Mengenal Bahasa Puitis Ivens

Pada Jumat, 06 November 2015, lalu Komunitas Gubuak Kopi melalui Sinema Pojok mengadirkan tayangan spesial bertajuk: bahasa filem yang puitis. Dalam rangkaian kurasi sederhana itu dipilih beberapa karya Joris Ivens pada awal karirnya – yang juga masa awal kehadiran filem. Karya tersebut diantaranya: Movement Studies in Paris (Studi Gerak di Paris) diproduksi tahun 1927, Regen (Hujan) produksi tahun 1929, dan A Valparaiso diproduksi tahun 1965.

Filem – filem ini tidak hanya diproduksi berdasarkan kepentingan isu tetapi juga memiliki bentuk (form) yang artistik. Ivens bersama karya-karya dikenal sebagai sineas avant-garde atau sebagai pelopor pada zamannya yang menggarap bentuk filem sebagai rajutan teks yang puitis. Seperti pada filem Studie Movement in Paris dan Regen, dokumenter pendek ini memberikan ragam gaya pengambilan gambar yang cukup jelas dan close-up. Selain itu ciri khas lainnya dari karya-karya Ivens adalah pengambilan gambar yang goyang, seolah kamera adalah tatapan yang hidup dan liar.

JpegJpeg

Dua karya yang sering disebut sebagai salah satu contoh genre The City Symphony ini menghasilkan rekaman-rekaman yang harmoni antara kota dan respon kehidupan terhadap kota itu.

“Menariknya karya ini juga tidak dinodai dengan narasi-narasi lisan atau tulisan, Ivens menyerahkan sepenuhnya narasi itu terhadap rajutan gambar yang ia tangkap dan ia susun. Memberi keleluasaan terhadap penonton untuk memahami persoalan dari teks itu. Ini yang hampir tidak kita temui di dokumenter televisi dan Hollywood” Ujar Albert Rahman Putra, Ketua Komunitas Gubuak Kopi.

Sedangkan pada filem “A Valparaiso” dibubuhi narasi lisan yang menghubungkan setiap citraan/visual terhadap sebuah sejarah esensi. A Valparaiso adalah sebuah kota dengan geografis yang unik: kehidupan disebuah pebukitan yang menghadap laut, filem ini bercerita tentang kota itu dan kehidupannya.

“Pemilihan teks-teks menjadi renungan antropologis yang menarik. Karya ini setidaknya membicarakan beberapa pandangan menarik mengenai bagaimana kehidupan merespon keadaan geografis, apa yang membuat mereka bertahan di kota itu; bagaimana masyarakat hidup, bertahan hidup, berelasi, dan menikmati hari-harinya di kota sempit dengan sarana transportasi yang rumit: harus jalan kaki naik turun bukit atau menggunakan kereta gantung – yang kemudian juga menujukan kelas atau status sosial mereka”, ungkap Albert.

Karya ini pada awalnya adalah citraan hitam putih, namun kemudian di bagian terakhir menjadi bewarna, yang menghantarkan kota ini pada sebuah legenda bajak laut yang ada di kota itu.

“Laut dan segala legendanya, sepertinya menjadi alasan utama perkembangan peradapan kota itu. Laut sebagai pintu, laut sebagai mata pencarian, laut sebagai hiburan, dan sebagainya.” tambah Albert.

Komunitas  Gubuak Kopi, selain dalam agenda reguler Sinema Pojok, juga menghadirkan pilihan filem-filem ini bersama kepentingan Kelompok Baraja Filem. Kelompok Baraja Filem adalah sebuah kelompok belajar yang terdiri dari anak-anak sekolah dasar di sekitar Markas Gubuak Kopi: Aia Mati, Kota Solok. Bersama Komunitas Gubuak Kopi, kelompok ini melakukan latihan membuat filem sebagai cara alternatif untuk melatih empati terhadap lingkungan di sekitar, memetakan masalah dan aktivitas rutin, serta belajar filem itu sendiri. Pemilihan filem-filem Joris Ivens di atas juga dimaksudkan untuk pengenalan beragam bentuk atau gaya garapan filem dalam sejarah sinema dunia.

“beruntung anak-anak yang masih belum banyak tersentuh Hollywood atau dokumenter televisi ini bisa membiasakan menonton beragam gaya filem dari sekarang, sebelum mereka dikekang oleh satu gaya seperti yang terjadi pada kakak-kakak di sekitar mereka,” Ujar Albert.

_____________________________

Tiara Sasmita

berikut dokumentasi Sinema Pojok #3

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.