya produksi dan distribusi pengetahauan sinema, secara dominan, masih terpusat di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan Jogja. Tapi kita tidak boleh lupa, ia nyatanya juga dapat tumbuh dan hidup di kawasan yang sangat kecil, contohnya adalah kawan-kawan di Purbalingga yang telah melakukanya dengan sangat baik (Festival Film Purbalingga). Di tangan pegiat filem Purbalingga, aktivitas dan aktivisme sinema tumbuh menyatu dalam kehidupan masyarakatnya.

Di Solok, saya dan kawan-kawan memulainya di beberapa kelurahan. Kita menyelenggarakan beberapa acara layar tancap yang menayangkan beragam filem yang bisa memicu atensi masyarakat umum terhadap budaya sinema. Di saat acara berlangsung, ada yang bertahan hingga filem selesai diputar, ada yang mundur; ada juga yang sekadar hadir hanya untuk menemani pacar. Tapi ada juga yang memang datang untuk belajar dan berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai sinema. Berdasarkan pengamatan saya sejauh ini, sebagian besar penonton memposisikan diri mereka sebagai hadirin yang datang untuk terhibur, tapi karena filem (dan diskusi setelahnya) tidak sesuai ekspektasi, mereka lalu kecewa. Dari sinilah kita memulainya. PR bagi para pegiat filem komunitas di Solok yang paling utama adalah mengubah persepsi masyarakat mengenai filem, yang awalnya selama ini hanya menganggap filem sebagai hiburan semata, menjadi memiliki pola pikir yang dapat melihat dan menilai “filem sejarah” dan dokumenter (tapi bukan dokumenter TV) sebagai gaya filem yang layak untuk dibicarakan. Seterusnya, kita juga perlu mengedepankan strategi tentang bagaimana masyarakat kemudian dapat memahami filem sebagai sebuah teks, yang menjadi alternatif dalam memahami beragam persoalan yang ada disekitar kita, terlepas apakah itu filem bergenre dokumenter atau bukan. Persoalan ini pun, sepertinya, terjadi tidak hanya di daerah yang paling kecil seperti Solok, tetapi juga di daerah lain. Bahkan, kota besar seperti Jakarta sekali pun masih memiliki masalah akut yang sama.

***

Negara pada dasarnya sudah mulai memiliki infrastruktur yang baik soal persebaran ilmu pegetahun ini, hanya saja penerapannya tidak berjalan baik karena masih terkendala oleh persoalan yang saya utarakan sebelumnya: tentang belum terbentuknya perspektif dalam memahami filem sebagai fungsi pengetahuan. Kenyataannya, para pelaku dan pemangku kepentingan masih berorientasi pada muara industri (tapi sistem industri yang terbangun pun tidak pula baik), dan sering kali melupakan muara aktivisme itu sendiri. Kalau pun ada, penerapannya masih belum maksimal, karena kurangnya wawasan mengenai strategi-strategi alternatif dalam mengimplementasikan aktivisme itu ke dalam bentuk-bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, agaknya para pemangku kepentingan di bidang ini, mayoritas, masih kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik terhadap publik.. Begitu juga di daerah seperti Solok. Dalam konteks Solok, khususnya, masalah semacam ini menjadi lebih rumit dengan adanya kecenderungan yang hanya mengedepankan kacamata pariwisata ketimbang pendidikan. Atau, dalam konteks Daerah Tingkat I, seperti Sur’fival (Sumbar Film Festival), menurut saya, itu juga masih semata-mata dirancang sebagai pesta perayaan, dan dengan sengaja menghilangkan potensinya sebagai corong pengetahuan. Hal itu bisa dilihat dari kriteria kompetisi filemnya, penyelenggara hanya menghimbau pegiat filem lokal untuk membuat filem bertema pariwisata (terasa itu hanya menjadi salah satu cara Pemda untuk promosi programnya), lalu penilaian filem terbaik menggunakan sistem voting terhadap filem-filem yang diunggah ke YouTube meskipun di poster juga dibunyikan juri penilainya. Selain itu, dalam penyelenggaraannya, tidak ada program-program acara semacam forum atau diskusi yang membahas filem-filem tersebut atau pun topik-topik lain seputar sinema atau filem. Untuk itu, kita butuh lebih banyak inisiatif, seperti yang dilakukan Forum Lenteng (lewat Program akumassa-nya, misalnya), Pasirputih (lewat Program Bioskop Sinema-nya), Festival Film Purbalingga, dan kelompok-kelompok lain yang menginisiasi produksi dan distribusi pengetahuan tersebut di tingkat komunitas.

Kemudian, menariknya juga, meskipun mayoritas melihat filem sebagai materi hiburan, tetapi sebagai teks, filem-filem yang telah terdistribusi tersebut, sadar tidak sadar, justru dihayati sebagai pengalaman yang kemudian menjadi referensi utama (tidak jarang, menjadi satu-satunya, sebagaimana kita selalu “percaya” terhadap Hollywood) dan memengaruhi tindakan-tindakan kita dalam keseharian. Dengan kata lain, filem-filem hiburan itu justru tetap menjadi contoh perilaku dan sikap—karena memang visual selalu memengaruhi pola pikir manusia. Di sisi yang lain, eksistensi lembaga-lembaga negara dalam produksi peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sinema (contohnya, penyelenggaraan Sur’fival oleh Pemda Sumbar, yang saya sebutkan tadi), yang sampai sekarang masih berjalan dengan tidak baik, dianggap sebagai legitimasi wacana atau konsensus—karena yang menyelenggarakan adalah Pemda, orang-orang percaya itu adalah yang terbaik (padahal, belum tentu). Ini seperti pola yang diterapkan Orba lewat filem Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984); sampai sekarang mayoritas masyarakat di Indonesia mempercayai narasi filem itu sebagi kebenaran. Tapi, yang dipercaya adalah “narasi buatan” pemerintah kala itu; sangat sedikit yang menegaskan konteks pembahasan tentang kualitasnya sebagai karya filem (dalam artian “bahasa visualnya”; film form). Dalam kasus Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, kita masyarakat umumnya hanya tahu filem itu sebagai konsumsi massa, kredibel dalam membentuk opini publik, narasinya diyakini sebagai kebenaran tunggal, tanpa ada peluang kritisisme. Banyak dari kita yang mengonsumsinya tanpa kesadaran media, kesadaran terhadap adanya kepentingan-kepentingan yang melekat di tubuh media dan negara, atau pun proses kehadiran filem-filem itu di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi untuk kasus sekarang ini, munculnya filem-filem dokumenter yang sebenarnya tidak berdasarkan penelitian mendalam, tetapi dipercayai sebagai referensi karena sering ditampilkan di media-media arus utama.

