KULTUR DAUR SUBUR DAN AGENDA LAINNYA

Sore itu, 01 Agustus 2016, Solok diguyur hujan yang lebat sedari siang nan lengang. Hari itu juga merupakan hari jadi Komunitas Gubuak Kopi, hari pertama kalinya kelompok ini diperkenalkan pada publik tahun 2011 lalu. Kali ini kita berjanji merayakannya bersama anak-anak di sekitar markas kita setelah semalam berpesta dan berevaluasi. Kali ini dalam dengan tajuk “Kultur Daur Subur”, yang memang sudah kita agendakan dalam program Kelas Warga.

Kegiatan ini pada dasarnya kita tujukan sebagai respon atas sampah yang selama ini semata-mata menjadi keluhan. Ini bukan pertama kali nya kita “bermain-main” dengan sampah, selain markas kita yang memang dihiasi “sampah”, sebelumnya persoalan ini juga mendasari lahirnya kegiatan “Aku, Kita, dan Kota” pada tahun 2012. Tak lama sebelum kegiatan “Aku, Kita, dan Kota”, kota kecil ini mendapat penghargaan “adipura”, semacam penghargaan pemerintah pusat untuk kota yang bersih. Piala kebersihan itu, oleh Walikota diarak keliling jalan protokol dengan penuh kebanggan. Sebagian besar pengawai negeri ikut merayakannya dihadapan publik, sementara di saat itu kami sibuk menonton publik yang kebingungan, atau tidak antusias.

***

Kota Solok berada pada posisi yang cukup strategis. Ia menjadi persimpangan bagi kota-kota di selatan yang hendak terus ke barat – menuju ibu kota: Padang, atau ke utara menuju Padangpanjang, Bukittinggi, dan kota Medan. Latar belakang masyarakat cukup beragam – beragam etnis, beragam agama, dan beragaman kepentingan, sekalipun terlihat jelas yang mendominasi adalah etnis Minang, agama Islam, dan kepentingan berdagang. Kota ini juga terdapat banyak para pendatang yang menetap untuk pekerjaan dan belajar. Sedang sebagian besar pemuda asli Solok tersebar di berbagai kota untuk belajar dan bekerja.

Sempat muncul beberapa asumsi terkait respon masyarakat atas Adipura tadi, bahwa, warga tidak begitu peduli dengan apa yang kota ini raih, serta mereka tahu dengan jelas adipura ini hanyalah kebohongan politis yang sudah menjadi rahasia umum, dan kebohongan politis itu tidak menguntungkan mereka.

Dalam hal ini kita melihat muaranya adalah sikap apatis warga itu sendiri. Dan itu hadir terutama karena cara pandang pemerintahan waktu itu yang memposisikan dirinya sebagai orang yang paling tahu apa yang kota ini butuhkan, konsekuensinya: Pemerintah adalah orang memerintah, untuk mencapai tujuan kota. Persoalan yang muncul berikutnya warga merasa tidak sepaham, karena nyatanya tujuan itu bukan tujuan bersama, dan seterusnya warga merasa diremehkan atas visinya untuk kota ini. Pemerintah sedikit sekali – atau dalam pelacakan kita, hampir tidak ada- melibatkan kelompok pemuda dan warga dalam menentukan nasib kota ini (beberapa riset terdapat beberapa pelibatan pemuda sebagai peserta, bukan kawan berdiskusi, dan tidak ada tindak lanjut). Pemerintah berlaku bak superior yang paling tahu atas kebutuhan kotanya. Dampak yang muncul: warga pasrah dan tidak mau tahu, sebaliknya warga hanya fokus pada kepentingan mereka saja. Persoalan yang sama sebenarnya juga terdapat di banyak daerah di Indonesia, sebagai latah pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter dan jauh dari negosiasi.

Pengamatan kita di atas, juga menjadi landasan munculnya inisiasi project “Solok Milik Warga”, sebuah statement ideologis, yang kita lihat sebagai salah satu tindakan yang patut dilakukan demi kota yang tidak terpisah dari warganya, atau dalam eskpektasi besar: kota dan warga yang sejahtera.