 

Sebagian besar masyarakat, hingga kini, terbiasa menerima kebenaran tunggal semcam itu, yang berdampak pada kelajutan cara berpikir atau perspektif yang tidak beragam. Hal ini terutama dipengaruhi oleh gaya bahasa filem yang instan dan mengedepankan “estetika nilai jual”. Oleh karenanya, menurut saya, pengetahuan dasar mengenai bahasa filem harus diperkenalkan kepada setiap penonton, sedari dini. Di Solok, itu yang kita giatkan: melakukan distribusi pengetahuan itu bagi penonton (atau publik sinema) di kalangan anak-anak. Kami juga mengajak anak-anak itu terlibat dalam proses kerja produksi dan distribusi informasi/pengetahuan di sekitar mereka. Mengapa anak-anak? Anak-anak dalam hal ini penting untuk dilatih sebagai penerima estafet yang akan ikut menentukan perkembangan literasi media ataupun sinema dalam masa mendatang, terutama karena mereka yang belum telanjur dipengaruhi oleh gaya-gaya industri.

Selama ini, produksi pengetahuan sepenuhnya diserahkan pada lembaga pendidikan formal yang tidak memadai. Di Sumatra Barat, misalnya, terdapat institusi resmi yang (seharusnya dapat) dilihat sebagai corong pengetahuan sinema. Namun, seperti yang saya ungkapkan, institusi-institusi ini masih terjebak pada pemahaman bahwa muara sinema hanyalah industri, termasuk juga di dalamnya penerapan pakem-pakem “estetika industri” sebagai kebenaran utamanya—tanpa mengindahkan bahasa-bahasa filem di luar industri itu—dan seterusnya mengenyampingkan tujuannya sebagai aktivisme dan misi kebudayaan. Maksud saya dengan “estetika industri” itu, yakni hanya untuk kepentingan pasar, konstruksi visual sebuah filem kemudian diatur oleh pemilik modal dan sering kali memotong kesempatan bagi perkembangan bahasa filem yang lebih inovatif dan beragam. Itu yang terjadi di dunia perfileman kita. Dan yang perlu disadari, cara berpikir itu pula yang bahkan kini menjadi kiblat beberapa pegiat filem di tingkat komunitas sendiri.

Pentingnya pengetahuan sinema ini membutuhkan inisiatif baru. Jika lembaga formal abai, komunitas seharusnya menjadi counter-nya. Komunitas seharusnya menjadi institusi alternatif yang baik dalam menggiring budaya sinema pada wilayah kritisisme, yang bisa menjadi gerakan produksi pengetahuan dan kemudian berlanjut dengan gerakan distribusi pengetahuan itu. Dan tentu, setiap komunitas dituntut bisa mengembangkan segala asetnya untuk menemukan strategi dalam produksi-distribusi pengetahuan sinema dalam konteks lokalnya, baik untuk jangka panjang maupun pendek; strategi untuk eksistensi komunitas itu sendiri, termasuk juga menemukan berbagai kemungkinan untuk mendapatkan pengetahuan baru dan perluasan jaringan.

Maka dari itu, setidaknya, Komunitas memiliki beberapa perkerjaan rumah penting, demi tanggung jawabnya terhadap masyarakat di sekililingnya, terutama meningkatkan pengetahuan internal organisasinya tentang sinema dan filem; mengembangkan jaringan distribusi dan akses pengetahuan sinema; melakukan evaluasi internal atas kinerja mereka selama ini, serta sejauh mana visi-misi telah berjalan dan penataan program ke depan berdasarkan persoalan yang terdapat di ruang lingkup lokal.

Sejauh ini, diantaranya Komunitas Gubuak Kopi melakukannya dengan menghadirkan: (1.) program reguler Sinema Pojok: membuka ruang diskusi yang dalam hal ini capainnya tidak hanya berbicara tentang kandungan filem tetapi tentang budaya berdiskusi itu sendiri. Serta, melatih intensitas menonoton, dan meningkatkan interaksi antara pegiat filem dan masyarakat; (2.) Kemudian membuat media komunikasi berupa blog yang berdampak berupa arsip, feedback publik (adanya dialog), serta melatih kebiasaan untuk mereview filem atau acara penayangan, (3.) Perluasan jaringan yang berfokus pada pertukaran pengetahuan, pengalaman, strategi, kemasan program, dll. Kedepannya kita memerlukan Pembacaan (self-research): meneliti atau mengartikulasikan apa yang sudah kita lakukan dan sejauh mana penerapannya.

Albert Rahman Putra, 2016

*Naskah ini sebelumnya pernah dipresentasikan dalam simposium “Forum Festival: ARKIPEL International Documentary and Experimental Film Festival”

*Liputan Festival Forum Panel 5 – Peran Komunitas dalam Pengembangan Pengetahuan Sinema

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.