Secara bertahap kita membaca setiap persolan masyarakat berdasarkan lingkungan, mendorong munculnya aksi partisipaptif warga dalam menentukan kota yang mereka (warga) inginkan. Tentu dalam pemahaman bahwa warga juga merupakan bagian penting dalam struktur kota, di samping terdapatnya lembaga kenegaraan, yang berikutnya tidak lagi kita lihat sebagai “orang yang memerintah” melainkan “penyelenggara negara”. Warga – yang dalam hal ini termasuk setiap lapisan masyarakat dan pemerintah yang hidup di kota ini – menjadi objek sekaligus subjek kesejahteraan.

***

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Sore itu, sudah pukul 16.00, hujan masih belum berhenti, seharusnya ini sudah waktunya kita memulai kegiatan Kultur Daur Subur. Tapi Sore itu masih seperti siang tadi, masih sepi, barang kali terhambat oleh hujan. Di halaman, unggukan sampah yang akan kita daur masih tergeletak, dicuci oleh derasnya hujan.

aduh kita masih kalah sama hujan” gumam saya pada beberapa teman yang masih menunggu.

Hari ini kita akan memberikan dua pemahaman tentang sampah pada anak-anak: pertama, beberapa sampah adalah penyakit, yang hadir dari kebiasaan buruk; kedua, beberapa sampah adalah sebuah benda yang belum kita temui fungsi kehadirannya. Dua topik yang penjelasannya sangat umum memang.

***

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Saya teringat, perjumpaan beberapa tahun lalu dengan Mahadirka Yudha atau yang biasa saya panggil Bang Diki. Dia menyebutkan keunikan Indonesia itu kira-kira seperti ini, “Di Indonesia lu bisa melihat kuali itu bisa jadi antena!”

Di samping kita yang selalu dikagetkan dengan teknologi baru yang datang dari negara maju, kita juga selalu ikut menikmati teknologi itu. Sementara, misalnya, teknologi itu diperuntukan untuk meringankan beban manusia dari tugas yang berat, dan hampir semuanya memang diciptakan untuk orang-orang eropa. Mereka memproduksi untuk memenuhi kebutuhan mereka, kemudian produk itu juga sampai ke kita, kita yang barang kali tidak memiliki kebutuhan yang sama, tanpa dibarengi pengetahuan dalam soal itu ikut mengkonsumsinya.

Dampak yang cukup buruk, bagi saya bisa kita lihat seperti lembaga pendidikan kita yang sibuk menyaingi kemampuan teknologi dalam menciptakan mobil seperti: Mobil Esemka, ketimbang menciptakan mesin bajak yang baik dalam membantu kerja petani kita. Banyak contoh menarik lainnya, seperti kebudayaan filem, sinema, televisi, yang juga datang pada kita tanpa dibarengi pengetahuan yang memadai, atau pengetahuannya hanya dikuasai segelintir orang saja. Untuk beberapa kasus persoalan latah konsumsi ini tidak selalu menjadi kutukan, secara organik muncul berbagai inisiatif masyarakat dalam mengakali segala kecanggungan teknologi tersebut, seperti panci yang menjadi antena tadi misalnya, dan berikutnya saya kira di sinilah pemerintah melalui lembaga pendidikan berperan memenuhi kebutuhan akan kekosongan pengetahuan tersebut.

Tapi persoalannya, pemerintah kita masih terjebak dalam siklus yang sebenarnya bukan kebutuhan kita (warga) itu, dan seterusnya pemerintahan yang “tidak berdaya” ini perlu kita berdayakan.

***

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Saya teringat sebuah tulisan yang ditulis oleh Mansur Zikri yang mengkritisi persoalan “pemberdayaan”. Kata ini disandingkan dengan hal-hal yang dianggap tidak berdaya. Oleh pemerintah atau banyak LSM sering disandingkan dengan “perempuan”, “masyarakat”, atau “anak-anak”. Kita sering kali terbawa dalam pandangan melihat sandingan pemberdayaan itu sebagai objek yang mati dan harus diberdayakan. Dan seterusnya kita sering kali terjebak untuk meremehkan sandingan itu: “perempuan”, “masyarakat” (di luar pemerintah atau LSM), dan “anak-anak”, dan di sana kemanusian pun luntur.

Untuk keadaan Solok saat ini, saya sedikit ragu untuk menggunakan “Pemberdayaan Pemerintah”, saya sebenarnya ingin mendefenisikannya sebagai upaya mengisi (dengan cara bermitra/bekerja sama/berdialog/merumuskan bersama) melengkapi tugas-tugas “penyelenggaraan negara”, bahwa apapun yang pemerintah lakukan itu harus bermuara bagi kesejahteraan seluruh warga kota. Tapi penggunaan kata “pemberdayaan pemerintah” hanya akan memancing ego negatif, sekalipun yang kita maksud adalah Gerakan warga, pemuda, dan pemerintah adalah mitra yang harus saling bekerja sama.

Kenyataannya saat ini pemerintahan diisi oleh individu-individu yang tidak berkompeten. Di saat yang sama, kita di daerah-daerah, tertutama Solok, kita masih melanjutkan tradisi pemerintahan yang harus menyediakan kursi bagi para orang-orang berprestasi dalam kampanye, – walau presepsi itu kemudian ber-alibi”menemukan orang-orang setujuan/sepemikiran dalam menjalankan visi pemerintahannya”, karena katanya akan repot kalau bagian-bagian penting itu diisi oleh orang tak sepemikiran.

***

Tapi yang paling penting berikutnya adalah kesadaran yang komplit mengenai presepsi atas kota dan pemerintahan. Yakni kita tidak akan lagi bertepuk tangan terhadap pidato walikota, yang selalu mengajak masyarakat menjadi mitra pemerintah, tapi dalam praktik tidak membuka peluang itu; Yakni kita akan tidak menganggap pemerintah sebagai superior, sebaliknya menganggapnya sebagai mitra demi kota yang lebih baik, tempat hidup yang nyaman; Yakni pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak lagi berarti “orang yang memerintah” seperti dalam terminologi kolonial; Yakni pemerintah tidak akan berdaya sendirian tanpa kerjasama pemuda, warga, dan segala elemen kota; Yakni pemerintah nantinya harus terbiasa dan tidak perlu kaget bahwa yang sering kali ‘dianggap tidak berdaya’ itu ternyata beberapa diantaranya adalah kawan diskusi yang lebih baik dari jajaran birokrasinya.

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

Doc. Kultur Daur Subur | Dirgahayu Komunitas Gubuak Kopi | 2016

***

Sore itu, hampir pukul 17.00, hujan mulai reda, anak-anak berdatangan, kita memulai kegiatan.

Hari itu saya teringat lagi pada motif Aku Kita dan Kota sebagai respon atas adipura, bahwa kota yang bersih bukan persoalan pinggir jalan yang tidak ada sampah di sepanjang jalur penilaian dan selama hari penilaian.Bukan pula karena “petugas berbaju kuning” harus berkerja lebih keras untuk beberapa hari sampai penilaian. Bahwa kota yang bersih itu adalah ditandai dengan kebiasaan hidup masyarakat bersih, yang berkembang secara organik serta diberengi pengetahuan/kesadaran. Bahwa adipura -kebohongan politis yang sudah rahasia umum itu- bukanlah puncak  yang harus kita capai, untuk prestasi, ataupun diakui. Sekali lagi, bahwa kita hanya perlu melakukannya dengan kesadaran dan pengetahuan yang baik. Bahwa, bersih itu bukan persoalan diakui atau dihargai.

Sore itu saya lalu membayangkan, para “petugas berseragam kuning” kemudian dilatih oleh pemerintah dilatih sebagai aktivisme lingkungan yang baik, tidak lagi dianggap sebagai usaha pengurangan pengangguran semata, tapi para pelopor yang nantinya akan membangun kebudayaan yang asri itu. Tapi membangun itu memang tidak mudah.

Pemerintah, kali ini saya kira tidak patut membiarkan jajaran untuk multitasking lagi: menjadi fasiltator dan eksekutor sekaligus, apa lagi untuk kepentingan uang bonus semata. Jajaran penyelenggara negara idealnya bertindak sebagai fasilitator, nongkrong, dan membangun komunikasi yang baik dengan pemuda, yang jauh lebih baik mengenali lingkungannya. Jajaran penyelenggara negara, idealnya memetakan persoalan lokal dan menemukan aset yang tepat dalam memperbaiki segala kesalahan tradisi pemerintahan kita.

Sore itu kita kecanduan, kita mendaur hingga malam…

Selamat hari jadi Komunitas Gubuak Kopi! #limatahunbelajarbersama

Albert Rahman Putra, biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Tahun 2018 bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Ia merupakan salah satu kurator muda terpilih untuk program Kurasi Kurator Muda yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.